Gugur Sebagai Korban PKI, Sosok Ini Ternyata Asisten Intelijen Ahmad Yani

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Sosok  jenderal S.Parman korban PKI.
Sosok jenderal S.Parman korban PKI.

Intisari-online.com - S. Parman adalah salah satu tokoh militer Indonesia yang gugur dalam peristiwa G30S pada tahun 1965.

Ia lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 17 Agustus 1922. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara.

Ayahnya bernama Sakirman, seorang guru agama dan pegawai negeri sipil. Ibunya bernama Siti Aminah, seorang ibu rumah tangga.

S. Parman menempuh pendidikan dasar di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Wonosobo dan melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Purwokerto.

Ia kemudian masuk ke AMS (Algemene Middelbare School) di Yogyakarta, tetapi tidak tamat karena terlibat dalam pergerakan nasional.

Bergabung dengan organisasi pemuda Indonesia Raya (IPERA) dan menjadi anggota redaksi majalah IPERA.

Pada tahun 1942, saat Jepang menginvasi Indonesia, S. Parman ditangkap oleh tentara Jepang karena kegiatan IPERA. Ia dipenjara di Cimahi selama tiga bulan.

Setelah dibebaskan, ia bekerja sebagai penerjemah bahasa Jepang di Kantor Urusan Penerangan Umum (KUPU) di Jakarta.

Di sana ia bertemu dengan Ahmad Yani, seorang perwira tentara Jepang yang juga anggota PETA (Pembela Tanah Air).

S. Parman dan Ahmad Yani menjadi akrab dan bersama-sama terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan Jepang.

Mereka juga berperan dalam persiapan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Baca Juga: Sosok Edi Darmawan Salihin, Ayah Wayan Mirna, Sekuat Tenaga Memenjarakan Jessica Wongso Dalam Kasus Kopi Sianida

S. Parman menjadi salah satu penandatangan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Setelah kemerdekaan, S. Parman bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Ia menjadi asisten intelijen Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Divisi V Banyumas.

S. Parman ikut berjuang dalam perang kemerdekaan melawan Belanda dan Inggris.

Pada tahun 1950, S. Parman diangkat menjadi Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya di Surabaya.

Ia kemudian menjabat sebagai Kepala Staf Kodam IV Diponegoro di Semarang pada tahun 1952.

Pada tahun 1954, ia dipindahkan ke Jakarta dan menjadi asisten intelijen Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

S. Parman mendapat pangkat mayor jenderal pada tahun 1960 dan menjadi Wakil KSAD pada tahun 1962.

Ia juga menjadi anggota Dewan Pertahanan Nasional (DPN) dan Dewan Revolusi Nasional (DRN).

Kemudian dikenal sebagai tokoh militer yang loyal, disiplin, cerdas, dan berwawasan luas.

Pada tanggal 1 Oktober 1965, S. Parman menjadi salah satu korban pembunuhan oleh gerakan G30S yang dipimpin oleh Letkol Untung dari Resimen Tjakrabirawa.

Baca Juga: Disebut 'Putra Mahkota yang Tertukar' Inilah Ramalan Kerajaan Kutai Tentang Presiden RI 2024

Ia dibunuh di rumah dinasnya di Jalan Gatot Subroto No. 6 Jakarta bersama dengan Ahmad Yani dan lima jenderal lainnya.

Jenazahnya dibawa ke Lubang Buaya dan dimutilasi oleh para pemberontak.

S. Parman dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada tanggal 3 Oktober 1965.

Ia mendapat gelar pahlawan revolusi dari pemerintah Indonesia atas jasa-jasanya bagi bangsa dan negara.

Artikel Terkait