Sejarah PON, Semua Gara-gara Olimpiade London 1948 Tolak Indonesia

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Penulis

Sejarah PON diawali dengan tidak diterima Indonesia mengkuti Olimpiade London yang digelar pada 1948.
Sejarah PON diawali dengan tidak diterima Indonesia mengkuti Olimpiade London yang digelar pada 1948.

[ARSIP]

Sejarah PON alias Pekan Olahraga Nasional dan Hari Olahraga Nasional, 9 September, tak lepas dari penyelenggaraan PON I di Solo, tahun 1948. Pesta olahraga yang serbadarurat itu jadi tonggak sejarah bagi sebuah negara yang baru saja berdaulat.

Penulis: Tjahjo Widyasmoro

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Perang Dunia II baru saja usai. Negara-negara yang terlibat dalam perang yang memakan korban 62,5 juta jiwa di seluruh dunia itu, masih berbenah diri. Namun kondisi itu rupanya tidak menyurutkan keinginan International Olympic Committee (IOC) untuk menyelenggarakan Olimpiade musim panas di London, pada 1948.

Rencana itu memantik keinginan dari insan olahraga Indonesia untuk ikut serta. Selain sebagai ajang pembinaan prestasi olahraga, keikutsertaan dalam Olimpiade penting artinya bagi kedaulatan negara dan bangsa yang baru berusia seumur jagung.

Sayangnya, permintaan ini ditolak IOC, karena Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) belum menjadi anggota IOC. Delegasi Indonesia boleh datang namun hanya sebagai peninjau. Rencana kedua ini pun tidak terlaksana, lantaran terkendala aturan bahwa paspor yang diakui hanya paspor Belanda.

Baca Juga: Sejarah Api PON, Nyala Api Abadi Persatuan dan Semangat

Akan tetapi kenyataan pahit ini tidak membuat kecewa, justru membuat tokoh-tokoh nasional berpikir untuk membuat acara pekan olahraga sendiri di Indonesia. Acara sejenis itu sudah pernah dilakukan, antara lain oleh organisasi Indonesia Muda, sebelum Perang Dunia II.

Pertandingan berbagai cabang olahraga yang khusus diikuti oleh bumiputera ini, sempat diadakan di berbagai tempat. Saat ini kita sulit mengetahui pasti, siapa sebenarnya penggagas acara yang awalnya dinamai Pekan Olahraga (belum memakai Nasional) itu. Ada tiga nama yang dianggap penting, yakni Abdul Rachman Saleh, perwira Angkatan Udara yang juga pecinta olahraga. Ada pula nama Sumali Prawirosudirdjo, Wakil Ketua Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI), semacam KONI sekarang. Kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX Ketua KORI.

Yang jelas, seperti ditulis Harian Kompas (8/10/1983) Sri Sultan hanya membenarkan, ide pekan olahraga muncul gara-gara Indonesia ditolak ikut Olimpiade. “Kalau begitu kita selenggarakan sendiri saja,” demikian ucapan Sri Sultan kala itu, sebagai reaksi dari penolakan. Sebuah ide yang berani dan nekat sebenarnya, karena kondisi negara masih belum menentu akibat revolusi kemerdekaan.

Ide menyelenggarakan pekan olahraga itu terus bergulir hingga akhirnya diselenggarakan Konferensi Darurat PORI, 2-3 Mei 1948, yang akhirnya memutuskan penyelenggaraan Pekan Olahraga pada tahun itu juga. Saat itu PORI masih berbentuk persatuan, bukan federasi seperti KONI sekarang. Induk-induk cabang olahraga belum terbentuk atau tidak aktif.

Selain waktu persiapan yang mepet, jangan lupa, situasi keamanan saat itu juga masih rawan. Militer Belanda menguasai sejumlah daerah seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang. Sementara adu kekuatan antara satuan-satuan di republik sendiri juga sedang memuncak. Bahkan hanya berjarak beberapa hari setelah PON, PKI berontak di Madiun.

Dalam kondisi serbadarurat, Pekan Olahraga Nasional I akhirnya sukses digelar di Solo, 9-12 September 1948. Meski pada hari-hari jelang pelaksanan akhirnya acara itu ditambah kata “nasional”, sesungguhnya pertandingan cuma diikuti 13 Karesidenan dari Pulau Jawa saja. Komunikasi yang sulit serta blokade Belanda di sejumlah daerah membuat atlet di luar Jawa kesulitan untuk sampai ke Solo.

Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta hadir dalam pembukaan PON pertama di Solo dalam suasana sederhana.
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta hadir dalam pembukaan PON pertama di Solo dalam suasana sederhana.

Mirip invitasi

PON I mempertandingkan 10 cabang olahraga yakni atletik, anggar, bola basket, bola keranjang, bulutangkis, panahan, pencak silat, renang, sepakbola dan tenis. Namun karena kondisi yang terbatas, tidak semua olahraga mampu diikuti oleh tim Karesidenan. Berbagai klub olahraga atau sekolah olahraga juga dilibatkan.

