Intisari-Online.com -Ketika Pak Harto masih hidup dan berkuasa, seorang kepala polisi dari Karanganyar, Jawa Tengah, setiap hari Kamis selalu mengirim tengkleng ke Cendana.
"Yang pesan thengkleng namanya Pak Jumrot. Beliau selalu pesan empat termos dari saya. Katanya, sih, dikirim ke keluarga Pak Harto di Jakarta," ungkap Bakdiah, pemilik warung thengkleng Bu Diah di Solo Baru, Nova edisi Januari 2008.
Thengkleng adalah sejenis gulai yang isinya terdiri atas tulang iga, lidah, dan tulang sumsum.
Kesukaan keluarga Pak Harto menyantap thengkleng terus berlanjut sampai saat Pak Harto lengser. Ketika keluarga Pak Harto singgah ke Kalitan, "Saya selalu mendapat pesanan. Tiap Lebaran, saya juga sering menerima order membuat thengkleng untuk dikirim ke keluarga Cendana," kata Diah.
Meski yang beli keluarga Pak Harto, tambahnya, harganya sama saja dengan pelanggan lain. Ketika itu, harga per porsinya adalah Rp7 ribu dan satu termos Rp250 ribu (2008).
Apa istimewanya thengkleng Diah?
"Saya tidak tahu kenapa mereka suka thengkleng bikinan saya. Saya juga belum pernah secara langsung melihat Pak Harto menyantap thengkleng," cerita Diah.
"Yang jelas, setiap beliau singgah di Kalitan, thengkleng saya selalu masuk. Pulang ke Jakarta juga membawa thengkleng. Biasanya yang datang utusan dari Kalitan."
Thengkleng Bu Diah memang cukup legendaris. Usaha ini semula dirintis orangtua Diah. Ayah Diah, Djojodikromo Semito, adalah penjual sate.
"Nah, Ibu memanfaatkan tulang-tulang dan sisa daging, kemudian diolah jadi thengkleng. Lalu, Ibu menjualnya keliling kampung."
Sekitar tahun 1993, Diah mulai mengambil alih berjualan di pinggir kali Solo Baru. Setelah mendapat tanah kontrakan, ia membuka warung tetap hingga sekarang di seberang kali di Jalan Solo Baru.
"Resepnya masih asli seperti ibu saya. Saya juga masih memasak dengan bahan bakar kayu. Lebih enak ketimbang kompor gas."
Nasi Liwet Sri Wongso Lemu
"Untuk Pak Harto diperiksa dokter dulu"
Sudah bukan berita baru, keluarga mantan Presiden Soeharto suka sekali menyantap nasi liwet Bu Wongso Lemu, Solo. Makanan khas kebanggaan orang Solo ini sering mewarnai berbagai acara yang diselenggarakan keluarga Cendana, sejak Pak Harto menjabat presiden sampai setelah beliau lengser.
Saat ada acara di dalem Kalitan, Solo, keluarga Pak Harto selalu mengundang aneka jajanan khas setempat, termasuk nasi liwet. "Biasanya keluarga Pak Harto memilih nasi liwet saya," terang Sri Wongso Lemu.
Apa yang membuat nasi liwet Wongso Lemu dipilih keluarga Pak Harto?
"Tidak tahu. Di Jalan Keprabon ini, semua warung nasi liwet pakai nama Wongso Lemu. Mereka itu ipar-ipar saya. Bumbu yang mereka pakai juga sama. Tapi, beda tangan pengolahnya, beda rasanya. Ampela saya empuk," ujarnya.
Dikisahkan Sri, nasi liwet yang dirintis neneknya sejak zaman Belanda itu sudah terkenal sejak tahun 1950-an. Mulai tahun 70-an, Pak Harto sudah menjadi pelanggannya.
"Biasanya keluarga Pak Harto tidak langsung jalan di warung. Ada utusan yang membeli seratus atau dua ratus porsi untuk dibawa ke Kalitan. Saya langsung melayani keluarga mengambilkan nasi per pincuk."
