Find Us On Social Media :

Samin Melawan Penjajah dengan Cara-cara yang Sering Disalahpahami

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 16 September 2024 | 11:47 WIB

Ini potret sebuah gerakan perlawanan melawan penjajah yang dipandang dengan penuh sinisme. Padahal ajaran-ajarannya yang terwariskan hingga kini mencuatkan nilai-nilai kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.

Sosialisasi hukum itu lantas ditindaklanjuti pemerintah Belanda dengan pemungutan pajak untuk air, tanah, dan usaha ternak mereka. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin mandor polisi hutan. Pemerintah Belanda berdalih semua pajak itu kelak dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Akal bulus itu ditentang oleh masyarakat pinggir hutan di bawah komando Samin Surosentiko yang diangkat oleh pengikutnya sebagai pemimpin informal. Suripan Sadi Hutomo menuliskan, Samin Surosentiko, tanpa persetujuan dirinya, oleh para pengikutnya dianggap sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam.

Para pengikut Samin berpendapat, langkah swastanisasi kehutanan tahun 1875 yang mengambil alih tanah-tanah kerajaan menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari tanah leluhurnya. Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin adalah tanah dan udara adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama, Jawa Ngoko yang kasar alias tidak taklim. Sasaran mereka sangat jelas, para mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda.

Ketika mandor hutan menarik pajak tanah, secara demonstratif mereka berbaring di tengah tanah pekarangannya sambil berteriak keras, "Kanggo!" (punya saya). Ini membuat para penguasa dan orang-orang kota menjadi sinis dan mengonotasikan pergerakan tersebut sebagai sekadar perkumpulan orang tidak santun.

Penguasa bahkan mendramatisasi dengan falsafah Jawa kuno yang menyatakan, "wong ora bisa basa” atau orang tidak bisa bahasa Jawa halus (beradab). Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut orang Samin, dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan.

Ketika pergerakan itu memanas dan mulai menyebar di sekitar tahun 1905, pemerintah Belanda melakukan represi. Menangkap para pemimpin pergerakan Samin, juga mengasingkannya. Belanda juga mengambil alih tanah kepemilikan dari mereka yang tak mau membayar pajak.

Namun tindakan pengasingan dan tuduhan gerakan subversif itu gagal menghentikan aktivitas para saminis. Sekarang pun sisa-sisa para pengikut Samin masih ditemukan di kawasan Blora yang merupakan jantung hutan jati di Pulau Jawa.

Citra yang tidak sebenarnya

Gerakan ini selesai dengan sendirinya saat Belanda hengkang dan kemerdekaan RI diproklamasikan. Gerakan sudah tak mempunyai musuh. Kalaupun kemudian masyarakat masih mengendapkan citra buruk tentang Samin ini lantaran kesalahan aparat dalam mensosialisasikan inti gerakan ini.

Akibatnya, banyak hal yang dulu dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda masih dianggap melekat di kalangan orang Samin. Padahal, menurut Darmo Subekti, pengabaian pembayaran pajak dipakai sebagai media melawan Belanda. "Mereka waktu itu memang menentang, tetapi di zaman republik mereka lebih aat," kata Darmo.

Tetap saja, olok-olok tak bisa dihindarkan. "Orang Samin itu ya seperti itu. Ditanya berapa lembunya, jawabnya dua, jantan dan betina. Walau kenyataannya punya banyak lembu," komentar sebagian masyarakat.