Find Us On Social Media :

Batik Oey Soe Tjoen, Batik Pesisir Legendaris yang Nasibnya Penuh Ironi di Tengah Puja-puji

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 19 September 2024 | 13:11 WIB

Batik Oey Soe Tjoen, batik pesisir legendaris asal Pekalongan yang nasibnya tak sebagus kualitasnya. Sudah tak sejaya zama keemasannya dulu.

Batik Indonesia boleh dikata tengah berada di fase penuh puja-puji. Tapi tak semua pelaku bisnis batik menikmati manisnya masa indah ini. Batik Oey Soe Tjoen, batik pesisir legendaris asal Pekalongan, kondisinya bak hidup segan mati tak hendak.

Penulis: Moh Habib Asyhad, tayang pertama di Majalah Intisari edisi September 2013

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Kita boleh geram dengan Malaysia yang pernah "mengklaim" batik sebagai kebudayaan asli negerinya. Namun ternyata di balik peristiwa itu, ada berkah tersembunyi, karena masyarakat Indonesia menjadi ber-euforia kain bermotif batik.

Beruntungnya lagi tak lama kemudian UNESCO menegaskan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi asli Indonesia pada 2 Oktober 2009.

Gara-gara peristiwa klaim-klaiman tadi, pasar batik di Indonesia yang memang sudah menggeliat sejak 10 tahun sebelumnya jadi semakin ramai. Beragam batik menghiasi gerai-gerai yang berjajar di mal-mal mewah. Tak hanya sebagai pakaian tradisional, batik juga merambah dunia fashion.

Salah satu jenis batik yang punya banyak penggemar adalah batik pesisiran seperti Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Lasem, Madura, dsb. Dengan motifnya yang cenderung lebih berani dan beraneka warna, batik-batik pesisiran banyak dikejar oleh para kolektor. Ya, meskipun mereka harus merogoh kocek yang cukup dalam.

 Ironi di tengah puja-puji

Sayang seribu sayang, tak semua pelaku batik menikmati masa indah ini. Di beberapa daerah, banyak industri batik yang mati suri.

Salah satu contohnya, Batik Art Oey Soe Tjoen, batik legendaris dari Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah. Meski tak sampai gulung tikar, usaha yang didirikan oleh Oey Soe Tjoen pada 1925 ini hampir mati suri.

Pada masa jayanya, sekitar tahun 1935, Batik Oey pernah mempekerjakan sekitar 150 pekerja dengan hasil 30 kain batik per bulan. Tapi itu cerita dulu. Kini usaha yang diteruskan Widianti Widjaja, cucu sang pendiri, hanya memproduksi 20 kain batik per tahun.

Untuk satu kainnya, kisaran harganya "setara dengan satu sepeda motor baru".

Masalah utama masih berkutat seputar sumber daya manusia yang jauh dari kriteria yang ditetapkan batik Oey. Terkesan arogan memang, tapi untuk mempertahankan kualitas secara terus-menerus, Widianti memasang target tinggi untuk para calon pembatiknya. Jika dihitung-hitung, saat ini hanya ada 12 sampai 15 pekerja yang aktif.

Untuk selembar kain batik yang dibuat, Widianti minta tenggat waktu 3 sampai 3,5 tahun. Bukan karena banyaknya permintaan, tapi karena Sang Pemilik tidak bisa memaksa para pekerjanya bekerja seharian di pembatikan. Mereka bekerja seluang waktu sempatnya.

"Ada yang petani, ada yang ibu rumah tangga, mereka mbatiknya ya pas ada waktu luang saja. Setelah mengantar anak sekolah, misalnya," ujar Widianti. Soal upah, tentu sesuai dengan jumlah pekerjaan.

Dengan hasil produksi itu, Batik Oey tidak lagi bisa menjadi mata pencaharian utama keturunan Oey. Untuk tetap mempertahankan dapur keluarga tetap mengepul, Widianti membuka toko serba-ada (toko kelontong) yang letaknya persis di samping rumah. Bahkan ada kalanya toko yang dirintis bersama suaminya itu justru berperan sebagai penopang utama batik.

Mati suri setahun

Widianti menerima amanat Batik Oey dari ayahnya, Muljadi Widjaja, dalam keadaan compang-camping. Dari 150 tenaga kerja yang ada di zaman kakeknya, kini tersisa 60 orang saja. Kondisi mulai memburuk pada periode awal tahun 2000. Banyaknya produksi batik di Pekalongan, termasuk di antaranya batik printing, menjadi masalah baru bagi Muljadi.

Ketika 2002 Muljadi meninggal dunia, warisan keluarga ini diserahkan sepenuhnya kepada Widianti yang ketika itu baru dua tahun lulus kuliah. Bebannya tidak ringan, sebab harus melestarikan mata pencaharian keluarga selama dua generasi sebelumnya.

Di lain pihak, Widianti juga harus meredam isu yang tersebar di Jakarta, bahwa batik Oey sudah tutup seiring kepergian ayahnya.

