Betapa Dahsyatnya Kekuatan Buku Harian: Dari Curhat hingga Catatan Sejarah

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Buku harian sedianya adalah tempat curhat dan mencatat kejadian sehari-hari. Tapi rupanya juga bisa digunakan mengungkapkan sebuah peristiwa bersejarah. Buku harian Anne Frank contohnya.

Catatan harian Rudy Ramli pernah menjadi buah bibir karena memicu tersingkapnya skandal Bank Bali, yang pada gilirannya sampai menyetop kucuran dana IMF bagi negara kita. Bukan kali itu saja sebuah catatan harian, yang notabene hanyalah kegiatan rutin seseorang, berbicara di forum publik.

Penulis:Nanny Selamihardja/Shinta Teviningrum

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Masih ingat buku harianAnne Frank, seorang gadis Yahudi yang menjadi tawanan Nazi Jerman?

Buku harian yang berisi pengalaman Anne bersembunyi bersama keluarganya untuk menghindari kezaliman Nazi selama Perang Dunia II itu mulai dia tulis Juli 1942 dan berakhir saat masuk kamp konsentrasi Agustus 1944. Setelah perang usai buku itu ditemukan kawan Anne, lalu dibukukan, bahkan diterjemahkan dalam beberapa bahasa.

Maka tulisan selama dua tahun itu pun jadi catatan bersejarah yang mengundang decak kagum jutaan pembacanya.

Buku harian biasanya berupa tulisan autobiografi yang ditulis secara teratur tentang kegiatan dan suasana hati. Manfaatnya lebih terasa bagi si penulis. Karena tak dimaksudkan untuk konsumsi khalayak, di dalamnya ada kejujuran dan keterusterangan yang jarang muncul muncul dalam buku yang diterbitkan untuk umum.

Penulisan catatan harian semacam ini mulai berkembang pada akhir masa Renaissance (1350-1650) saat banyak hal pribadi mulai dianggap penting. Selain berisi catatan pribadi penulis, tak jarang ia juga memuat sebagian sejarah sosial dan politik di lingkungannya.

Ini yang membuat buku harian tertentu jadi mempunyai nilai tambah. Misalnya yang dilakukan oleh Samuel Pepys (1633-1703). Mulai 1 Januari 1660 - 31 Mei 1669 dia memberikan gambaran yang gamblang tentang berbagai kekurangan masyarakat Inggris dan gambaran menarik kehidupan di London pada masanya. Ada pengadilan, dunia teater, keluarganya, serta kantornya di Angkatan Laut.

Meniru ibu

Pendapat senada diujarkan oleh Minarsih Soedarpo, tokoh aktivis perempuan Indonesia. "Menulis buku harian sebenarnya mencurahkan isi hati ke bentuk tulisan," katanya. Sejak berusia 14 tahun, wanita ini sudah rajin membuat catatan harian.

"Hari pertama saya menulis tanggal 17 Juli 1938. Isinya masih sangat sederhana," kenangnya.

Lembar pertama buku harian barunya yang masih menggunakan bahasa Belanda berbunyi, "Tadi saya baru membeli sebuah buku harian. Saya masih belum tahu apa yang harus saya tulis. Rasanya masih kaku. Tapi biar saja saya menceritakan apa yang akan saya lakukan hari ini. Saya bangun pukul 08.00, lalu saya pergi ke Fuji Ice..."

Bermula dari tulisan yang sederhana itu, catatan harian Mien, demikian sapaan akrabnya, berkembang menjadi kisah-kisah menarik yang berkaitan dengan perjalanan sejarah Indonesia, baik zaman penjajahan Belanda, Jepang, masa peralihan, dan kemerdekaan.

Contohnya, menjelang hari Proklamasi Kemerdekaan:

"11 Aug 2605-1945. Keadaan semakin genting. Russia telah menerangkan perang terhadap Nippon. Rakjat menoenggoe kemerdekaan. Waktoe ini Boeng Karno dan Hatta, pergi ke Shonanto (Singapura - red). Orang kelihatan gelisah. Banjak orang masoek P.K. (klinik psikiatri) seperti Armijn Pane, Sanoesi Pane dan lain-lain. Orang ta' dapat berfikir lagi. Apakah nasib bangsa kita ini! O, Allah, toendjoekkan kita djalan. Rakjat masih haroes menderita kesoekaran jang lebih hebat lagi."

