Find Us On Social Media :

Betapa Dahsyatnya Kekuatan Buku Harian: Dari Curhat hingga Catatan Sejarah

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 31 Agustus 2024 | 12:41 WIB

Buku harian sedianya adalah tempat curhat dan mencatat kejadian sehari-hari. Tapi rupanya juga bisa digunakan mengungkapkan sebuah peristiwa bersejarah. Buku harian Anne Frank contohnya.

Pendapat senada diujarkan oleh Minarsih Soedarpo, tokoh aktivis perempuan Indonesia. "Menulis buku harian sebenarnya mencurahkan isi hati ke bentuk tulisan," katanya. Sejak berusia 14 tahun, wanita ini sudah rajin membuat catatan harian.

"Hari pertama saya menulis tanggal 17 Juli 1938. Isinya masih sangat sederhana," kenangnya.

Lembar pertama buku harian barunya yang masih menggunakan bahasa Belanda berbunyi, "Tadi saya baru membeli sebuah buku harian. Saya masih belum tahu apa yang harus saya tulis. Rasanya masih kaku. Tapi biar saja saya menceritakan apa yang akan saya lakukan hari ini. Saya bangun pukul 08.00, lalu saya pergi ke Fuji Ice..."

Bermula dari tulisan yang sederhana itu, catatan harian Mien, demikian sapaan akrabnya, berkembang menjadi kisah-kisah menarik yang berkaitan dengan perjalanan sejarah Indonesia, baik zaman penjajahan Belanda, Jepang, masa peralihan, dan kemerdekaan.

Contohnya, menjelang hari Proklamasi Kemerdekaan:

"11 Aug 2605-1945. Keadaan semakin genting. Russia telah menerangkan perang terhadap Nippon. Rakjat menoenggoe kemerdekaan. Waktoe ini Boeng Karno dan Hatta, pergi ke Shonanto (Singapura - red). Orang kelihatan gelisah. Banjak orang masoek P.K. (klinik psikiatri) seperti Armijn Pane, Sanoesi Pane dan lain-lain. Orang ta' dapat berfikir lagi. Apakah nasib bangsa kita ini! O, Allah, toendjoekkan kita djalan. Rakjat masih haroes menderita kesoekaran jang lebih hebat lagi."

Tepat hari kemerdekaan RI, ia menulis:

"Malam Sabtoe, 17 Aug 1945. Hari ini disiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beloem semoeanja mengetahoei hal ini. Orang kelihatan masih ragoe, masih beloem mengerti. Indonesia telah merdeka di atas kertas. Dan sekarang … sehari-hari mereka terlihat mengangkoet-angkoet barang sadja dengan didjaga oleh serdadoe memakai senapan. Boeng S dan H roepanja diasingkan oleh kaoem Pemoeda, roepanja mahasiswa toeroet djoega dalam hal ini. Apa jang sebenarnja beloem dapat diketahoei. Orang ini bitjara banjak sekali. Tidak tahoe apa jang dapat dipertjajai. Katanja besok ada permoesjawarahan."'

Catatan-catatan macam ini yang membuat buku harian Mien juga pernah dimanfaatkan sebagai referensi untuk penulisan buku Mahasiswa '45, Prapatan 10, Pengabdiannya oleh Dr. Eri.Soedewo yang mengulas peranan mahasiswa sebelum proklamasi kemerdekaan.

Ketekunan menulis buku harian hingga tahun 1952 ini tidak datang begitu saja. Ibunya, Sjarifah Nawawi asal Bukittinggi, guru di zaman Belanda, ternyata juga penulis buku harian yang tekun sejak usia 19 tahun pada tahun 1914.

"Semua yang ibu alami ditulis dalam buku harian," cerita Mien yang bersuamikan Soedarpo Sastrosatomo, pernah bertugas sebagai anggota delegasi Indonesia yang memperjuangkan pengakuan kemerdekaan RI di Dewan Keamanan PBB (1948 -4952).

Buku harian sang ibu ditulis dengan tulisan tangan yang sangat rapi dalam buku tulis sederhana. Sebagian besar catatan itu masih menggunakan bahasa Belanda, sedangkan sisanya dalam bahasa Melayu. Buku harian itu kemudian tersimpan rapi dalam koleksi buku harian Mien.