Find Us On Social Media :

Samin Melawan Penjajah dengan Cara-cara yang Sering Disalahpahami

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 16 September 2024 | 11:47 WIB

Ini potret sebuah gerakan perlawanan melawan penjajah yang dipandang dengan penuh sinisme. Padahal ajaran-ajarannya yang terwariskan hingga kini mencuatkan nilai-nilai kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.

[ARSIP]

Ini potret sebuah gerakan perlawanan melawan penjajah yang dipandang dengan penuh sinisme. Padahal ajaran-ajarannya yang terwariskan hingga kini mencuatkan nilai-nilai kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.

Penulis: G. Sujayanto/Mayong S. Laksono

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Menyebut kata "Samin" di sekitaran Kabupaten Blora, Jawa Tengah, bisa dibilang sensitif. Benarkah sebagian kalangan, terutama pemerintah, masih alergi bila pembicaraan menyinggung perihal Samin?

"Ah itu sebenarnya 'kan sudah tidak ada," tegas seorang pamong di Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Blora (Intisari, 2001). Dia lantas mengingatkan agar tak mengangkat soal Samin. Kalaupun masih berminat menulis masyarakat Samin, diwanti-wanti agar mengurus izin langsung ke bupati. Hah! Segenting itukah sehingga seorang bupati harus repot-repot ikut campur?

Faktanya, Samin memang dipandang dengan kacamata buram. Ia identik dengan segolongan masyarakat yang tidak kooperatif, tak mau bayar pajak, enggan ikut ronda, suka membangkang, suka menentang. Bahkan tuduhan seram: ateis.

Di masa Orde Baru, misalnya, tanggalnya ajaran saminisme oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai tahapan yang patut diupacarakan. Pernikahan massal sembilan pasang warga Desa Karangrowo, Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, pada 3 Januari 1997, misalnya, diupacarakan sebagai tanda ditanggalkannya ajaran saminisme yang turun-temurun dianut oleh sembilan pasangan itu (Kompas, 7 Januari 1997).

Tapi sebenarnya, ateis-kah mereka?

Barangkali orang tidak memperoleh gambaran jernih tentang paham saminisme, yang acap dinamakan “Agama Nabi Adam”. Soal ini, menurut Darmo Subekti, budayawan dan mantan Kepala Humas Kabupaten Blora, yang pernah duduk dalam tim penyusunan sejarah Kabupaten Blora, "Samin tidak seperti yang disangkakan orang, ateis. Mereka mengenal Sang Hyang Wenang, Tuhan."