Di tengah upaya menghalau masalah tersebut, Batik Oey terkena dampak dari Bom Bali 2002. Peristiwa itu secara tidak langsung telah membunuh ruang edar Batik Oey. Maklum, hampir sebagian besar pelanggan berasal dari luar negeri.

Seluruh pesanan yang telah diproduksi, batal. Akhirnya batik-batik itu menumpuk di gudang, di belakang rumah Widianti.

Tak berhenti sampai di situ, beberapa waktu kemudian terjadi kelangkaan minyak tanah. Setelah melalui pergulatan batin yang panjang, Widianti akhirnya memutuskan untuk mengistirahatkan Batik Oey untuk sementara waktu.

"Sekitar 30 pembatik yang ada sejak zaman Papa saya pulangkan. Saya hanya memakai 12-15 orang saja untuk menjaga kebutuhan produksi Batik Oey. Tapi secara umum, selama kurang lebih setahun, saya tidak menerima pesanan batik dari luar," kenang Widianti tentang masa-masa sulit itu.

Harapan dari Jepang

Suatu siang pada 2004, datang seorang pencinta batik dari Jepang. Tidak ada angin tidak hujan, tiba-tiba ia memesan motif batik hokokai yang didapatnya dari salah satu museum di Jepang. Syaratnya hanya satu, tak peduli bagus atau tidak, harus menyerupai motif yang dia inginkan.

Widianti yang waktu memang sedang senggang, menyanggupi permintaan si orang Jepang yang baik hati itu. Seperti sebelum-sebelumnya, Widianti meminta tenggat pembuatan kurang lebih tiga tahun. Orang Jepang tersebut menyanggupi.

Belum sampai setahun, si orang Jepang sudah datang lagi. Padahal batik yang dia pesan sama sekali belum beres. Tapi bukan itu tujuan si Jepang, kali ini lebih gila, dia membawa empat motif yang berbeda satu dengan yang lain.

Karena merasa terlalu berat, maka Widianti hanya menyanggupi dua saja dari motif-motif tersebut. Lagi-lagi pencinta batik dari Jepang itu menyanggupi.

Di tengah usahanya menyanggupi pesanan dari Jepang, datanglah tamu dari Singapura. Karena tertarik dengan gambar karya Widianti, sang tamu ikut-ikutan memesan apa yang dipesan oleh si orang Jepang.

Entah karena apa, setelah itu tiba-tiba banyak pencinta batik yang memesan Batik Oey. Akhirnya, pada tahun itu juga, Widianti memberanikan diri untuk kembali membuka permintaan pembuatan batik.

Sempat ingin berhenti

Mengembalikan kejayaan batik Oey Soe Tjoen merupakan salah satu harapan Widianti suatu saat nanti.

Baginya, membesarkan batik sama halnya dengan membesarkan nama keluarga Oey. Tapi tentu saja itu tidak mudah. Persaingan industri batik, serta minimnya pembatik berkualitas, menjadi halangan tersendiri bagi Widianti.

Belum lagi, waktunya banyak dicurahkan untuk kelangsungan tokonya. Ia baru bisa mengerjakan batik pesanan orang setelah urusan di toko rampung. Itu pun tidak setiap hari, hanya Jumat malam dan Sabtu malam.

"Saya tak mungkin meninggalkan toko. Suami saya ndak bisa sendirian. Di sela-sela menjaga toko, tiap hari saya juga harus mengantarkan anak berangkat sekolah. Jika ada yang tanya, milih mana batik atau keluarga? Maka saya akan menjawab yang kedua," ujarnya tegas.

Kondisi yang tak menentu seperti ini beberapa kali membuat Widianti berpikir untuk berhenti sama sekali dari bisnis batik. Beberapa kali dia memberi tahu para pelanggannya untuk menghentikan pemesanan. Tapi semua itu tak mungkin terjadi. Ibaratnya, hidup segan mati tak hendak.

Widianti tak mungkin menghentikan tradisi batik yang sudah turun-temurun. Banyak pertimbangan yang menggelayut di pundaknya jika usaha itu sampai berhenti. Salah satu pertimbangannya adalah amanat keluarga besarnya.

Yang tak kalah penting, urusannya dengan para pelanggan. Dia tak mungkin begitu saja memutus hubungan baik yang telah dirajut dengan para relasi, yang tak hanya sekadar pembeli, tapi juga teman diskusi.

Dwita Herman salah satunya. Perempuan 50 tahun ini mengaku beberapa kali dicurhati Widianti terkait niatnya untuk berhenti dari batik. “Sayang saja kalau benar-benar berhenti,” katanya.

Dwita sendiri beberapa kali berdiskusi dengan Widianti untuk menentukan motif batik terbaru. Salah satunya adalah cerita Isra’ Mi’raj dengan warna Tionghoa yang saat ini salah satu koleksi pribadi Dwita.

Beberapa pelanggannya juga menyarankan agar Widianti membuat produk batik sampingan, yang lebih komersial, sebagai penopang agar batik Oey tetap hidup. Alih-alih diiyakan, Dwita mengaku Widianti agak “keras kepala” perihal masalah ini. Menjaga kekhasan Batik Oey Soe Tjoen tetaplah yang utama bagi Widianti. Apa pun caranya.