Jadi Gemblak Demi Sapi Atau Sekolah, Kudu Ganteng Dan Mulus Tanpa Panu

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Tak sembarangan remaja masuk kriteria para warok sebagai gemblak pilihannya. Ada syarat tertentu.
Tak sembarangan remaja masuk kriteria para warok sebagai gemblak pilihannya. Ada syarat tertentu.

Dulu imbalannya anak sapi, kini sekolah sampai tamat dan mendapat pekerjaan yang layak. Tapi tak setiap remaja bisa menjadi gemblak. Yang "layak gemblak" adalah yang berwajah ganteng dan berkulit kuning mulus. Yang brotolan bekas buduk, tak bakal ditaksir.

Intisari-Online.com -Masyarakat Jawa Timur, khususnya Ponorogo, umumnya tak asing dengan "gemblak", kebiasaan yang tak terpisahkan dengan budaya reog dan waroknya. Gemblak adalah lelaki remaja yang dipelihara seorang warok sebagai tempat penyaluran kebutuhan biologis, karena warok pantang berhubungan dengan wanita di masa menjalani gemblengan kesaktian.

Selain warok, juga perkumpulan Sinoman yang umumnya dimiliki tiap desa. Organisasi yang dibentuk untuk bergotong-royong antarwarga desa ini, secara kolektif juga memelihara gemblak yang dibiayai secara bersama-sama dan "dipakai" bergantian.

Bocah lelaki yang akan dipilih menjadi gemblak pun tidak sembarangan. Dia harus memenuhi kriteria "layak gemblak". Yaitu, "Umurnya masih belasan tahun dan wajahnya ngganteng," kata Misdi Duweh (54), warok yang memimpin kelompok Reog Sardolo Seto dari Surodikraman, dilasir Nova edisi Januari 1990.

Selain itu calon gemblak harus berkulit putih mulus. "Yang brotolan bekas budukan atau panuan ndak laku jadi gemblak," tambahnya.

Karena persyaratan itulah, pencarian gemblak bisa sampai ke seluruh pelosok Jawa Timur. "Masyarakat umumnya tahu, kalau ada orang Ponorogo mencari anak lelaki kecil itu ya untuk dijadikan gemblak," kata Misiran Legong (49) yang juga bekas warok itu.

Disekolahkan

Jika bocah yang memenuhi syarat telah ditemukan, yang pertama kali dimintai izin adalah warok di lingkungan tempat tinggal sang bocah. Jika warok setempat tak keberatan, barulah pinangan disampaikan pada orangtua si bocah, disertai janji imbalan yang akan diberikan pada batas waktu yang disepakati kedua pihak.

"Anakmu ini ikut saya saja ya, Pak. Nanti kalau sudah dua tahun saya kembalikan dan akan saya beri seekor anak sapi."

Imbalan untuk gemblak biasanya memang seekor anak sapi. "Tapi setelah tahun 60-an banyak orangtua yang meminta imbalan agar anaknya disekolahkan dengan baik," ujar Legong.

Bagaimana jika orangtua si bocah tidak setuju? "Boleh saja. Tapi, kalau ia sudah menolak pinangan seorang warok, dia harus menolak pula pinangan yang datang dari lain warok," ungkap Misdi.

Jika tidak, dapat diduga akibatnya. Warok yang dulu ditolak pinangannya bisa datang kembali dan melancarkan protes. "Dulu anaknya tidak boleh saya minta, kenapa sekarang boleh sama orang lain?"

Buntutnya, bisa timbul gegeran (keributan), karena sang warok merasa terhina dengan penolakannya dulu.

Tak sembarangan remaja masuk kriteria para warok sebagai gemblak pilihannya. Ada syarat tertentu.
Tak sembarangan remaja masuk kriteria para warok sebagai gemblak pilihannya. Ada syarat tertentu.

Jangan lupa bedak

Sebaliknya, kalau orangtua setuju dan batas waktu pemakaian gemblak disepakati, kedua pihak menentukan hari baik untuk memboyong anak. Lalu, kepada orangtua bocah akan diberikan uang pengikat sekadarnya.

