Find Us On Social Media :

Tak Ada Wisma atau Hotel, Para Peserta PON Pertama Menginap di Rumah-rumah Warga

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 6 September 2024 | 14:56 WIB

Rombongan Bung Karno tiba di Stadion Sriwedari saat pembukaan PON I di Solo pada September 1948.

Mungkin karena tak ada dana buat para peserta, juga kondisi ekonomi zaman itu, para atlet tidak terlalu memusingkan soal-soal macam pakaian yang harus dikenakan untuk bertanding. Karena itu tidak jarang, baju atau celana yang habis dipakai bertanding oleh seorang atlet, dipinjam dan dipakai lagi oleh atlet lainnya.

Penampilan pakaian atlet jelas berbeda dengan sekarang, walau warna-warni pakaian bukannya tak ada. Asal tahu saja, rata-rata pewarnaannya menggunakan wenter, zat pewarna pakaian yang bisa dibeli di toko dan diadon sendiri untuk mewarnai pakaian.

Walaupun diselenggarakan dalam kondisi yang sederhana dan dengan daya dukung yang relatif minim, beberapa nama menunjukkan prestasi tinggi. Soedarmodjo, pelompat tinggi putra, misalnya, berhasil menjadi juara dengan lompatan 1,80 m. Untuk ukuran masa itu prestasi tersebut sudah tergolong luar biasa. Apalagi catatan prestasi empat tahun kemudian di Olimpiade Helsinki 1952, untuk nomor yang sama adalah setinggi 1,89 cm, terpaut 9 cm dari rekor Soedarmodjo di Solo.

Prestasi-prestasi yang dicapai atlet PON I ini, menurut Maladi, berkat pembinaan yang baik di sekolah-sekolah. Gedung-gedung sekolah. zaman Belanda memang rata-rata punya lapangan khusus sebagai tempat latihan bermacam-macam nomor olahraga, dari atletik sampai senam.

"Sekarang saya lihat sudah jarang sekolah yang memiliki lapangan olahraga sendiri," katanya.

Keinginan dan cita-cita para pendahulu kita di dunia olahraga untuk bisa berbicara di arena internasional, semacam Olimpiade, agaknya pada waktu itu bukanlah suatu hal dianggap muluk-muluk. Sudah banyak bukti bahwa ternyata atlet kita mampu mengimbangi kekuatan atlet dari negara-negara maju.

Kita masih ingat betul pada kejuaraan sepakbola Olimpiade 1956 di Melbourne, misalnya, kesebelasan Indonesia mampu mencapai babak perempat final dengan menahan seri Uni Soviet 0 - 0 setelah perpanjangan waktu 2 x 15 menit, walaupun dalam pertandingan ulang kalah 0 - 4. Bahkan sebelum itu, dalam rangka persiapan menuju Melbourne, kesebelasan Indonesia berhasil memukul Amerika Serikat dengan 7-5 .

Lalu setelah itu, semuanya seperti jalan di tempat. Baru setelah 40 tahun kemudian sejak PON I, Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai negara peserta yang memperoleh medali, dalam hal ini medali perak, di cabang panahan beregu pada Olimpiade Seoul 1988.

Disusul empat tahun kemudian, Alan Budikusuma dan Susi Susanti pada cabang bulutangkis memetik medali emas pertama dan kedua bagi Indonesia pada Olimpiade Barcelona 1992. Dan pada olimpiade-olimpiade selanjutnya, hingga yang paling terakhir, Paris 2004, Indonesia tak pernah berhenti menggondol medali.