Banyak cerita menarik yang dialami ibu tiga anak ini saat mendampingi keluarga Pak Harto. Salah satunya petugas pesan satu pincuk untuk dihidangkan pada Pak Harto.
"Saya pikir langsung disantap. Ternyata nasi dan lauknya diperiksa dokter dulu," katanya mengenang.
Nasi liwet istimewa ini juga sering dibawa keluarga Pak Harto ketika kembali ke Jakarta. "Mereka pesan lagi seratus porsi dan selalu membawa wadah sendiri. Oh ya, setiap Lebaran atau keluarga Pak Harto ada acara di Jakarta, saya juga mendapat pesanan banyak."
Meski tahu yang membeli keluarga presiden, "Saya jual dengan haiga yang sama. Per pincuk Rp11 ribu. Nasi dan lauknya, kan, juga sama. Enggak ada yang beda," terang Sri Wongso.
Selain keluarga Pak Harto, banyak pejabat yang ikut pesan nasi liwetnya.
"Kalau Pak Harto berkunjung ke Kalitan, kan, banyak pejabat yang ikut. Jadi, mereka ikut pesan setiap mau balik ke Jakarta. Keluarga Pak Wiranto dan Pak Akbar Tanjung juga memesan ke sini sampai sekarang."
Serabi Notosuman untuk tamu negara
Dari sekian banyak jajanan khas Solo, serabi Notosuman menjadi salah satu pilihan keluarga Pak Harto.
"Dalam setiap acara, kami selalu mengirim serabi ke Ndalem Kalitan di Solo maupun Cendana untuk Pak Harto dan keluarganya," terang Handayani,penjual serabi paling terkenal di Solo itu.
Menurut Handayani, sudah lama ia memasok serabi ke keluarga Cendana. Seingatnya, ketika IbuTien masih ada.
"Kalau keluarga Pak Harto ada acara, orang kepercayaannya pesan dalam jumlah banyak untuk dibawa ke Jakarta. Tapi, kalau tidak ada acara, paling pesan 10 dos. Tiap dos berisi 10 serabi," tambah ibu dua anak ini.
Puncaknya ketika selamatan Bu Tien, Handayani diundang khusus ke Cendana untuk menyajikan jajanannya bersama hidangan lain. Bersama suami dan dua anaknya, Handayani membawa mobil untuk mengangkut bahan serta peralatan berupa tungku dan cetakan serabi.
Dia ingat persis, serabi buatannya juga disajikan untuk Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam yang kebetulan hadir.
Yang membuat Handayani terkesan, sebelum disajikan, serabinya diperiksa oleh tujuh orang dari Paspampres dan dokter, untuk memastikan serabinya benar-benar aman.
"Sebagai orang biasa tentu saya sangat bangga, makanan buatan saya dinikmati oleh Pak Harto juga tamu-tamu negara," ujar Handayani sembari tersenyum.
Menurut Handayani, serabi produksinya sudah jadi santapan pejabat sejaklama.
"Dulu, mantan Presiden Soekarno juga pesan serabi pada nenek saya. Saya masih ingat, saat BungKarno pesan, sejak malam hari, dapur tempat membuat serabi sudah dijaga tentara," kata Handayani yang mengaku sebagai generasi ketiga pembuat serabi.
Usaha ini dirintis neneknya, Hoo Geng Hok tahun 1923. Lalu, tongkat estafet dipegang ibu Handayani, Ny. Margo Hutomo. "Setelah nenek dan ibu tidak ada, sayalah yang melanjutkan," papar Handayani yang kelak usahanya akan diturunkan kepada anaknya.
Handayani yang memiliki 15 karyawan mengaku heran, jajanan tradisional buatannya menjadi terkenal. Bahkan digemari petinggi negeri ini.
Rahasianya? Handayani juga tidak mengerti persis.
Yang pasti, "Saya tidak menambah atau mengurangi resep yang ditinggalkan ibu dan nenek."
Ternyata resep itu memang pas. Sampai saat ini tamu-tamu dari luar kota selalu memenuhi tempatnya untuk menikmati serabi. Terutama, hari libur atau Lebaran.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News