Misalnya, pada bola basket, ada tim dari klub-klub basket lokal dari Yogyakarta dan Solo. Bahkan satu kota bisa mengirim lebih dari satu klub. Kalau dalam ukuran zaman sekarang, mirip invitasi. Nah, aturan yang unik lagi, kalau dalam satu kota ada dua klub yang bertanding, maka keduanya akan diadu terlebih dahulu.

Aturan-aturan pertandingan juga belum sesuai standar internasional, melainkan disesuaikan dengan situasi setempat. Misalnya, pada cabang renang, tidak dipertandingkan nomor 100 m atau 200 m, tetapi 110 m dan 220 m! Jadi ceritanya, pertandingan renang digelar di kolam renang Tirto Moyo yang panjangnya hanya 30 m lebih sedikit. Karena sulit untuk mencapai tepat 100 m, maka keputusan panitia, aturan dilonggarkan jadi 110 m dan 220 m. Beres.

Fasilitas olahraga yang boleh dikata layak hanya tenis. Maklum saja, pertandingan berlangsung di lapangan pribadi milik GPH Suriohamidjojo yang tak lain Ketua Umum Panitia PON I. Lucunya, karena olahraga ini mungkin bersifat elite, maka yang diperebutkan bukan medali, melainkan piala!

Baju pakai wenter

Bukan hanya prasarana olahraga yang serbadarurat, para atlet juga tampil dengan kondisi seadanya. Bahkan kalau mau ditelusuri lebih dalam, mereka sebenarnya para atlet yang mampu datang ke Solo atau kebetulan adalah pengungsi di sekitar Solo yang kemudian mewakili daerahnya.

Kondisi yang sangat terbatas membuat para atlet banyak yang tidak bersepatu. Jadi bisa dibayangkan pada cabang atletik, mereka harus berlari di lintasan yang berpasir. Rasanya, seperti tertusuk-tusuk.

Begitu pula pakaian para atlet saat bertanding yang cukup memprihatinkan. Wajar jika mereka saling bertukar pinjam dengan rekan satu daerahnya. Pakaian yang masih basah keringat, berpindah badan. Warna-warni baju para atlet itu juga bukan asli, melainkan diwarnai dengan wenter.

Semangat para atlet juga ditingkahi oleh gemuruh penonton yang tidak kalah semangat. Sebagian penonton bahkan berasal dari laskar-laskar pejuang yang bermarkas di sekitar Solo. Tak heran, jika sesekali terdengar letusan senjata ke udara. Maklum, umumnya mereka anak-anak muda yang masih banyak aksi.

Dengan persiapan dan sarana yang minim, PON pertama ini ternyata juga berhasil melahirkan atlet-atlet yang berprestasi. Terutama dari cabang atletik yang bisa jadi karena sifatnya terukur.

Pada atlet putra, ada Arie Muladi, kelahiran Kupang yang mewakili Yogyakarta. Ia merebut tiga medali emas dari lompat jangkit (13,25 m), lompat jauh (6,59 m), dan estafet 4 x 100 m. Bahkan masih satu perak lagi untuk lompat tinggi (1,75 m).

Sementara atlet putri, Anie Salamoen yang juga mewakili Yogya, merebut dua medali emas dari dua nomor berbeda, yakni 100 m (13,9 detik) dan lempar cakram (25,52 m). Masih di barisan putri, Titik Sudibyo, atlet muda berusia 13 tahun, pada nomor lompat tinggi, berhasil melakukan lompatan setinggi 1,30 m. Saat itu Titik, putri seorang dokter dari Jakarta yang mengungsi ke Kediri, beraksi di lapangan dengan bertelanjang kaki.

Beberapa atlet juga berlatar belakang pejuang, seperti Soedarmodjo yang menjadi juara pada lompat tinggi dengan lompatan 1,80 m. Padahal ia tidak berlatih intensif, karena sehari-hari ikut dalam pertempuran.

Ada pula kisah sedih Sutopo yang berhasil merebut medali emas di nomor 10.000 m dengan waktu 40 menit 41 detik. Beberapa hari kemudian, usai PON, ia gugur akibat pemberontakan PKI di kampung kelahirannya di Madiun. Begitu pula dengan sejumlah pesilat yang kabarnya juga ikut jadi korban.

Sebagai Karesidenan dengan tim terbanyak, 150 orang, Solo akhirnya berhasil mendapatkan gelar Juara Umum. Tuan rumah berhasil menggondol 16 medali emas, 10 perak dan 10 perunggu. Pada urutan kedua, Karesidenan Yogyakarta, dan berikutnya adalah Priangan.

Mungkin PON I di Solo akan menjadi satu-satunya PON yang menyimpan banyak cerita unik. Karena pada penyelenggaraan PON-PON berikutnya, semua menjadi lebih tertata dengan persiapan yang lebih baik.

Baca Juga: Pemberontakan PKI Madiun 1948 Hanya Selang 6 Hari Setelah PON Pertama Berakhir, 1 Atletnya Jadi Korban

Artikel Terkait