Wardiman Djojonegoro Dan Kesetiaannya Menjadi Provokator Budaya Panji

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Wardiman Djojonegoro Setia Menjadi Provokator Budaya Panji
Wardiman Djojonegoro Setia Menjadi Provokator Budaya Panji

Di masa lalu, orang mengenalnya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era pemerintahan Presiden Soeharto. Tepatnya pada masa Kabinet Pembangunan VI yang bekerja dalam periode 19 Maret 1993 hingga 11 Maret 1998.

Oleh Tjahjo Widyasmoro, tayang di Majalah Intisari April 2024

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Meski sudah masuk masa pensiun, jabatan menteri yang sempat disandangnya selama lima tahun itu rupanya tetap membuat Wardiman harus berkecimpung di berbagai aktivitas pendidikan. Tak kurang dari sebulan sekali ia tampil sebagai pembicara di seminar-seminar pendidikan yang diadakan di berbagai tempat di Indonesia.

Wardiman juga aktif sebagai salah satu penasihat di organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Bersama PGRI itu pula, ia lantas mendorong terwujudnya alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN lewat perjuangan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan itu akhirnya dikabulkan MK pada 2009.

Di tengah aneka kesibukan itu, rupanya Wardiman bertemu dengan sebuah buku yang kemudian banyak mempengaruhi langkah hidupnya. Sebuah buku sejarah yang berjudul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785–1855, karya sejarawan asal Inggris, Peter Carey.

"Saya membaca bukunya dan benar-benar terkesan," tuturnya tentang buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia yang terdiri atas 3 jilid itu.

Di mata Wardiman, buku karya Peter merupakan buku sejarah yang sangat ilmiah. Ada lebih dari 2.260 catatan kaki di dalamnya yang sekaligus menjadi bukti adanya lebih banyak fakta sejarah daripada legenda. Sesuatu yang sangat istimewa, karena buku-buku sejarah Indonesia sangat jarang yang demikian.

"Biasanya sejarawan kita banyak memakai fantasi dan kreativitas dalam menulis sejarah. Jadi banyak legendanya dari pada fakta sejarah," tutur Wardiman, lugas.

Kekaguman pada karya Peter Carey membuat Wardiman akhirnya bekerja sama dengan sang penulis untuk mengajukan Babad Diponegoro sebagai Memory of the Word (MoW) UNESCO. Tiga tahun keduanya bekerja mempersiapkan naskah-naskah kuno karya Pangeran Diponegoro hingga akhirnya berhasil diregistrasi oleh UNESCO pada 2013.

Keberhasilan itu rupanya membuat Wardiman dimintai tolong sebagai Dewan Pakar di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Kebetulan ANRI tengah mengajukan arsip-arsip Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung sebagai MoW UNESCO.

Dia tentu senang sekali bisa membantu, karena kebetulan pada saat penyelenggaraan konferensi, Wardiman yang saat itu berstatus mahasiswa ITB juga ikut terlibat sebagai liaison officer. Arsip-arsip itu kemudian resmi menjadi MoW UNESCO pada 2015.

Baca Juga: Dirjen Kebudayaan Berharap Budaya Panji Menjadi Basis Ekspresi-ekspresi Baru Di Asia Tenggara

Apa itu Panji?

Kiprah Wardiman terkait MoW UNESCO rupanya tak lepas dari pengamatan Arief Rachman, pakar pendidikan yang kala itu juga menjabat sebagai Kepala Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO. Arief mengajak Wardiman untuk membantu Perpustakaan Nasional RI yang sedang mengajukan naskah-naskah Panji sebagai MoW UNESCO.

Saat pertama kali mendengar tawaran itu, satu pertanyaan Wardiman kepada Arief Rachman adalah: “Apa itu Panji?”

Rupanya pertanyaan itu pula yang kemudian banyak ditanyakan kepada Wardiman saat ia kemudian mulai berkiprah dalam upaya pelestarian Panji. Karena faktanya, memang banyak orang Indonesia yang sudah tidak mengenal budaya Panji. Sebuah fakta yang memprihatinkan karena Panji merupakan salah satu karya seni asli karya nenek moyang kita sendiri.

Apalagi jika kita mendapati, orang Indonesia justru lebih akrab dengan budaya impor, tak terkecuali Ramayana dan Mahabarata.

Wardiman dengan senang hati menerima tawaran itu. Ia menjadi ketua kelompok MoW untuk Panji sekaligus sebagai peneliti naskah yang bekerja selama dua tahun. Tim ini bahkan kemudian punya pemikiran untuk mengajukan MoW bersama sejumlah negara yang juga mempunyai tradisi dan naskah Panji, seperti Kamboja, Thailand, British Library (Inggris), serta Perpustakaan KITLV (Belanda).

Setelah diajukan pada 2013, naskah Panji berhasil diregistrasi UNESCO pada 2015, dan ditetapkan menjadi MoW pada 31 Oktober 2017. Wardiman mengungkapkan, syarat agar bisa diterima sebagai MoW UNESCO, naskah-naskah tersebut harus disimpan dengan baik. Naskah juga harus disebarluaskan dan kalau bisa dilestarikan. Naskah juga harus didigitalisasi dan terbuka untuk umum.