Tepat hari kemerdekaan RI, ia menulis:

"Malam Sabtoe, 17 Aug 1945. Hari ini disiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beloem semoeanja mengetahoei hal ini. Orang kelihatan masih ragoe, masih beloem mengerti. Indonesia telah merdeka di atas kertas. Dan sekarang … sehari-hari mereka terlihat mengangkoet-angkoet barang sadja dengan didjaga oleh serdadoe memakai senapan. Boeng S dan H roepanja diasingkan oleh kaoem Pemoeda, roepanja mahasiswa toeroet djoega dalam hal ini. Apa jang sebenarnja beloem dapat diketahoei. Orang ini bitjara banjak sekali. Tidak tahoe apa jang dapat dipertjajai. Katanja besok ada permoesjawarahan."'

Catatan-catatan macam ini yang membuat buku harian Mien juga pernah dimanfaatkan sebagai referensi untuk penulisan buku Mahasiswa '45, Prapatan 10, Pengabdiannya oleh Dr. Eri.Soedewo yang mengulas peranan mahasiswa sebelum proklamasi kemerdekaan.

Ketekunan menulis buku harian hingga tahun 1952 ini tidak datang begitu saja. Ibunya, Sjarifah Nawawi asal Bukittinggi, guru di zaman Belanda, ternyata juga penulis buku harian yang tekun sejak usia 19 tahun pada tahun 1914.

"Semua yang ibu alami ditulis dalam buku harian," cerita Mien yang bersuamikan Soedarpo Sastrosatomo, pernah bertugas sebagai anggota delegasi Indonesia yang memperjuangkan pengakuan kemerdekaan RI di Dewan Keamanan PBB (1948 -4952).

Buku harian sang ibu ditulis dengan tulisan tangan yang sangat rapi dalam buku tulis sederhana. Sebagian besar catatan itu masih menggunakan bahasa Belanda, sedangkan sisanya dalam bahasa Melayu. Buku harian itu kemudian tersimpan rapi dalam koleksi buku harian Mien.

Hal lain yang menakjubkan, setiap surat yang dikirimkan ibunya kepada siapa saja juga ditulis tangan rangkap sebagai dokumentasi (maklum saat itu masih belum ada fotokopi). Catatan harian ibunya pun ada yang mengandung nilai sejarah. Misalnya, pidatonya di hadapan Serikat Kaum Ibu Sumatra tahun 1920-an. Maklum saja, ibunya ketika itu menjabat sebagai ketua serikat.

Rupanya, "resep" ibunya ini diikuti oleh Mien, putri bungsu hasil perkawinan dengan Bupati Bandung R.A.A Wiranatakoesoemah. Sama dengan ibunya yang sebagian catatan hariannya ditulis dalam bahasa Belanda, demikian pula catatan harian Mien. Bahasa Belanda dia gunakan sejak pertama kali menulis buku harian. Namun, sejak Januari 1945, dia mulai menggunakan bahasa Indonesia.

Dipamerkan

Namun, siapa sangka salah satu buku hariannya bisa dipajang di Recht Museum, Amsterdam, Belanda? Kisahnya, Belanda yang memperingati 400 tahun hubungan Belanda-Jepang tidak memiliki sebagian catatan tentang masa itu. Misalnya, kapan tepatnya dimulai pendudukan Jepang di Hindia Belanda, apa yang terjadi selama penjajahan Jepang tersebut, dan kapan Jepang keluar dari Hindia Belanda.

"Kebetulan ada kenalan yang tahu saya punya catatan tentang saat-saat itu. Ia langsung menghubungi saya," tuturnya. "Sebenarnya saya keberatan meminjamkan buku asli, takut kalau hilang. Tapi, ternyata mereka tidak mau fotokopinya. Akhirnya saya pinjamkan, asalkan buku itu diasuransikan," Mien mengutarakan kekhawatirannya saat meminjamkan buku hariannya.

Kini tulisannya dalam bahasa Belanda tentang nukilan kisah sejarah dipajang di almari kaca di museum itu. Di kanan-kirinya dipasang bagian penting yang diperbesar dan foto dirinya. Wah, sungguh membanggakan!

Bagian catatan sejarah yang menyangkut pendudukan Jepang di Hindia Belanda memang tidak pernah dilupakan Mien yang sejak lulus SR (setara SD) di Bukittinggi pindah ke Jakarta. "Situasi zaman Jepang begitu mencekam dan menakutkan. Hidup sangat sulit dan pendidikan pun terhenti. Saat itu saya berusia 18 tahun," kenangnya.