Pada hari yang telah ditentukan, acara boyong anak pun dilakukan. Pihak warok mengirim utusan, biasanya terdiri dari 10 sampai 15 orang untuk menjemput sang calon gemblak.

Lazimnya rombongan semacam ini membawa ambeng (nasi tumpeng) serta seperangkat pakaian untuk sang calon gemblak.

Setiba di rumah orangtua calon, dilakukan mbujeng atau kenduri dengan mengundang para tetangga. Di hadapan mereka inilah utusan sang warok mengulangi janjinya akan membawa si calon selama sekian tahun dengan imbalan seekor anak sapi.

Dengan begitu, para tetangga menjadi saksi.

Usai kenduri, sang bocah didandani dengan pakaian khas. Jas hitam dengan kaos dalam warna putih bersih, celana pendek, berpeci dan berkacamata. Di dada kiri dipasang seuntai rantai emas.

Di bahunya ada sampur (selendang) melintang ke pinggang. Kaos kaki dan sandal jepit tidak ketinggalan. Tak lupa wajah sang gemblak dipoles bedak tipis. Di kantongnya pun diselipkan sebotol minyak wangi, agar gemblak selalu berbau harum kalau menemani warok.

Lipstik?

"Ndak pakai, waktu itu belum ada lipstik," tukas Misdi.

Bisa perpanjang kontrak

Setelah diboyong, gemblak lalu diserahkan kepada warok. Di sini mulailah tahap selanjutnya. Warok mengajarkan apa saja yang harus dilakukannya.

Setelah paham, mulai-lah sang gemblak menjalankan tugas-tugasnya sesuai arahan warok selama masa kontrak yang telah disepakati. Biasanya gemblak akan melayani warok selama dua atau tiga tahun.

Setelah masa itu terpenuhi, dia dikembalikan kepada orangtuanya bersama seekor anak sapi yang dijanjikan dulu. Setelah ia di rumahnya kembali, orangtua si gemblak akan menunggu sampai ada warok yang akan meminang anaknya.

Namun umumnya warok akan memperpanjang kontrak selama dua atau tiga tahun lagi. "Soalnya, kalau mengambil gemblak baru lagi kan repot. Harus mengajari lagi. Yang lama jelas sudah berpengalaman," kata Misdi.

Tentu saja untuk memperpanjang kontrak, sang warok harus menjanjikan lagi seekor anak sapi atau terus menyekolahkannya. Ketika usia gemblak menginjak dewasa, antara 18 hingga 20 tahun, biasanya para warok sudah tak mau lagi memakainya.

Tak sembarangan remaja masuk kriteria para warok sebagai gemblak pilihannya. Ada syarat tertentu.
Tak sembarangan remaja masuk kriteria para warok sebagai gemblak pilihannya. Ada syarat tertentu.

"Dia kan juga sudah mulai kepengin mendekati wanita. Kalau kita gemblaki terus jangan-jangan malah nanti main serong dengan istri bapaknya," alasan Legong.

Jika sudah demikian, sang gemblak pun kembali menjalani kehidupan normal. Mereka mulai menyukai wanita, sampai akhirnya mereka pun menikah, dengan wanita tentunya.

Karena ada yang memperoleh imbalan berupa pendidikan, tak sedikit gemblak yang akhirnya menjadi orang yang berhasil. Mereka menjadi guru, pegawai negeri, bahkan "Ada bekas anak-anakan saya yang sekarang menjadi anggota ABRI," kata Kasni.

Meski begitu, para warok umumnya merahasiakan nama para bekas gemblaknya. Seperti Jolego, yang dua di antara gemblaknya telah lulus perguruan tinggi dan menjadi guru di kota lain.

"Kasihan, nanti mereka malu," ujar Kasni.

Artikel ini disarikan dari artikel yang tayang di Tabloid Nova pada Januari 1990.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait