Find Us On Social Media :

Achmad Yani, Waktu Muda Kelahi dengan Belanda Tuanya Gugur di Ujung Bedil Bangsa Sendiri

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 1 Oktober 2024 | 04:25 WIB

Siang sebelum kejadian, Achmad Yani membelikan bunga untuk ulang tahun istrinya. Sesampainya di rumah, ia berubah menjadi bunga duka cita. Gerakan 30 September 1965 yang membuat.

[ARSIP HAI]

Waktu remaja sudah berkelahi dengan Belanda. Pada 30 September 1965 memesan bunga untuk ulang tahun istrinya. Ketika bunga itu dikirim ke rumah di Jalan Lembang menjadi bunga duka cita bagi bangsa. Achmad Yani

Tayang pertama di Majalah Hai edisi 1 Oktober 1984

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Pak Sarjo bin Suharyo yang jadi sopir kena marah orang Belanda. Kisah ini terjadi di tahun 1938. Marah berbentuk makian kasar ini tidak enak buat telinga seorang putra tertua Pak Sarjo. Dia berusia 16 tahun, cuma badan masih kecil. Si pemuda ganti membalas dengan bahasa Belanda yang fasih.

Belanda yang merasa selalu menang dan tak mau dibantah, menempeleng. Si anak membalas. Terjadilah duel yang kurang seimbang. Seorang Kopral KNIL, bernama Lopias tak tega melihat kejadian tak seimbang. Lopias memukul Belanda sampai jatuh.

Akibatnya berat, bagi Lopias terutama. Pangkatnya diturunkan dua tingkat, dia disel dua bulan. Dua puluh tahun kemudian, pemuda itu dikenal sebagai Jenderal Achmad Yani. Peristiwa itu masih dikenangnya.

Achman Yani kemudian mencari Lopias, yang agak susah ditemukan. Karena diingatnya nama itu secara samar-samar. Disangka Lubis. Makanya seluruh Sumatra Utara diubek-ubek juga tidak ketemu.

Tapi di Ambon dalam suatu devile, Jendral Yani melihat seorang terompetis. Ketika dipanggil lelaki tua itu dipenuhi rasa takut. Baru setelah Jendral Yani mengingatkan peristiwa lama, peniup terompet dalam korp musik itu tahu. Bahwa anak kecil yang berani duel dengan Belanda itu adalah Jenderal yang kini tersenyum ke arahnya. Dia menangis saking terharunya.

Jenderal Yani ingin memberi hadiah. Tapi tak punya apa-apa. "Jam tangan Rolex ini kamu pakai saja." Juga jaket yang dulu digunakan untuk membasmi PRRI/Permesta. Maka Lopias pun pulang ke rumahnya mengenakan jam tangan Rolex dan jaket dengan tanda pangkat jenderal!

Pertemuan dengan Lopias itu terjadi 40 hari sebelum Jendral Achmad Yani gugur sebagai pahlawan revolusi.

Peristiwa kecil di atas menggambarkan banyak hal. Gambaran yang hidup karena kisah itu terjadi benar-benar. Betapa sesungguhnya kita sangat miskin cerita mengenai segi-segi yang manusiawi. Padahal bagi para tokoh, yang membuat, sejarah hal itu merupakan peristiwa yang banyak dialami.

Dari segi pengalaman saja luar biasa banyaknya. Jendral Achmad Yani, lebih separoh hidupnya dibaktikan di medan juang Dalam berbagai pertempuran yang dicatat dalam sejarah.

Baik dengan pemberontakan PKI Madiun, atau malah sebelumnya ketika bertempur di Merapi-Merbabu Complex, Pertempuan Lima Hari di Semarang, Agresi Militer I, penumpasan gerombolan DI/TII, PRRI. Kisahnya pasti hangat dan menyentuh. Justru di saat bertempur itu, ke delapan putra-putrinya lahir.

Ah, siapa yang harus menggali kisah-kisah semacam ini?

Achmad Yani dilahirkan di Jenar, Purworejo, 19 Juni 1922. Anak desa putra sulung Sarjo bin Suharyo, mempunyai dua adik perempuan Asmi dan Asina.

