Find Us On Social Media :

Ketika Intisari Bertemu DN Aidit Awal 1964: Selama 2 Jam Banyak Air Putih, Rokok, dan Secangkir Kopi Pahit

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 1 Oktober 2024 | 13:38 WIB

Dalam wawancaranya dengan Intisari, DN Aidit, Sekretaris Jenderal PKI, menyebut pencapaian tertingginya dalam politik adalah Proklamasi Indonesia.

***

Tatkala bung Aidit duduk di sekolah dasar HIS Blitung, pak guru St. Indra bertanya kepadanya dalam mata pelajaran ilmu bumi. Di Digul ada apa? Jawabnya, “Ada banyak orang pandai.” Pak guru agak terkejut dan murid itu dibeirnya angka baik. Jawaban itu didapatkan Dipa Nusantara Aidit dari ayahnya.

Ayahnya suka membaca surat kabar misalnya Pemandangan. Kepada anak-anaknya, sering dia berceritera tentang pemimpin-pemimpin masa itu seperti Soekarno, Hatta, pemuka-pemuka lain yang banyak dibuang ke Digul. Mereka itu orang pandai-pandai. Ini berkesan pada Aidit kecil.

Nama ayahnya Abdullah Aidit, seorang buruh perkebunan tamatan sekolah HIS. Dipa Nusantara Aidit kelahiran Medan tanggal 30 Juni 1923. Kemudian keluarganya pindah ke Belitung dan di sanalah ia menamatkan sekolah dasar. Saudaranya 4 dengan dia, semuanya lelaki: Basri, Sobron, Murad, dan D.N. Aidit.

Semuanya pengikut Marx dan Lenin hanya ada yang aktif ada yang tidak. Ibunya meninggal tatkala bung Aidit berumur 6 tahun.

Di Belitung ada tambang. Sering bung Aidit bersama teman-temannya masuk ke tambang sampai 200 m di bawah tanah. Kontras antara kehidupan buruh dan majikan berkesan padanya. Begitu pula nasib yang dialami ayahnya. Sekalipun pendidikannya lebih tinggi, ia tetap buruh, sedangkan kepalanya, orang Belanda yang lulus sekolah dasar saja tidak, lagi tolol dalam pekerjaan.

Abdullah Aidit oleh anaknya dilukiskan sebagai seorang Muslim liberal. Liberal dalam arti membiarkan anak-anaknya memilih ideologi, lapangan hidup dan kawan hidup menurut kehendak mereka sendiri-sendiri.

Sekitar tahun 1937 bung Aidit tiba di Jakarta, masuk sekolah dagang sambil mengikuti kursus bahasa-bahasa asing. Karena biaya macet, tidak sampai tamat. Malahan pernah ia bekerja sebagai pembuat lubang kancing pada tukang jahit. Katanya, ia pun suka sekali ke museum membaca buku-buku.

Ganyangannya buku-buku sosiologi dari penulis-penulis bukan Marxis. Adler, Vierkandt, Max Weber, Le Bon, Rolandhols, Kautzky, adalah beberapa nama yang ia sebutkan. Pandangan mereka tak memuaskan hatinya. Berlainan halnya tatkala dia membaca buku Manifesto Komunis dan buku-buku Marx dan Lenin lainnya.

Penderitaan lenyap apabila kelas-kelas itu lenyap. Tetapi untuk meniadakan kelas-kelas itu, justru dibutuhkan kesadaran kelas untuk dipertentangkan menjadi “perang kelas”.

Baru pertama kali itu kami berhadapan muka dengan bung Aidit. Yang istimewa ketajaman matanya dan roman muka yang menunjukkan intelegensia tinggi. Ini mungkin cermin dari dinamis jiwanya. Dinamik pemuda itu di Jakarta disalurkan pada kehidupan organisasi.Dia memasuki Persatuan Timur Muda. Anggotanya dari aneka macam golongan termasuk keturunan Arab dan Tionghoa. Katanya, "Sejak dulu saya menentang rasialisme."

Dia berkenalan dengan Wikana pemimpin Gerindo. Kenal pula dengan Amir Sjarifudin SH. "Besar pengaruhnya terhadap saya. Dia seorang intelektual yang militan, yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat. Pejuang gigih melawan fasisme. Berwibawa dan berwatak.”