Find Us On Social Media :

Tak Ada Wisma atau Hotel, Para Peserta PON Pertama Menginap di Rumah-rumah Warga

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 6 September 2024 | 14:56 WIB

Rombongan Bung Karno tiba di Stadion Sriwedari saat pembukaan PON I di Solo pada September 1948.

[ARSIP]

Penyelenggaraan PON I di Solo tahun 1948 diliputi kesederhanaan di bawah ancaman Belanda dan pemberontak. Para atlet hanya “dititipkan” di rumah penduduk atau gedung sekolah. Tetap saja, penyelenggaraan berlangsung semarah.

Penulis: Yan/Heru, Majalah Intisari edisi September 1993

---

Intisari hadir di WhatsApp Channe, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Gaung Olimpiade modern yang dibangkitkan kembali pada 1892 atas prakarsa Baron Pierre de Coubertin, seorang bangsawan Prancis, sampai juga di Indonesia. Paling tidak saat Olimpiade ke-14 digelar di London, Inggris, tahun 1948 yang diikuti oleh atlet dari 59 negara. Peristiwa akbar yang disemangati motto citius, altius, fortius itu ternyata diperhatikan betul oleh para tokoh olahraga kita pada waktu itu.

Sebuah pidato radio pada 10 Agustus 1948, sebulan sebelum PON I digelar, oleh Soemali Prawirosoedirdjo, wakil ketua Pengurus Besar Persatoean Olahraga Repoeblik Indonesia (PORI, sekarang KONI), menyuratkan hal itu:

"... maoe tidak maoe fikiran kita melajang ke London, iboe kota Inggris, di mana sedjak tanggal 30 Djoeli, oentoek 17 hari lamanja, hampir 6.000 pemain-pemain olahraga dari 59 bangsa- bangsa sedoenia berkoempoel, oentoek saling mengadoe ketangkasan, kekoeatan, keahlian masing-masing di dalam pelbagai tjabang olahraga ... Kini kita sendiri menghadapi satoe peristiwa jang tak kalah pentingnja bagi doenia keolahragaan kita, Pekan Olahraga Nasional … Jadikanlah PON 1948 ini satoe "nationaal sportgebeuren" ... Dari oedjian PON kita menoedjoe ke Inter Asiatic Sportmeeting dan seteroesnja ke Olimpiade Internasional ...."

Meski perang bisa mengatur rakyat

Memang bisa dikatakan, Olimpiade ke-14 tahun 1948 itu ikut membangkitkan semangat baru pada para tokoh olahraga Indonesia untuk segera mewujudkan suatu dari 10 keputusan konferensi: PORI I yang berlangsung pada 2-3 Mei 1948 di Surakarta, yaitu menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional, dan juga Kongres PORI II pada 9-11 September 1948.

Selain mengandung tujuan murni keolahragaan, penyelenggaraan pesta olahraga berskala nasional itu juga dijadikan sarana perjuangan politis-internasional. Terutama terhadap pengakuan dunia atas kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.