Waktu ada kerbau mengamuk, Achmad naik ke pohon, dan memberi komando dari atas kepada teman-temannya. Agar menyelamatkan diri. Bakat memimpin inilah yang menarik Hulstyn, majikan ayah Ahmad, untuk mengangkat sebagai anak asuh. Dan menambahi nama Yani. Nama yang memang berbau kecewek-cewekan.

Atas usaha Hulstyn, Ahmad Yani sekolah di HIS, tahun 1928. Pindah melulu: Purworejo, Magelang dan Bogor. Kecil-kecil sudah merantau dia ini.

Dari HIS ke Mulo, dan di sekolah ini ia lulus sebagai tiga terbaik. Lalu berlanjut ke AMS bagian B, di Jakarta. Dan terjadilah peristiwa dengan kopral Lopias tersebut. Mungkin dia bakal terus sekolah tinggi kalau tidak pecah perang dunia. Maka Ahmad Yani mengikuti pendidikan militer Belanda.

Jepang menang, dan sersan Achmad Yani ditawan. Setelah bebas, ia nganggur sebentar. Masuk sebagai juru bahasa Jepang. Eh bakat militernya tetap mendorongnya, dan memberi kesan kuat.

Dia masuk heiho, dan tentu saja lulus dengan enteng. Hingga kemudian di Bogor. Sebelum dikirim ke Bogor, ia kursus mengetik. Bandiyah Yayu Rulia adalah guru mengetik. Cinta lewat kursus mengetik itu bersemi. Dan memang kelak, Yayu Rulia ini mendampingi terus Achmad Yani, dengan enam putri dan dua putra.

Eh, tapi ini cerita berlanjut ke Bogor. Mengikuti pendidikan di sini, Achmad Yani keluar sebagai yang terbaik. Dapat hadiah atas prestasinya: sebilah samurai. Lalu kembali tugas di Magelang, sebagai Komandan Seksi I Kompi III Batalyon II. Tanggal 5 Desember 1944, Achmad Yani resmi mempersunting bekas guru ketiknya.

Peristiwa penting Proklamasi Kemerdekaan membawa akibat lain. Jepang memang tidak menyerah begitu saja. Yani dan teman-temannya mengibarkan bendera merah putih di gunung Tidar, gunung kecil di Magelang. Lalu melakukan pelucutan senjata terhadap Nakamura Butai, lalu hotel Nitaka yang jadi markas Jepang.

Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk. Yani berpangkat mayor, batalyonnya bagian dari Resimen XIV Magelang, yang dipimpin Letkol Sarbini. Resimen bagian dari Divisi V Purwokerto pimpinan Kolonel Soedirman.

Tugas sudah menantang. Pasukan Sekutu mendarat di Semarang, menjatuhkan Jepang tapi bukan sekedar membebaskan prajurit Sekutu yang ditawan. Malah mempersenjatai Belanda. Batalyon Yani menggempur. Kolonel Soedirman yang perkasa menggerakkan pasukan.

Pasukan Sekutu terdesak ke Benteng Willem I. Itulah saat yang kita kenal sekarang dengan Palagan Ambarawa, 15 Desember 1945, dengan mundurnya tentara Sekutu, sampai Semarang.

Lalu pertempuran demi pertempuran susul menyusul. Clas I (Agresi Militer I), Pemberontakkan PKI di Madiun, gerombolan yang mengacau di daerah Kebumen, dan juga DI/TII. Dalam menghadapi lawan inilah, Yani menyusun, melatih dan membentuk pasukan khusus yang disiapkan untuk menghadapi medan. Pasukan khusus ini menjadi cikal bakal dari Banteng Raiders, yang diresmikan 25 Maret 1953.

Sekolah sebentar di Amerika Serikat (1955-56), lalu memimpin Operasi 17 Agustus menumpas PRRI/Permesta. Sukses demi sukses inilah yang kemudian mengangkat pangkat dan kedudukannya. Jabatan tertinggi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Tanggal 1 Januari 1963, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal. Setahun kemudian menjadi Letnan jendral.

Situasi lagi rawan.

PKI lagi beragitasi. Merasa dapat dukungan massa, PKI dengan ormasnya justru merencanakan untuk membentuk Angkata Kelima. Artinya massa, buruh dan tani yang sebagian massa PKI, minta dipersenjatai. Yani menolak.

