Intisari-Online.com -Beragam upaya dilakukan Belanda untuk menggembosi kharisma Sukarno.
Anehnya, semakin keras mereka berusaha, semakin bersinar pesona Sang Putra Fajar.
Sejarawan Onghokham punya perumpamaan tersendiri untuk menyebut upaya-upaya Belanda mereduksi kekuatan Bung Karno: "Men-Diponegoro-kan" Sukarno.
Tapi sayang, tulis Pak Ong dalam esainya "Sukarno: Mitos dan Realitas" yang dimuat dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah terbitan LP3ES, Belanda tak mampu melaksanakanannya.
"Sukarno adalah pribadi yang kompleks," tulis Pak Ong dalam pembukaan tulisannya.
"Dia dilahirkan di bawah bintang Gemini yang menurut pendapatnya sendiri memberi corak yang beraneka-warna pada pribadinya.
Bermacam sebutan dilekatkan kepada pria kelahiran Kampung Peneleh, Surabaya, itu.
Di masa keemasannya, “Sukarno digelar Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Amirul Amri, Panglima Tertinggi, dan lain sebagainya,” tulis Pak Ong.
Tapi sayang, gelar-gelar itu tiba-tiba menghilang dan dipreteli satu per satu di masa akhir-akhir kehidupannya.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, Bung Karno jadi pesakitan dan tahanan negaranya sendiri, yang proklamasi kemerdekaannya dia bacakan bersama Bung Hatta.
—
Pengalaman pemerintah kolonial Hindia Belanda berperang dengan pasukan Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro bukanlah pengalaman yang menyenangkan.
Tak hanya tenaga, Belanda juga harus kehilangan ongkos yang begitu besar demi memadamkan perlawanan Sang Pangeran.
Perang Diponegoro meletus pada 1825. Perang bermula di Yogyakarta dan terus meluas hingga ke berbagai daerah di Jawa, itulah kenapa perang ini lebih dikenal sebagai Perang Jawa.
Seperti disinggung di awal, Perang Diponegoro adalah salah satu pertempuran terbesar dan tersulit yang pernah dihadapi Belanda selama pendudukannya di Indonesia.
Bermacam cara dilakukan pemerintah Belanda untuk memadamkan perlawanan tersebut.
Salah satu strategi pemerintah kolonial Belanda dalam mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro adalah taktik Benteng Stelsel.
Ini adalah taktik yang mempersempit daerah lawan dengan cara membangun benteng di setiap sudut kota yang telah dikuasai.
Pencipta taktik Benteng Stelsel adalah Jenderal de Kock, pertama kali diusulkan pada 1827.
Ketika itu Perang Jawa telah berlangsung selama dua tahun dan Belanda kerepotan dalam menghadapi serangan pasukan Pangeran Diponegoro.
Saat itu, mengutip Kompas.com, pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro telah meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan Rembang.
Sedangkan ke arah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya, hingga disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.
Bahkan, semua kekuatan dari rakyat, bangsawan, dan ulama di Jawa, turut bersatu mendukung Pangeran Diponegoro melawan Belanda.
Untuk mengatasi siasat gerilya yang dilakukan kubu Pangeran Diponegoro, Belanda menerapkan taktik Benteng Stelsel dengan membuat benteng-benteng di berbagai tempat dan menghubungkannya dengan jalan yang bagus.
Ketika sebuah benteng diserang, maka pasukan dan peralatan perang dari benteng lain di dekatnya akan dapat segera membantu.
Tujuan taktik ini adalah untuk mempersempit ruang gerak musuh agar kesulitan untuk melarikan diri.
Untuk melawan pasukan Diponegoro, Belanda membangun benteng di beberapa wilayah di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Strategi ini terbukti cukup efektif dan perlawanan pasukan Diponegoro mulai dapat dikendalikan.
Bahkan kedudukan Pangeran Diponegoro mulai terdesak dan semakin lemah.
Pertempuran sengit antara Belanda dan Pangeran Diponegoro berakhir pada 28 Maret 1830. Saat itu pasukan Pangeran Diponegoro sudah benar-benar terjepit di Magelang oleh Jenderal de Kock.
Demi membebaskan sisa pasukannya, Pangeran Diponegoro menyerahkan diri dan akhirnya diasingkan ke Makassar hingga akhir hidupnya.
—
Kembali lagi ke Bung Karno.
Sukarno sangat fokus terhadap perjuangan kaum Marhaen, meskipun jika ditilik ke belakang, dia relatif jauh dari kelompok tersebut.
Mari kita cek.
Sukarno lahir di Kampung Peneleh, Surabaya, dari keluarga rendahan, di mana ayahnya adalah seorang guru.
Meski begitu, hal itu sudah cukup untuk membedakan kelas keluarganya dibanding tetangga-tetangga yang marhaen yang nantinya nasib mereka akan diperjuangkan olehnya.
Belum lagi pendidikannya yang mentereng. Dia sekolah di Sekolah Menengah Belanda (ELS), sebuah lembaga pendidikan khusus masyarakat kelas atas di Hindia Belanda.
Bung Karno juga punya ijazah HBS, yang menurut catatan Onghokham, saat dia memulai perjalanan politiknya pada 1927, hanya ada sekitar 78 orang yang memegang ijazah tersebut.
Tak hanya itu, selama menempuh pendidikan di HBS, Bung Karno tinggal di indekos milik HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam yang kharismatik, yang memudahkannya untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh nasionalis dan kaum elite lainnya yang sudah eksis saat itu.
Bung Karno adalah sosok yang kharismatik. Karena kharismanya yang begitu kuat itu, Belanda sampai sekuat tenaga untuk mendelegitimasi kebesarannya.
Termasuk, mengutip Ong, menciptakan mitos-mitos di seputar dirinya. Salah satunya adalah gambarangan yang dibuat oleh sarjana Belanda bernama Bernard Dahm.
Dalam teorinya, Sukarno tidak lain daripada seorang tokoh dalam tradisi Ratu Adil-Ratu Adil di Indonesia yang untuk sementara dapat menghipnotis masyarakat.
Ada juga yang menyebut Bung Karno sebagai satu-satunya penyebab revolusi di Indonesia.
Harapannya, ketika cap revolusi itu selesai dari diri Bung Karno, maka revolusi Indonesia pun akan selesai.
Ada juga yang menyebut bahwa Bung Karno sebenarnya adalah seorang Indo atau punya darah Belanda yang mana tanpa itu niscaya dia tidak akan bisa mengerjakan kerja-kerja besarnya.
Tapi begitulah Bung Karno, namanya masih terlalu besar meski beragam cara pernah dilakukan untuk merusak citranya.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News