Awal pendudukan Jepang tak luput dari catatannya:

"Tanggal 13 Januari 1942 kota minyak Tarakan di Borneo Timur jatuh ke tangan Jepang. Tanggal 23 Januari lapangan udara Palembang dibom. Tanggal 3 Februari lapangan terbang Surabaya mendapat giliran. Palembang dan Singapura menyerah tanggal 16 Februari. Suasana Jakarta tambah hari tambah tegang dan tak ada satu, hari berlalu tanpa melengkingnya sirine serangan udara …"

Pengalaman lebih pribadi diungkapnya:

"Selain harus belajar bahasa Jepang, setiap hari harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, sambil membungkukkan badan ke arah Tenno Heika, kaisar Jepang. Siapa yang tidak mentaati peraturan dikenai hukuman. Barangsiapa ketahuan berbicara dalam bahasa Belanda pun langsung ditindak."

Bagaimana cara mendapatkan informasi dengan cepat? "Aduh, jangan bayangkan Jakarta zaman dulu seperti zaman sekarang. Dulu wilayah Jakarta masih kecil. Orang se-RT bisa saling kenal, sehingga informasi situasi terakhir mudah didapat. Selain dari mulut ke mulut, juga dari radio. Semua yang saya dengar dan alami, saya utarakan dalam buku harian saya."

Sahabatnya buku harian

Lalu apa manfaat menulis buku harian baginya? Setidaknya kebiasaan menulis itu sangat membantunya saat bekerja sebagai wartawan Her Inzicht terbitan Kementerian Penerangan, 25 Desember 1945.

Selain itu, buku harian bisa jadi alat dokumentasi dan catatan historis keluarga. Yang lebih penting, bagi Mien buku harian adalah sahabat yang paling dekat. "Saya dapat menuangkan seluruh isi hati saya ke situ, termasuk kisah asmara saya. Tapi untuk bagian itu hanya saya yang boleh membaca, suami pun tak boleh," tuturnya terus terang.

Bila ia sedang punya masalah dan tak tahu harus berbuat apa untuk masa depannya, ia berkeluh kesah pada buku hariannya, "Kadang saya seperti berbicara dengan buku harian saya. Misalnya, dengan menulis, 'Kamu mesti menolong saya dong!’”

Di samping itu, menurutnya, menulis buku harian akan mengasah kepekaan terhadap masalah sekitar maupun diri sendiri. Sepulang dari AS tahun 1952, Mien berusaha lagi untuk menulis catatan harian. Namun, kali itu yang diambilnya berbentuk agenda. "Hanya poin-poin penting saja yang dimasukkan. Tapi saya masih memasukkan peristiwa-peristiwa penting seperti Gestapu, kapan Pak Darpo mendirikan perusahaan dagangnya, kapan Soeharto dilantik menjadi Presiden RI kedua."

Akan diapakan tumpukan buku harian Mien? "Ada beberapa catatan yang sudah saya serahkan ke Arsip Nasional. Saya juga berencana membuat sebuah museum," ujar wanita kelahiran 25 Januari 1924 yang masih tampak segar ini.

Catatan harian jadi kunci

Selain jadi saksi sejarah dan kisah pribadi, catatan harian ada kalanya jadi sumber dalam menyingkap kasus kriminal. Dalam beberapa kasus, pelaku kejahatan terungkap gara-gara korban membuat catatan dalam agendanya. Catatan Harian Rudy Ramli dalam skandal Bank Bali, sebagai contoh.

Namun kekuatan catatan harian di depan hukum masih diragukan. Dalam kasus O.J. Simpson yang pernah menggegerkan dunia itu, Hakim Lance Itu Ito melarang digunakannya buku harian korban Nicole Brown Simpson, yang notabene istri O.J.

Toh timbul juga kekhawatiran, sampai ada aturan tidak tertulis di kalangan penulis buku harian, jangan tuliskan apa-apa yang bisa digunakan ahli hukum untuk melawan Anda. Sudah tentu pandangan semacam ini bertentangan dengan hakikat buku harian itu semula sebagai tempat "curhat", seperti yang diungkap Mien. Baginya, prinsip yang berlaku, "Saya menulis apa yang saya ingin tulis".

Artikel Terkait