Di situlah Wardiman mulai merasa terpanggil untuk mensosialisasikan Panji. Ia mulai datang ke berbagai pihak untuk memperkenalkan kembali budaya Panji yang sudah lama hilang. Dan lagi-lagi pertanyaan yang selalu didapatnya adalah “Apa itu Panji?” Sebuah pertanyaan yang justru membuatnya semakin tertantang untuk melestarikan Panji.

Dari promotor ke “provokator”

Semakin terlibat dalam pelestarian budaya dan Cerita Panji, Wardiman justru semakin mengagumi karya sastra yang lahir pada abad ke-13 itu. Setidaknya, ada tujuh poin kekagumannya.

Pertama, ia kagum karena cerita ini sudah bertahan tujuh abad atau tepatnya lahir pada masa Kerajaan Kediri dan menyebar saat Kerajaan Majapahit. Salah satu bukti peninggalannya adalah relief-relief candi di Jawa Timur seperti di Candi Panataran dan Candi Mirigambar.

Kekagumannya juga didasari fakta bahwa Cerita Panji lahir dari kalangan bawah, tepatnya dari rakyat. Karya-karya ini disukai masyarakat saat itu dan ceritanya mampu beradaptasi dengan budaya setempat.

Cerita Panji juga menjadi inspirasi dari lahirnya tari-tarian. Tema cerita dalam seni tari ini justru lebih dulu populer, karena memang di masa lalu jarang ada penulisan naskah di atas kertas. Dari sini lahirlah tari-tarian seperti Tari Panji Semirang, Beksan Panji Sekar, Tari Panji Asmarabangun, Tari Panji Sepuh, dll.

Cerita ini kemudian juga mengilhami sejumlah seni pertunjukan Jenis-jenis seni pertunjukan berbasis Cerita Panji antara lain Wayang Gedhog, Wayang Beber, Wayang Topeng, Gambuh, Wayang Krucil, Wayang Thengul, dll. Sedangkan untuk kreasi baru muncul seperti Wayang Jantur, yang diciptakan Agus Bimo dari Klaten, Jawa Tengah.

Terakhir, kekaguman Wardiman adalah karena cerita ini bisa diekspor ke luar negeri. Saat ini cerita-cerita Panji juga bisa kita temui di beberapa negara tetangga seperti di Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Kamboja. Tentu dengan penyesuaian budaya masing-masing.

“Kita wajib bangga karena ada budaya kita yang diekspor. Tidak ada budaya lain,” tutur Wardiman yang pernah menginisiasi Festival Budaya Panji tingkat ASEAN pada 2023, di mana sembilan di Asia Tenggara mengirimkan sanggar panjinya untuk berpartisipasi.

Di dalam negeri, upaya pelestarian Cerita Panji sebenarnya sudah mulai tumbuh dalam sepuluh tahun terakhir. Terutama di daerah-daerah dengan tradisi Panji yang kuat seperti Kediri, Surabaya, dan Malang. Di daerah-daerah ini, acara-acara seperti festival Panji sudah jadi acara tahunan.

Yang lebih menggembirakan, kini mulai tumbuh kesadaran untuk membuat Panji sebagai identitas budaya. Kabupaten Kediri misalnya, mengklaim diri sebagai Bumi Panji, kemudian Kota Kediri juga menyebut diri sebagai Kota Panji. Dalam acara tahunannya, Kabupaten Kediri bahkan punya program bertema “Panji balik kampung”.

Di dalam situasi yang bergairah inilah, Wardiman berperan terus mendorong pelestarian budaya Panji. Terutama untuk terus mendatangi pejabat-pejabat di daerah seperti bupati dan walikota agar mendukung upaya yang baik ini.

“Karena saya setiap tahun terus mendorong, maka saya disebut sebagai ‘provokator’ Panji, bukan promotor,” tutur ilmuwan yang berlatar belakang S-2 di Universitas Teknik di Aachen, Jerman (1963) dan S-3 Universitas Teknik di Delft, Belanda (1985).

Populer di Thailand

Berkeliling ke berbagai daerah sejak 2016, Wardiman melihat pertumbuhan sanggar-sanggar Panji sangatlah pesat. Masyarakat perlahan-lahan mulai memahami budaya Panji dan terlibat dalam pelestarian budaya ini melalui seni pertunjukan, seni lukis, kerajinan tangan, grafis, seni suara, dll.

Fenomena ini tentu menggembirakan, karena sebenarnya budaya Panji memang sempat hidup di masyarakat Indonesia, setidaknya sampai 1960-an. Ketika itu cerita-cerita Panji masih dikisahkan oleh orang tua kepada anak-anaknya dalam bentuk dongeng saat petang hari. Cerita ini juga sempat hadir dalam komik dan film-film layar lebar.

