Find Us On Social Media :

Sekuat Apa Mitos Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro Milik Pangeran Diponegoro?

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 2 September 2024 | 11:38 WIB

Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro milik Pangeran Diponegoro penuh dengan mitos-mitos. Saja satunya, siapa yang memegang tongka titu akan menjadi pemimpin. Benarkah?

Setelah Sang Pangeran ditangkap, tongkat tersebut jatuh ke tangan Raden Mas Papak alias Raden Tumenggung Mengkudirjo atau yang dikenal sebagai Pangeran Adipati Notoprojo. Dia adalah cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.

Ketika Perang Jawa meletus, Pangeran Adipati Notoprojo berada di barisan Diponegoro, tetapi membelot ke pihak Belanda pada 1827. Pangeran Notoprojo kemudian menjadi sekutu politik bagi Hindia Belanda.

Pada 1834, Pangeran Notoprojo memberikan Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro kepada Jean Chretien Baud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1833-1836. Dengan memberi tongkat istimewa, Pangeran Notoprojo berharap bisa mengambil hati penguasa Hindia Belanda itu.

Pada 1836, JC Baud kembali ke Belanda. Tongkat itu pun dia bawa serta. Dan sejak saat itulah tongkat kesayangan Pangeran Diponegoro itu dirawat oleh anak-keturunan Baud.

Pada Februari 2015, atau setelah 179 tahun lamanya, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro akhirnya kembali ke Indonesia. Penyerahan tongkat dilakukan oleh Michiel Baud, mewakili keluarga besar keturunan JC Baud, yang diterima oleh Anies Baswedan, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, mewakili Presiden Joko Widodo yang sedang menghadiri agenda kenegaraan ke Filipina.

Seperti disebut di awal, tongkat Kanjeng Kiai Tjokro diliputi banyak mitos. Salah satu yang paling terkenal adalah orang yang menerimanya akan menjadi pemimpin. Sebagian percaya, mitos dan kesaktian tongkat ini barangkali berasal dari bentuk tongkat ini, yang pucuknya terdapat besi ukir berbentuk cakra.

Berdasarkan penelusuran Peter Carey, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi artefak spiritual sangat penting bagi Pangeran Diponegoro, terutama simbol cakra di ujung atas tongkat. Berdasarkan mitologi Jawa, cakra sering digambarkan digenggam Dewa Wisnu pada inkarnasinya yang ketujuh sebagai penguasa dunia.

Hal itu dikaitkan dengan kedatangan Sang Ratu Adil, atau gelar Ratu Adil Jawa "Erucokro". Istilah Erucokro nyaris sepenuhnya cocok dengan pandangan Pangeran Diponegoro atas dirinya sendiri sebagai seorang wali akhir zaman, seorang wali yang akan memandu tugas duniawi.

Gelar ini disandang oleh Pangeran Diponegoro pada awal Perang Jawa, yang menunjukkan bahwa sang pangeran merupakan pelaksana peran agung Jawa berupa Ratu Adil, yang akan memimpin perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa.

Masih menurut Peter Carey, panji pertempuran Pangeran Diponegoro juga menggunakan simbol cakra dengan panah yang menyilang. Dalam buku Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, terdapat kisah lain mengenai kesaktian tongkat Diponegoro.

Menurut beberapa cerita, ketika Pangeran Diponegoro berada di pasar di Manado dan merasa kurang mendapat sikap hormat, ia melemparkan tongkat ke tanah dan seluruh pasar menjadi terguncang bagai diterpa gempa. Begitulah mitos dan kesaktian tongkat kanjeng kiai Tjokro, tongkat pusaka milik Pangeran Diponegoro.

Baca Juga: Wardiman Djojonegoro Dan Kesetiaannya Menjadi Provokator Budaya Panji