Find Us On Social Media :

Samin Melawan Penjajah dengan Cara-cara yang Sering Disalahpahami

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 16 September 2024 | 11:47 WIB

Ini potret sebuah gerakan perlawanan melawan penjajah yang dipandang dengan penuh sinisme. Padahal ajaran-ajarannya yang terwariskan hingga kini mencuatkan nilai-nilai kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.

Dalam pemikiran Darmo Subekti yang pernah diinterogasi oleh Kantor Sosial Politik Kabupaten Blora gara-gara menulis "Generasi Baru Samin" di Suara Merdeka pada Juli 1989, cap ateis muncul lantaran aparat kesulitan mengelompokkan masyarakat itu.

Daripada susah-susah akhirnya digolongkan saja sebagai kelompok ateis. "Etnis bukan, keagamaan bukan, paling gampang ya ateis," ucap Darmo, getir.

Sulit dipercaya bagaimana masyarakat kemudian cenderung lebih mempercayai gambaran negatif itu bila membicarakan soal Samin. Padahal, menurut Darmo, saminisme adalah sebuah pergerakan melawan pemerintah Belanda yang berawal ketika Belanda melakukan pematokan tanah untuk kegiatan penanaman hutan jati tahun 1870.

Guru tanpa buku

Dalam buku Rich Forests, Poor People - Resource Control and Resistance in Java, Nancy Lee Peluso menjelaskan, pergerakan Samin tumbuh tahun 1890 di dua desa hutan kawasan Randublatung (sekarang wilayah Blora–dekat Cepu).

Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke sekitar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.

Para pemimpinnya adalah guru tanpa buku, pengikut-pengikutnya tidak dapat membaca atau menulis. Perintisnya, Samin Surosentiko atau disebut singkat Samin Surontiko (kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914), seorang buta aksara

Pakar folklor humanistis Suripan Sadi Hutomo dalam Tradisi dari Blora (1996) menunjuk dua tempat penting dalam pergerakan Samin:

Desa Klopoduwur di Blora sebelah selatan sebagai tempat bersemayam Samin Surosentiko, dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (I960), Suripan menyebutkan, orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890.

Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah "Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah", 1999, jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.

Sebagai gerakan yang cukup besar saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.

Di masa sekitar 1900, mandor hutan yang menjadi antek Belanda mulai menerapkan pembatasan bagi masyarakat dalam soal pemanfaatan hutan. Para mandor itu berbicara soal hukum, peraturan, serta hukuman bagi yang melanggar. Tapi para saminis, atau pengikut Samin, menganggap remeh perkara itu.