Akan tetapi, menurut Wardiman, cerita-cerita Panji perlahan-lahan mulai menghilang setelah masuknya budaya televisi ke rumah-rumah kita. Generasi setelah tahun 1960-an sudah asing bahkan sama sekali tidak mengenalnya. Apalagi setelah masuknya budaya internet.

Situasi ini berbeda dengan di negara tetangga kita, seperti di Thailand. Di negeri itu, cerita-cerita Panji terus lestari karena menjadi bagian dari tradisi kerajaan.

Dalam Seminar Internasional Panji/Inao di Perpustakaan Nasional RI, pada 2018, terungkap bahwa di Thailand kisah Panji pertama kali disusun oleh dua putri Raja Borommakot (1733-1758) dari Ayutthaya. Kedua putri itu mendapatkan kisah Panji versi Jawa lewat pelayan mereka yang berasal dari tanah Melayu.

Seperti ditulis di situs Historia.id, masing-masing putri kemudian menyusun cerita versi mereka sendiri ke dalam dua bentuk yang kemudian digunakan untuk drama tari yaitu Dalang dan Inao. Raja Rama I (1782-1809) dari Dinasti Chakri kemudian merevisi cerita Dalang.

Sementara putranya, Rama II (1809-1824) mempopulerkan cerita Inao. Tradisi Inao kemudian dikembangkan lagi oleh Raja Chulalongkorn yang mendorong para seniman untuk mereproduksinya dalam berbagai bentuk seni, seperti drama, tari, dan lukisan.

Dia sendiri menulis naskah Inao dengan sekitar 5.000 syair. Tak kurang tiga kali raja ini berkunjung ke Pulau Jawa dan bertanya perihal Cerita Panji kepada para pejabat setempat seperti Bupati Bandung dan Sultan Yogyakarta.

Kini Cerita Panji tetap dikenal oleh masyarakat Thailand, karena hadir di sekolah sebagai materi pelajaran. “Setiap bulan ada satu jam pelajaran tentang Cerita Panji di sekolah,” tutur Wardiman yang sudah tiga kali ke negeri itu untuk melihat perkembangan Panji di sana.

Cerita Panji juga mulai dibawa melanglang buana ke berbagai negara. Salah satunya seperti yang dipertunjukkan di Katara Opera House, Doha, Qatar pada Mei 2023. Sebuah drama bertajuk “Hayati: Panji Mencari Hakikat Cinta” yang disutradarai Rama Soeprapto tampil dalam program Qatar-Indonesia 2023 Year of Culture.

Maraknya kembali budaya Panji dalam panggung modern ini seolah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kerap diajukan dari sejumlah pejabat kepada Wardiman; bagaimana mengadaptasi budaya Panji dalam bentuk kekinian?

Tegas Wardiman berkata, di sinilah kita perlu pemahaman bahwa Cerita Panji juga bisa diadaptasi dalam bentuk-bentuk masa kini. Dan itu tetap sah disebut Panji! Panji tidak harus hadir dalam bentuk-bentuk cerita dengan setting istana, kerajaan, atau wayang. Panji juga bisa hadir dalam format keseharian kita di zaman modern ini.

“Cerita Panji juga bisa hadir dalam berbagai kreasi seperti sepatu, busana, aksesoris, karakter animasi superhero, termasuk lagu-lagu Panji,” tutur mantan menteri yang sebelumnya 10 tahun berkarier di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Tiga buku Kartini

Di samping menjadi “provokator” Panji, aktivitas harian Wardiman kini sedang disibukkan dengan menerjemahkan surat-surat RA Kartini. Harapannya, buku yang rencananya akan terbit tiga jilid itu bisa diluncurkan pada hari ulang tahunnya yang ke-90, pada 22 Juni 2024.

Boleh dikatakan perkenalan Wardiman terhadap surat-surat Kartini adalah berkat jasa Cerita Panji juga. Saat masih sibuk mengurus MoW Cerita Panji, sekali dalam setahun ia mengunjungi perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Leiden, Belanda.

Di perpustakaan yang banyak menyimpan arsip tentang Nusantara itulah ia mendapati surat-surat Kartini yang sangat lengkap. Bahkan lebih lengkap dari yang pernah diterjemahkan oleh Armyn Pane (90 surat) dan Sulastin Sutrisno (116 surat).

“Sedangkan saya 179 surat dengan 800 halaman. Surat-surat yang pernah diterjemahkan Sulastin akan saya muat lagi,” tuturnya.

Menurut rencana tiga jilid buku itu terdiri atas buku pertama berjudul Surat-surat Kartini setebal 800 halaman. Lalu buku kedua Kartini, Hidupnya, Renungannya dan Cita-citanya yang berisi kutipan dari buku antara lain karya Pramoedya Ananta Toer yaitu Panggil Aku Kartini Saja.Kemudian buku ketiga adalah Kartini dan Kesetaraan Gender Indonesia yang berisi isu gender di Indonesia saat ini, analisa dan usaha-usaha menanggulanginya.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Artikel Terkait