Find Us On Social Media :

Dari dalam Panti Jompo, Nenek-nenek yang Di-'PKI'-kan Ini Minta Keadilan

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 18 September 2024 | 12:50 WIB

Eyang Sri Sulistiawati dan Eyang Lestari, dua wanita yang di-PKI-an oleh Orde Baru. Belasan tahun jadi tahanan politik.

Sebelum gonjang-ganjing di ujung September 1965 terjadi, perempuan berkacamata itu adalah wartawan Harian Ekonomi Indonesia khusus peliput istana; tak heran jika link-nya kuat.

Sri juga beberapa kali diajak rombongan safari kementerian di masa Orde Lama, misalnya rombongan Safari Dwikora yang dipimpin oleh Dr. Subandrio, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Indonesia waktu itu, ke Sumatera, pertengahan September 1965.

Sebagai wartawan, Sri memiliki trik khusus dalam liputan supaya beritanya tidak sama dengan koran-koran lain sezamannya. Dia akan datang pagi-pagi sekali ketika Presiden masih sibuk dengan aktivitas nyiram tanaman dan ngeteh. “Berita saya lebih segar dan baru,” tegas Sri.

Dari kebiasaannya itulah, suatu hari Sri mendapatkan pernyataan mengejutkan dari Presiden RI waktu itu, Bung Karno, sesaat sebelum benar-benar lengser. Menirukan apa yang dikatakan Bung Karno, Sri mengatakan, “beliau merasa sudah tidak sanggup lagi memimpin negara.”

-------------------------------------------------------------

BOKS

Tertangkap di Blitar Selatan

Kebanyakan penghuni Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi adalah tahanan politik yang ditangkap di Blitar Selatan pada 1968 oleh satuan Linud 18 dalam Operasi Trisula. Sri Sulistiawati pagi buta ditangkap ketika hendak berangkat ke pasar. Seperti pagi-pagi sebelumnya, sebelum ke pasar ia selalu menyeduh kopi terlebih dahulu. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tembakan.

Lestari ditangkap belakangan di persembunyiannya di daerah berbukit tepi pantai Blitar Selatan. Dalam penyergapan itu, Lestari harus kehilangan putranya. Suami Lestari yang juga tertangkap pada operasi tersebut, akhirnya dijatuhi hukuman mati di Surabaya.

Pernah Makan Nasi Campur Beling

Setelah ditangkap, Sri Sulistiawati dijebloskan ke penjara perempuan di Malang. Setelah melewati berbagai proses, tidak lama setelah itu ia akhirnya ditempatkan di penjara perempuan Bukit Duri, Jakarta.

Di tempat baru itu tidak ada lagi siksaan, tapi bukan berarti nasib Sri lebih baik; ia merasa, para tahanan seolah dibiarkan mati perlahan-lahan. Nasi yang disajikan bercampur beling, sehingga sebelum makan, para tahanan harus memilah antara nasi dan beling. Sedikit saja tidak teliti, maka beling-beling itu akan tergelontor masuk ke lambung bersama nasi.