Find Us On Social Media :

Batik Biasa Saja Sudah Mahal, apalagi Batik Sutra yang Eksklusif

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 19 September 2024 | 14:44 WIB

Batik sutra tentu harganya jauh lebih mahal dibanding batik pada kain mori biasa. Prosesnya juga lebih ribet.

Berkali-kali mereka mendatangi tempat-tempat yang merupakan penghasil tenunan, antara lain Tenganan Pegringsingan di Bali, Kerek di Tuban, Sumba, Lombok, dll. Dalam waktu sekitar tiga tahun, bersama kerabatnya, Yus berusaha menguasai teknik dengan pewarna alami ini.

Setelah mengalami berbagai macam kegagalan, akhirnya Yus yang tidak cepat putus asa ini berhasil bagaimana mengkombinasikan bahan pewarna alami ini, meskipun belum seratus persen.

"Berlainan dengan pewarna sintetis yang sudah memiliki standar, pewarna alami sulit sekali ditentukan standarnya," ungkapnya.

Diekspor ke Jepang

Orang yang melihat hasil akhir batik sutra karya Yusman ini boleh berdecak kagum, karena selain indah, juga halus. Jadi soal harga yang antara Rp100 ribu - Rp1 juta (untuk ukuran tahun 1992 itu adalah nilai yang begitu besar), untuk sehelai batik sutra kreasinya, untuk dibilang mahal itu relatif. Sedangkan untuk selembar kemeja dari sutra Cina, Yusman mamatok harga antara Rp150 ribu-Rp200 ribu.

Jika melihat proses yang rumit dan lama, orang pasti tidak akan sayang untuk merogoh kantungnya. Bayangan saya untuk membuat batiknya saja diperlukan waktu sekitar tiga minggu.

Sedangkan untuk sampai bentuk jadinya dibutuhkan waktu tidak kurang, antara 1,5- 3 bulan. Apalagi membatik pada sutra tidak semudah membatik pada kain mori umumnya, karena sering kali canting mudah terkait pada sutera yang halus dan tipis itu.

Dalam mencipta, pasangan ini sepakat untuk tidak memproduksi suatu motif dalam jumlah banyak. "Biasanya kami menciptakan suatu motif dengan warna yang sama hanya antara satu sampai lima potong saja. Selain agar eksklusif, supaya orang tidak bosan melihat hasil karya kami,” kata Tinke memberi alasan.

Meskipun kini sudah tak terhitung desain yang lahir dari tangan pasangan ini, mereka belum berniat untuk mematenkan karya mereka. Alasannya?

"Biar saja jika ada yang mau meniru hasil karya kami. Dengan demikian kami pun semakin terpacu untuk menciptakan sesuatu yang baru,” kata Yusman, yang pernah meraih piala The Fashion Foundation dan terpilih sebagai pemenang lima besar The International Textile Design Contest di Tokyo pada bulan Desember 1987.

Meskipun jauh dari gegap gempita mode ibukota, Yusman dan Tinke tetap mengikuti trend mode yang terus berputar sehingga mereka tidak merasa ketinggalan. Begitu pula jalur pemasarannya.

Selain melayani pembeli di workshop-nya, dia memasarkan hasil karyanya melalui Bin's House di Jakarta. Kebanyakan produksi Yusman berbentuk batik sutra lembaran, tetapi mereka juga sudah menyediakan yang siap pakai meskipun belum banyak.

"Hanya sesuai dengan permintaan saja," kata Tinke. Tapi untuk yang gemar memakai scarf dan selendang mereka pun menyediakannya. Pasangan ini juga mengekspor karya mereka ke Jepang.