Find Us On Social Media :

Cerita Wartawan Intisari Ikut Latihan Militer Jepang hingga Tipu Penjajah Demi Selamatkan Pejuang

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 21 September 2024 | 14:00 WIB

Ini adalah cerita mendiang Slamet Suseno, mantan wartawan Intisari yang pernah ikut latihan militer Jepang, PETA, saat mudanya. Kemampuan bahasa Belanda-nya dia gunakan untuk menipu penjajah dan menyelamatkan pejuang.

Kami tidak mengerti mengapa makanannya dicampur gabah. Padahal Madiun - Ponorogo itu gudang beras. "Justru itu latihan tirakat!" jelas seorang kawan yang suka mistik. Menurut dia, itu disengaja agar kami tahan banting setelah digembleng di tempat penggemblengan ini.

"Digembleng dengan gabah?" tanya saya ingin ketawa.

"Kamu menghina!" jawabnya serius.

Seorang teman lain yang tidak mengurusi mistik menduga, bahwa pabrik penggilingan padi pemasok daidan itu sudah parah mesinnya karena kekurangan suku cadang. Beras berupa gabah masih lolos.

Tapi yang lebih parah di zaman Jepang itu adalah kekurangan tekstil. Sudah lama pakaian kami terpaksa ditambal sulam kalau ada yang bolong." Begitu juga celana saya bagian belakang yang sehari-hari saya pakai untuk duduk.

Di Daidan Ponorogo, kami harus mencuci sendiri celana rombeng semacam itu. Mencucinya terpaksa sore, karena waktu pagi dipakai taiso (senam dengan iringan piano dari radio). Jadi menjemurnya malam-malam di bawah sinar bulan yang suhunya di bawah standar.

Tidur kami di atas bale-bale bersama yang diberi tikar sebagai seprai. Bantalnya tumpukan celana dan kemeja sendiri yang dilipat. Pakaian ini juga tidak perlu disetrika, karena ditiduri sebagai bantal juga sudah seperti disetrika.

Tiga minggu setelah baris-berbaris, perang-perangan, dan makan gabah, kami dinyatakan lulus sebagai anggota Barisan Istimewa. Beberapa hari kemudian terbetik berita, bahwa bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan di Pegangsaan Timur, Jakarta. Proklamatornya pemimpin sejati kita: Soekarno - Hatta.

Menyerbu pelan-pelan

Tiba-tiba semua anggota Barisan Istimewa dikerahkan bersama barisan Badan Perjuangan yang lain untuk merebut senjata dari tentara Jepang. Pukul 16.00 kami harus berdiri di depan markas kempetai (polisi militer) yang terkenal kejam itu.

Seorang pemimpin (entah dari mana asalnya) berpidato di muka kami. Intinya, kami harus tetap bersiaga penuh sementara Bapak Wakil Residen, Mr. Ali Sastroamidjojo, berunding dengan komandan kempetai.

"Mr" zaman itu masih berarti Meester in de Rechten, padanan LM (Legum Magister) zaman sekarang. Bukan singkatan Mister Inggris. Waktu itu, residen Madiun seorang Jepang. Wakilnya orang Indonesia. Jabatan residen sekarang disebut pembantu gubernur.