Puluhan tahun fakta kecil itu hanya beredar di ruang kelas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mengungkap kebenaran tidak berarti mengurangi derajat kepahlawanan Pahlawan Revolusi.
Penulis: Tjahjo Widyasmoro, untuk Majalah Intisari September 2009
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Oktober 1965, bisa disebut masa kelam bagi dunia pers di Indonesia. Media-media cetak kala itu, yang dipelopori media milik penguasa militer, ramai memuat kisah kekejaman dari peristiwa penculikan enam jenderal dan satu perwira pertama TNI Angkatan Darat. Korban dari peristiwa yang disebut Gerakan 30 September (G30S) itu kemudian kita kenal sebagai Pahlawan Revolusi.
Harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudhamenulis bahwa mata Jenderal Achmad Yani dicungkil. Lebih sadis lagi digambarkan, kemaluan para korban juga diiris-iris memakai silet, lalu dipermainkan oleh para pelaku yang kebanyakan perempuan.
Kisah-kisah mengerikan tentang tindakan brutal para pelaku itu akhirnya dikutip media-media lain dan menyebar luas di masyarakat.
Akibatnya sungguh di luar dugaan. Kemarahan rakyat yang antara lain dipicu kisah-kisah kekejaman itu, lalu memunculkan gelombang pembantaian terhadap massa Partai Komunis Indonesia yang dicap sebagai pelaku utama G30S. Diperkirakan sekitar lima ratus ribu sampai 1,5 juta orang mati dibunuh dengan cara-cara yang tak kalah kejam.
Tidak terbukti
Cerita "pencungkilan mata" dan "pemotongan penis" sebenarnya sudah lebih dulu beredar di masyarakat. Tepatnya sesaat setelah para korban G30S ditemukan di dalam sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, 4 Oktober 1965 pagi hari. Tujuh jenazah yang membusuk itu lalu dievakuasi ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) untuk diautopsi.
Kekejaman itu pula yang didengar oleh tim dokter yang diperintahkan Pangkostrad, Mayjen. Soeharto, untuk mengautopsi jenazah. Tim terdiri atas dua dokter RSPAD, yaitu dr. Brigjen. Roebiono Kertopati dan dr. Kolonel. Frans Pattiasina; serta tiga dari Ilmu Kedokteran Kehakiman (sekarang Ilmu Forensik) Universitas Indonesia (Ul), yaitu Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro, dr. Liau Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay.
Mereka bekerja delapan jam dari pukul 16.30 pada 4 Oktober sampai pukul 00.30 pada 5 Oktober di kamar mayat RSPAD.
Sesuai perintah, tim dokter hanya bertugas melakukan identifikasi dan mengautopsi bagian luar jenazah. Hasilnya tim berkesimpulan, para korban mendapat perlakuan kejam di luar batas perikemanusiaan hingga menyebabkan kematian.
Tapi ada pula fakta mengejutkan: tidak ada pencungkilan mata dan pemotongan penis para korban. Tim sengaja berkonsentrasi pada pembuktian dua dugaan itu mengingat kabar sudah beredar di masyarakat.
Dalam kondisi politik saat itu, temuan fakta itu membuat tim dokter tertekan. Sebelum membuat visum et repertum (laporan pemeriksaan mayat) mereka sampai harus mengadakan pembicaraan khusus untuk menentukan sikap, akan menulis kebenaran atau mengikuti saja kabar di masyarakat. Ada ketakutan, kalau menuliskan apa adanya, mereka akan dicap pro-PKI.
Dikisahkan, setiap anggota tim mengemukakan pendapat, termasuk dr. Lim Joe Thay, yang saat itu termuda, berusia 39 tahun. "Kita dipertemukan Tuhan di sini, sehingga saya yakin Tuhan pasti mau yang terbaik. Kita juga disumpah sebagai dokter, jadi kita tulis saja apa adanya," kata Lim seperti diceritakan kembali oleh dr. Djaja Surya Atmadja, dokter ahli forensik FKUI. Bagi Djaja, sikap bekas gurunya itu sangat mengesankan.
(Ketika tim Intisari mengunjunginya pada 2009 lalu, Dr Lim sudah dua kaliterkena stroke pada pertengahan tahun 2000-an dan kondisi kesehatannya dalam kondisi buruk. Dia juga sudah mulai pikun. Segala keterangan menyangkut aktivitas Lim di tahun 1965 kini diwakil- kan ke dr. Djaja. red)
Pagi itu akhirnya tim dokter bersepakat untuk menulis fakta apa adanya, dengan pertimbangan kesetiaan kepada sumpah profesi untuk menyatakan kebenaran. Mereka juga sepakat untuk siap masuk penjara karena mengambil sikap itu.
Persis seperti aslinya
Pada masa Orde Baru, sekeping kebenaran dari kamar mayat RSPAD itu tidak pernah terungkap di publik. Visum et repertum juga seolah hilang. Setelah selesai disusun, hasil visum saat itu diberikan kepada Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI kedua) yang selalu mengawasi tim dokter saat bekerja. Dalam pengadilan militer anggota TNI AU, Heru Atmodjo pada perkara G30S, visum dijadikan alat bukti. Tapi setelah itu tak tentu rimbanya.
"Pak Lim bukan tidak mau ngomong, tapi tidak bisa ngomong" kata Djaja menjelaskan sikap Lim Joe Thay semasa Soeharto berkuasa. Pemerintah tidak menekannya, tapi Lim sadar situasi politik saat itu tidak memungkinkan orang berbicara terus terang. Akhirnya ia memilih diam.
