Find Us On Social Media :

Batik Oey Soe Tjoen, Batik Pesisir Legendaris yang Nasibnya Penuh Ironi di Tengah Puja-puji

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 19 September 2024 | 13:11 WIB

Batik Oey Soe Tjoen, batik pesisir legendaris asal Pekalongan yang nasibnya tak sebagus kualitasnya. Sudah tak sejaya zama keemasannya dulu.

Pada masa jayanya, sekitar tahun 1935, Batik Oey pernah mempekerjakan sekitar 150 pekerja dengan hasil 30 kain batik per bulan. Tapi itu cerita dulu. Kini usaha yang diteruskan Widianti Widjaja, cucu sang pendiri, hanya memproduksi 20 kain batik per tahun.

Untuk satu kainnya, kisaran harganya "setara dengan satu sepeda motor baru".

Masalah utama masih berkutat seputar sumber daya manusia yang jauh dari kriteria yang ditetapkan batik Oey. Terkesan arogan memang, tapi untuk mempertahankan kualitas secara terus-menerus, Widianti memasang target tinggi untuk para calon pembatiknya. Jika dihitung-hitung, saat ini hanya ada 12 sampai 15 pekerja yang aktif.

Untuk selembar kain batik yang dibuat, Widianti minta tenggat waktu 3 sampai 3,5 tahun. Bukan karena banyaknya permintaan, tapi karena Sang Pemilik tidak bisa memaksa para pekerjanya bekerja seharian di pembatikan. Mereka bekerja seluang waktu sempatnya.

"Ada yang petani, ada yang ibu rumah tangga, mereka mbatiknya ya pas ada waktu luang saja. Setelah mengantar anak sekolah, misalnya," ujar Widianti. Soal upah, tentu sesuai dengan jumlah pekerjaan.

Dengan hasil produksi itu, Batik Oey tidak lagi bisa menjadi mata pencaharian utama keturunan Oey. Untuk tetap mempertahankan dapur keluarga tetap mengepul, Widianti membuka toko serba-ada (toko kelontong) yang letaknya persis di samping rumah. Bahkan ada kalanya toko yang dirintis bersama suaminya itu justru berperan sebagai penopang utama batik.

Mati suri setahun

Widianti menerima amanat Batik Oey dari ayahnya, Muljadi Widjaja, dalam keadaan compang-camping. Dari 150 tenaga kerja yang ada di zaman kakeknya, kini tersisa 60 orang saja. Kondisi mulai memburuk pada periode awal tahun 2000. Banyaknya produksi batik di Pekalongan, termasuk di antaranya batik printing, menjadi masalah baru bagi Muljadi.

Ketika 2002 Muljadi meninggal dunia, warisan keluarga ini diserahkan sepenuhnya kepada Widianti yang ketika itu baru dua tahun lulus kuliah. Bebannya tidak ringan, sebab harus melestarikan mata pencaharian keluarga selama dua generasi sebelumnya.

Di lain pihak, Widianti juga harus meredam isu yang tersebar di Jakarta, bahwa batik Oey sudah tutup seiring kepergian ayahnya.

Di tengah upaya menghalau masalah tersebut, Batik Oey terkena dampak dari Bom Bali 2002. Peristiwa itu secara tidak langsung telah membunuh ruang edar Batik Oey. Maklum, hampir sebagian besar pelanggan berasal dari luar negeri.