Find Us On Social Media :

Cerita Wartawan Intisari Ikut Latihan Militer Jepang hingga Tipu Penjajah Demi Selamatkan Pejuang

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 21 September 2024 | 14:00 WIB

Ini adalah cerita mendiang Slamet Suseno, mantan wartawan Intisari yang pernah ikut latihan militer Jepang, PETA, saat mudanya. Kemampuan bahasa Belanda-nya dia gunakan untuk menipu penjajah dan menyelamatkan pejuang.

Pukul 18.00, pemimpin itu muncul lagi dan memerintahkan kami: "Ingat saudara-saudara! Kita maju pelan-pelan! Jangan provokatif! Jangan grusa-grusu! Jangan membuat panik ketek-ketek itu! (istilah beliau bagi tentara Jepang yang berkonfrontasi di depan kami). Kami pun menyerbu dengan penuh semangat menggelora. Tapi pelan-pelan!

Sudah tentu ini bahan guyonan lagi bagi kami: Teman saya di barisan depan memang berdebar-debar (katanya sesudah semua usai), tapi kami di barisan belakang tetap saja guyon. "Serbuuuu! Pelan-pelaaaan!" bisik kami terpingkal-pingkal.

Kalau disadari kemudian, sebenarnya siasat itu benar-benar lihai. Dibandingkan dengan penyerbuan merebut senjata Jepang di kota lain yang menelan korban, kami di Madiun berhasil gemilang tanpa korban. Mungkin karena perbawa Mr. Ali Sastroamidjojo sebagai wakil residen juga besar atas komandan kempetai yang cuma mayor.

Ternyata anggota tentara Jepang yang tadi berjaga-jaga itu juga mundur pelan-pelan, seiring dengan gerak maju kami. Di lobi kantor (bekas hotel yang dipakai sebagai markas kempetai) kami melihat tentara Jepang itu diajak mengisap rokok oleh pemimpin yang tadi berpidato "Jangan membuat panik ketek-ketek". Ketek-nya sekarang diajak merokok dengan penuh persaudaraan.

Satgas mesiu

Ketika pertempuran yang sebenar-benarnya berkobar di Surabaya bulan November 1945, SMP Madiun (nama SMTP zaman perang kemerdekaan) masih tutup. Mungkin menunggu instruksi dari kantor gubernur di Surabaya yang sedang bergolak.

Pelajar luntang lantung seperti kami sibuk kulak warto adol prungon (mencari berita, menjual hasil dengaran). Di pasar gede saya melihat para gelandangan mencari makanan di dekat warung-warung. Para gelandangan ini berasal dari desa yang musim tanamnya baru usai, dan kini belum ada padi yang bisa dipanen.

Mereka kekurangan pangan, lalu mencari nafkah ke kota. Beberapa anak bukan mencari nafkah, tapi mencari kutu di antara serat kain celana mereka. Kutu celana yang dalam bahasa Jawa disebut tumo katok itu mirip bunyinya dengan nama jabatan Jepang: Sumo kacho. Sampai lama dia kami kenang sebagai plesetan zaman Jepang.

Saya bergabung dengan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), dan karena pernah lulus latihan militer, saya harus melatih para pemuda desa di Delopo. Ketika menjadi pelatih inilah saya tak sampai hati memelototi mereka (seperti pelatih kami dulu) kalau ada yang guyon sambil berbaris.

Dari segi kemiliteran, latihan pemuda desa ini jelas tidak berhasil, karena sama sekali tidak ada acara perkenalan dengan senjata. Tapi kami berhasil menanamkan kesadaran pada mereka, bahwa kita sudah merdeka, dan tidak dijajah lagi oleh bangsa lain. Itu berarti kita tidak boleh merasa minder lagi seperti dulu.

Untuk memompa semangat perjuangan dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang belum selesai (karena masih dirongrong oleh Belanda), mereka kami ajari berteriak "Merdekaaaa!" sambil mengepalkan tangan ke atas, setiap kali ingin memberi salam.

Di samping itu juga cara-cara menaikkan dan menghormati Sang Saka Merah Putih, menyanyikan lagu kebangsaan, mengheningkan cipta, dan menyanyikan lagu0lagu perjuangan Maju Tak Gentar, Indonesia Tetap Merdeka, Berkibarlah Benderaku, dan Dari Barat sampai ke Timur (yang kemudian balik nama menjadi Dari Sabang sampai Merauke).