Find Us On Social Media :

Cerita Wartawan Intisari Ikut Latihan Militer Jepang hingga Tipu Penjajah Demi Selamatkan Pejuang

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 21 September 2024 | 14:00 WIB

Ini adalah cerita mendiang Slamet Suseno, mantan wartawan Intisari yang pernah ikut latihan militer Jepang, PETA, saat mudanya. Kemampuan bahasa Belanda-nya dia gunakan untuk menipu penjajah dan menyelamatkan pejuang.

Sementara itu badan perjuangan tumbuh subur, baik dari partai politik maupun perorangan. Yang paling terkenal adalah Barisan Pemberontak Indonesia, pimpinan Bung Tomo. Kami selalu terpesona mendengar pidato radionya setiap sore. Mula-mula pelan, kemudian menggelegar membakar semangat, sampai kami pun terbakar dan benci terhadap NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Suatu hari di alun-alun Madiun ada rapat raksasa yang menampilkan Bung Tomo itu. Ia mengenakan baju seragam Barisan Pemberontak coklat muda dan sepatu lars, sambil menyandang keris di pinggang samping. Kalau para perwira tentara menyandang pedang samurai, Bung Tomo menyandang keris.

Rambutnya gondrong sampai ke bahu, tapi karena memakai bivakmuts (sejenis peci tentara), penampilan gondrongnya tidak mengganggu pemandangan. Walaupun begitu, kami toh tidak tertarik untuk ikut berambut gondrong.

Usai tugas melatih pemuda desa, saya bergabung dengan satuan tugas penelitian bahan peledak. Saya ditempatkan di bekas rumah orang Belanda yang ditawan oleh Tentara Nasional Indonesia. Tugas kami meneliti dan merumuskan formula yang tepat susunan mesiu untuk granat tangan buatan sendiri.

Ketika ayah-ibu mendengar hal itu, mereka cemas. "Kalau mau berjuang jangan di tempat mesiu! Kalau kamu celaka dan sampai tewas, itu bukan gugur sebagai kusuma bangsa namanya, tapi mati konyol di dapur!"

Walaupun saya membela diri bahwa tugas saya bukan mengaduk-aduk mesiu tapi lebih banyak mengerjakan hitungan dengan rumus di atas kertas dan menjaga telepon, namun bapak-ibu tidak percaya. Dikiranya saya bergurau! Untung kemudian SMP dibuka lagi pada bulan Januari 1946. Jadi saya bisa meninggalkan satgas mesiu itu dengan alasan yang terhormat. Bukan karena ortu!

Berkat latihan di daidan

Pada Agustus 1946 saya lulus SMP Madiun dan meneruskan belajar di SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) Malang. Di kota itu banyak berkumpul para pelajar yang tergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Saya pun diajak bergabung, tapi mengingat pesan ortu sebelumnya, bahwa "Tugasmu belajar! Titik!" maka saya tidak ikut TRIP.

Ketika saya pulang ke Madiun karena libur kenaikan kelas tahun 1947, Kota Malang diserbu Belanda, pada bulan Juli, tapi Madiun tidak. Kampung halaman saya masih berada di daerah Republik, dan kini dipenuhi pengungsi dari daerah pendudukan Belanda.

Di mana-mana ada kios makanan yang didirikan para pengungsi ini untuk mencari penghasilan tambahan. Halaman rumah-rumah- yang sebelumnya sepi, kini meriah dengan kesibukan orang masak dan papan nama: "Sudi Mampir" dan "Mari Kangen". Atau "Ben Wareg".

Pertimbangan mereka, sambil berdagang makanan, lumayan bisa numpang makan dengan cuma-cuma. Karena SPMA Malang bubar, saya kemudian meneruskan belajar di SPMA Yogyakarta, yang pada tahun 1947 belum diserbu Belanda.

Sekolah ini menempati bekas rumah sakit jiwa di Tegalduwur, Kecamatan Wedi, dekat Klaten. Tapi saya tidak ikut diasramakan di kamar gila, melainkan di salah satu kamar rumah administratur perkebunan tembakau. Gedung kuno yang megah itu mengingatkan saya pada cerita kejayaan para kepala perkebunan Belanda yang hidup bergaya feodal seperti raja-raja kita zaman Mataram.