Sementara isyu adanya Dewan Jenderal muncul ke permukaan. Isyu dokumen Gillchrist yang menyangkut nama sejumlah jenderal yang dipimpin Yani yang katanya mau mengoreksi kebijaksanaan Presiden Soekarno.

Dan kita tahu, dalam pada itu, tubuh Angkatan Darat sendiri terpecah-pecah. Peristiwa Bandar Betsy, peristiwa Jengkol membuktikan bahwa dalam barisan Angkatan Darat bisa pecah dan bentrok.

Posisi yang sulit bagi Achmad Yani.

Puncak dari ini semua adalah, pemberontakan Gerakan 30 September 1965 yang ditandai dengan penculikan, penyiksaan dan pembunuhan sejumlah jenderal dan pimpinan. Antara lain Achmad Yani. Putra Indonesia, lahir di desa, besar dalam medan pertempuran, mengabdi dengan tulus kepada republik, berjuang atas nama negara, dibunuh dengan cara keji oleh bangsanya sendiri.

Tragedi yang tak boleh terulang lagi.

Tanggal 30 September 1965, Jendral Ahmad Yani pulang dari dinas sekitar pukul 15.00. Waktu duduk ada botol minyak wangi yang jatuh dan pecah. Pak Yani minta agar botol disimpan. Kemudian pergi main golf. Pulang pukul 18.00. Makan pisang goreng. Sekitar pukul 23.00 masuk kamar tidur.

Rumah jalan Lembang yang sepi itu, pagi hari dikejutkan dengan datangnya rombongan truk. Sersan Tumiran yang memakai seragam Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Istana), masuk rumah menyuruh Mbok Milah, pembantu membangunkan Pak Yani.

Karena tidak berani, Mbok Milah menyuruh Edy, putra bungsu (kakaknya Untung adalah putra ketujuh, tapi yang pertama sebagai putra lelaki. Kakak-kakaknya semua perempuan. Mereka punya kisah unik sendiri-sendiri. Nini misalnya lahir di kandang ayam, sehingga dikeroyok kutu ayam. Pak Yani masih bertempur di Merapi-Merbabu waktu itu. Waktu Pak Yani pulang, Nini diselimuti dengan selimut yang dulu menjadi kado perkawinan mereka), untuk membangunkan ayahnya, karena dipanggil presiden Soekarno untuk menghadap ke Istana.

Ahmad Yani bangun. Menemui sersan Raswad yang memakai pangkat Kapten. Mendengar bahwa dirinya dipanggil menghadap Presiden, Ahmad Yani menjawab.

"Baik, tunggu dulu, saya mandi."

Tumiran: "Tidak usah mandi."

"Baik saya akan cuci muka dan berpakaian."

Tumiran: "Tidak usah berpakaian."

Jenderal Yani menjadi marah. Dia berbalik, menempeleng prajurit yang tepat berdiri di belakangnya sambil berkata: "Tahu apa kau prajurit." Lalu melangkah meninggalkan tempat, masuk ruangan tengah dan menutup pintu kaca.

Yang ditempeleng Praka Dokrin. Sersan Giyadi yang memegang Thompson menarik pelatuk. Peluru menembus pintu kaca dan mengenai tubuh Jendral Yani. Rubuh. Kemudian diseret ke truk.

Anak-anaknya sempat melihat tubuh yang masih memakai piyama diseret.

3 Oktober, sumur tua tempat penyiksaan dan penimbunan para jenderal ditemukan. 4 Oktober disemayamkan. 5 Oktober dikuburkan. Iringan bergerak, massa rakyat berduka di sepanjang jalan. Peti jenazah diangkut dengan panser. Dengan pidato tersendat dari Jendral A.H. Nasution, para pahlawan revolusi dimakamkan.

Putra-putra Indonesia yang berjasa, yang memberikan apa yang terbaik dalam hidupnya menghadap Tuhan. Ahli waris langsung, prajurit-prajurit dan generasi berikutnya, menunduk, turut berdoa. Dan mendongak kembali terwarisi semangat, keteguhan, kepahlawanan yang membuat dada menjadi sesak karena bangga.

Bangga kita mempunyai pimpinan teladan.