Find Us On Social Media :

Tak Ada Wisma atau Hotel, Para Peserta PON Pertama Menginap di Rumah-rumah Warga

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 6 September 2024 | 14:56 WIB

Rombongan Bung Karno tiba di Stadion Sriwedari saat pembukaan PON I di Solo pada September 1948.

"Kita ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia punya pemerintahan, dan walaupun dalam keadan perang, bahkan Muso dan kawan-kawan yang komunis itu mencoba menggunting dalam lipatan, RI bisa mengatur kegiatan rakyat dengan tertib," ujar Maladi (meninggal April 2001), mantan wakil ketua bagian keuangan Panitia Besar PON I dan juga ketua PORI bagian sepakbola (sekarang PSSI).

Seperti diketahui, peluang melakukan diplomasi keluar lewat kegiatan olahraga tidak berhasil dimanfaatkan setelah upaya mengikutsertakan kontingen Indonesia pada Olimpiade ke-14 di London 1948 oleh Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX gagal.

Pemerintah Inggris tidak mengakui paspor RI dan KORI belum menjadi anggota IOC. Pemerintah RI menolak tegas penggunaan paspor Belanda, karena itu sama saja mengakui RI masih di bawah kekuasaan Belanda. No way!

Tidak disangka, di dalam negeri sendiri PON pertama yang digelar di kota yang terletak di tepi Sungai Bengawan Solo ini mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat dan pemerintah. Tidak kurang Djawatan Radio Kementrian Penerangan (sekarang Radio Republik Indonesia, RRI), menyiapkan sebuah pemancar besar dan tujuh pemancar kecil yang dipasang di setiap sudut arena perlombaan.

Melalui pemancar-pemancar itu disiarkan jalannya semua pertandingan yang berlangsung sejak tanggal 8-12 September 1948, setiap hari mulai pukul 07.00 - 18.00. Dengan begitu masyarakat Solo dan dan kota-kota lainnya yang tidak bisa menyaksikan secara langsung dapat mengikuti jalannya pertandingan pada pesta olahraga paling akbar dan baru pertama kali digelar di tanah air. Untuk membantu panitia perlombaan di lapangan masing-masing disediakan alat-alat pengeras suara.

Dalam hal ini Jawatan PTT (Pos, Telepon, dan Telegraf) tak mau ketinggalan. Pihaknya pun mendirikan pemancar yang sangat kuat dengan memakai gelombang 30 m sehingga diharapkan dapat ditangkap di seluruh kawasan Republik Indonesia. Malahan mungkin dapat didengar oleh negara tetangga seperti Singapura, India, Filipina, dan Australia.

Sementara itu Inspektorat Perhubungan membantu dengan sebuah pemancar mobil. Pemancar ini digunakan untuk menyiarkan secara langsung rombongan gerak jalan yang membawa bendera PON dari Yogyakarta ke Surakarta. Jawatan ini pun membantu menyediakan burung-burung dara yang akan dilepaskan pada upacara pembukaan pada 9 September 1948.

Atlet pengungsi

Bagaimanapun PON adalah barang baru bagi bangsa dan negara Indonesia, sebuah republik yang baru berusia tiga tahun dan sampai saat itu masih diwarnai hiruk pikuknya pergolakan revolusi fisik. Apalagi sebagian besar wilayah Indonesia masih dikuasi Belanda.

Jadi adalah mustahil untuk dapat mengumpulkan atlet yang mewakili seluruh wilayah Indonesia, walaupun kegiatan ini berskala nasional seperti tersebut pada namanya. "Kalau kita paksakan bisa-bisa para atlet tidak akan tiba di tempat (pertandingan) karena keburu dihadang Belanda," kata almarhum Maladi, mengenang suasana waktu itu.

Pada masa itu, Belanda menduduki tempat-tempat utama seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan sejumlah kota penting lainnya.

Maka di sinilah uniknya. Jangan dikira atlet-atlet yang tergabung dalam kontingen Jakarta, misalnya, datang langsung dari Karesidenan Jakarta. Mereka sebetulnya adalah atlet warga "pengungsi" dari Jakarta yang diduduki Belanda, umumnya kaum pelajar yang sekolah di Klaten, Yogyakarta, Solo, atau daerah sekitarnya.