Penulis
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro milik Pangeran Diponegoro penuh dengan mitos-mitos. Saja satunya, siapa yang memegang tongka titu akan menjadi pemimpin. Benarkah?
---
Intisari-Online.com -Tongkat Pangeran Diponegoro, tongkat Kanjeng Kiai Tjoko, kembali jadi perbincangan. Hal itu berawal dari video yang dirilis Anies Baswedan bertajuk "Catatan Anies Baswedan Pasca-Pilpres dan Pendaftaran Pilkada 2024" pada Jumat, 30 Agustus 2024.
Dalam video itu tampak Anies Baswedan berbicara tentang rencana-rencananya ke depan sementara di belakangnya ada lukisan Pangeran Diponegoro dan tongkat yang diyakini sebagai replika tongkat Sang Pangeran.
Memangnya apa keistimewaan tongkat itu?
Dinamai tongkat Kanjeng Kiai Tjokro karena pada ujung tongkat sepanjang 153 cm itu terdapat simbol cakra. Selama 179 tahun, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro disimpan oleh keturunan mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Belanda, dan baru diserahkan ke Indonesia pada 2015.
Selain karena sosok pemiliknya, yang menarik dari tongkat tersebut adalah mitos yang menyelimutinya. Peter Carey, sejarawan asal Inggris spesialis Diponegoro asal Inggris, menjelaskan, tongkat Kanjeng Kiai Tjokro diterima Pangeran Diponegoro dari seorang warga pada sekitar 1815.
Baca Juga: Penangkapan Pangeran Diponegoro dan Kisah Lukisan Raden Saleh
Menurut cerita, sebagaimana dilansir Kompas.com, tongkat itudibuat pada abad ke-16 untuk seorang raja Demak. Tapi tidak diketahui raja yang dimaksud dan siapa yang membuat tongkat ini. Saat terjadi gejolak di Demak yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro jatuh ke tangan rakyat biasa, yang mewariskannya secara turun temurun.
Pada 1815, atau sekitar 10 tahun sebelum meletus Perang Diponegoro (1825-1830), tongkat itu dipersembahkan kepada Pangeran Diponegoro. Dan sejak saat itulah Pangeran Diponegoro membawa Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro dalam setiap perjalanan spiritualnya ke berbagai gua dan tempat keramat di selatan Yogyakarta.
Antara 1825 hingga 1830, Pangeran Diponegoro mengobarkan perang terhadap Belanda, yang kemudian dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Pada Maret 1830, Perang Jawa usai setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan oleh Belanda.
Setelah Sang Pangeran ditangkap, tongkat tersebutjatuh ke tangan Raden Mas Papak alias Raden Tumenggung Mengkudirjo atau yang dikenal sebagai Pangeran Adipati Notoprojo. Dia adalah cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.
Ketika Perang Jawa meletus,Pangeran Adipati Notoprojo berada di barisan Diponegoro, tetapi membelot ke pihak Belanda pada 1827. Pangeran Notoprojo kemudian menjadi sekutu politik bagi Hindia Belanda.
Pada 1834, Pangeran Notoprojo memberikan Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro kepada Jean Chretien Baud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1833-1836. Dengan memberi tongkat istimewa, Pangeran Notoprojo berharap bisa mengambil hati penguasa Hindia Belanda itu.
Pada 1836,JC Baud kembali ke Belanda. Tongkat itu pun dia bawa serta. Dan sejak saat itulah tongkat kesayangan Pangeran Diponegoro itu dirawat oleh anak-keturunan Baud.
Pada Februari 2015, atau setelah 179 tahun lamanya, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro akhirnya kembali ke Indonesia. Penyerahan tongkat dilakukan oleh Michiel Baud, mewakili keluarga besar keturunan JC Baud, yang diterima oleh Anies Baswedan, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, mewakili Presiden Joko Widodo yang sedang menghadiri agenda kenegaraan ke Filipina.
Seperti disebut di awal, tongkat Kanjeng Kiai Tjokro diliputi banyak mitos. Salah satu yang paling terkenal adalahorang yang menerimanya akan menjadi pemimpin. Sebagian percaya, mitos dankesaktian tongkat ini barangkali berasal dari bentuk tongkat ini, yang pucuknya terdapat besi ukir berbentuk cakra.
Berdasarkan penelusuran Peter Carey, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi artefak spiritual sangat penting bagi Pangeran Diponegoro, terutama simbol cakra di ujung atas tongkat. Berdasarkan mitologi Jawa, cakra sering digambarkan digenggam Dewa Wisnu pada inkarnasinya yang ketujuh sebagai penguasa dunia.
Hal itu dikaitkan dengan kedatangan Sang Ratu Adil, atau gelar Ratu Adil Jawa "Erucokro". Istilah Erucokro nyaris sepenuhnya cocok dengan pandangan Pangeran Diponegoro atas dirinya sendiri sebagai seorang wali akhir zaman, seorang wali yang akan memandu tugas duniawi.
Gelar ini disandang oleh Pangeran Diponegoro pada awal Perang Jawa, yang menunjukkan bahwa sang pangeran merupakan pelaksana peran agung Jawa berupa Ratu Adil, yang akan memimpin perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa.
Masih menurut Peter Carey, panji pertempuran Pangeran Diponegoro juga menggunakan simbol cakra dengan panah yang menyilang. Dalam buku Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, terdapat kisah lain mengenai kesaktian tongkat Diponegoro.
Menurut beberapa cerita, ketika Pangeran Diponegoro berada di pasar di Manado dan merasa kurang mendapat sikap hormat, ia melemparkan tongkat ke tanah dan seluruh pasar menjadi terguncang bagai diterpa gempa. Begitulah mitos dan kesaktian tongkat kanjeng kiai Tjokro, tongkat pusaka milik Pangeran Diponegoro.
Baca Juga: Wardiman Djojonegoro Dan Kesetiaannya Menjadi Provokator Budaya Panji