Baru pada April 1987, Benedict Anderson, ahli Indonesia dari Cornell University, memuat visum itu pada artikelnya "How Did the Generals Die?" di jurnal Indonesia. Pada masa Reformasi, sejumlah media cetak dan media elektronik baru berani mengungkapkan fakta kecil itu meminta konfirmasi kepada Lim.
(Ketika artikel ini pertama ditulis pada September 2009, darilima anggota tim autopsi, hanya tersisa dua orang yang masih hidup. Satu lagi dr. Liau Yan Siang yang tinggal di Amerika Serikat, tapi ia tidak pernah mau berbicara soal ini, red.)
Setelah meneliti secara cermat, Lim menyatakan tujuh fotokopi visum yang muncul di media, persis seperti aslinya. Visum yang beredar itu hanya berupa salinan dari salinan yang dibuat untuk keperluan pengadilan Heru Atmodjo. Di dalamnya termuat secara mendetail kondisi jenazah saat ditemukan, yakni ciri fisik, pakaian, kondisi tubuh, luka yang ditemui, dan diakhiri kesimpulan dari tim dokter.
Dalam ilmu kedokteran forensik, kata-kata dalam visum selalu ditulis baku sesuai kaidah keilmuan. Karena itu, Djaja dibantu rekannya, dr. Evi Untoro, dapat merekonstruksi kondisi tubuh para korban G30S. "Korban mendapat perlakuan kejam sebelum meninggal. Tapi kami juga tidak menemukan tentang pencungkilan mata dan pemotongan penis!" kata Djaja menegaskan.
Pada visum memang tertulis kondisi biji mata beberapa korban terlihat kempis dan keluar. Tapi menurut Djaja hal itu disebabkan oleh pembusukan jenazah. Berbeda jika mata sengaja dicungkil, karena pasti akan terdapat luka, tusukan, atau tulang yang patah di sekitar mata. Kondisi kemaluan para korban juga tertulis semuanya utuh. Buktinya bisa diketahui ada empat penis dikhitan dan tiga penis yang tidak.
Tusukan bayonet
Visum menggambarkan para korban umumnya terkena tembakan senjata api, yang menghasilkan luka tembak masuk dan luka tembak keluar. Jenazah Achmad Yani luka tembaknya terbanyak, yakni 10 luka tembak masuk dan tiga luka tembak keluar. Luka tembak Soetojo Siswomihardjo, S. Parman, dan D.I. Panjaitan, umumnya terdapat di kepala.
Pada jenazah P. Tendean, terdapat penganiayaan berat yang menyebabkan luka menganga pada puncak kepala dan dahi. Kekerasan benda tumpul ditemukan pada jenazah Soetojo, S. Parman, dan R. Soeprapto. Hanya jenazah M.T. Haryono yang tidak terdapat luka tembak, melainkan luka tusuk di bagian perut tembus ke punggung, serta di bagian tangan. "Akibat ditusuk bayonet," kata Djaja menyimpulkan.
Djaja menyatakan, tidak perlu meragukan hasil kerja tim dokter yang mengautopsi korban G30S. Saat itu mereka orang-orang yang berkompeten dalam ilmu kedokteran kehakiman, yang kini istilahnya kedokteran forensik. Meski sudah terkubur empat hari, jenazah juga masih dapat diidentifikasi dengan baik.
"Sudah puluhan tahun meninggal saja tetap bisa diidentifikasi kok," kata ahli DNA yang pernah mengidentifikasi kerangka tentara Jepang yang mati di Papua pada Perang Dunia II ini. Mungkin pertanyaan yang timbul saat ini, kata Djaja: mengapa tidak dilakukan autopsi dalam lewat pembedahan?
Jawabannya, karena perintah hanya sebatas itu. Dokter tidak berhak melanggar. Termasuk ketika Lim menemukan anak peluru sepanjang 4,7 mm. Benda itu diserahkannya kepada Soeharto. Sebenarnya jika ingin dilakukan proses pemeriksaan balistik, dapat diketahui asal senjatanya.
Dimarahi putri jenderal
Lim tidak pernah risau karena puluhan tahun tidak bisa mengungkapkan kebenaran. Selama itu ia hanya bercerita kepada murid-muridnya saja saat mengajar di FKUI. Hanya terkadang ia prihatin, karena ada bagian kecil dari sejarah yang salah tapi terus beredar di masyarakat.
Akhirnya setelah beberapa kali terungkap di media, menurut Djaja, tetap tidak ada upaya dari pemerintah untuk meluruskan sejarah. Hanya Arsip Nasional Republik Indonesia pernah menghubungi Lim untuk mengkonfirmasi kebenaran salinan visum yang mereka miliki. Juga pihak TNI Angkatan Udara yang mewawancarai Lim untuk pembuatan buku sejarah mereka. TNI Angkatan Darat pernah berusaha menghubungi, tapi Lim memilih tidak menerimanya.
Lim malah pernah ditelepon anak salah satu Pahlawan Revolusi yang marah-marah, lantaran Lim dianggap berusaha menghilangkan kenyataan telah terjadi penyiksaan terhadap para korban. Dia akhirnya hanya bisa menjelaskan bahwa meluruskan fakta itu tidak akan mengurangi derajat kepahlawanan para Pahlawan Revolusi. "Justru seharusnya dia merasa lega bahwa rumor itu tidak benar," kata Djaja yang ikut mengetahui kejadian itu.
Belakangan baru Lim mengetahui, rupanya anak jenderal itu membaca sebuah artikel majalah yang keliru mengutip kata-kata Lim. Akibatnya Lim yang kena semprot. Ah, lagi-lagi kesalahan media.