Find Us On Social Media :

Saksi Bisu Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945, Nasibnya Kini

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 10 Agustus 2024 | 20:34 WIB

Ada sejumlah bangunan atau tempat yang menjadi saksi bisu detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Begini nasibnya sekarang.

Selanjutnya, ia tak dikibarkan supaya tidak lekas rusak, tapi tetap diikutsertakan dalam setiap upacara HUT kemerdekaan RI. Sementara yang berkibar hanya duplikat Sang Saka Merah Putih, yang terbuat dari sutera alam asli Indonesia, antara bagian berwarna merah dan putih tidak disambung dengan jahitan, melainkan merupakan satu kesatuan.

Sementara bangunan rumah di Jl. Pegangsaan yang sempat menjadi saksi bisu proklamasi tinggal riwayat. Bekas tempat kediaman Presiden pertama RI itu dibongkar dengan alasan yang tidak diketahui secara pasti. Lalu, di atas lokasi itu dibangun Monumen Proklamator berupa patung Bung Karno sedang membaca teks proklamasi didampingi Bung Hatta, yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1980.

Patung Bung Karno setinggi 4,60 m dengan berat 1.200 kg menampilkan wajah Bung Karno pada saat usia 46 tahun. Sedangkan patung Bung Hatta tingginya 4,30 m dan beratnya 1.200 kg, dengan raut wajah kala usia 43 tahun.

Di antara dua patung tersebut terdapat teks proklamasi terukir pada permukaan perunggu. Kedua patung perunggu tersebut dibuat di Bengkel Gardona di Yogyakarta, arsiteknya Ir. Budiono Surasno.

Di atas lokasi ini juga terdapat Tugu Kilat, yang dulunya merupakan tempat Bung Karno berdiri membacakan teks proklamasi. Tugu ini berbentuk linggis dengan lambang kilat di puncaknya yang menggambarkan gerak pembangunan.

Kilatnya sendiri melambangkdn gelegar proklamasi. Ada Tugu Peringatan Satu Tahun Kemerdekaan RI, dikenal dengan Tugu Proklamasi. Selain itu berdiri pula bangunan bertingkat bernama Gedung Pola, sekarang Gedung Perintis Kemerdekaan. Kini, lokasi Monumen Proklamator tersebut menjadi semacam tempat rekreasi dan wisata.

Telegraf, telepon, dan radio

Sejak proklamasi diumumkan, siaran berita kemerdekaan tak terbendung lagi, menyebar luas ke seluruh penjuru lewat telegraf, telepon, surat kabar, dan radio. Salah satu. yang punya andil adalah Gedung Aneta (Algemeen Nieuws en Telegraaf-Agent-schap, dulu kantor berita Belanda), di Jl. Pos Utara 57 (kini, Jl. Antara), Jakarta.

Pada zaman Jepang, gedung dua tingkat itu menjadi kantor berita Jepang, Domei (di lantai atas), dan Kantor Berita Antara (yang pada 29 Mei 1942 diubah oleh Jepang menjadi Yashima) menempati lantai bawah gedung itu. Sejak 6 Juli 1942, Yashima dilebur ke dalam Domei sebagai Bagian Bahasa Indonesia kantor berita Jepang tersebut. Tapi ironisnya, melalui Kantor Berita Domei pula pengumuman proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dengan cepat tersebar ke berbagai pelosok tanah air, bahkan ke seluruh dunia pada hari itu juga.

Adam Malik, yang memperoleh teks proklamasi segera setelah dibacakan oleh Soekarno, mendiktekannya melalui telepon kepada rekannya di Domei Bagian Bahasa Indonesia. Kemudian karyawan Bagian Bahasa Indonesia meneruskan berita itu melalui jaringan telegraf (morse-cast) dan telepon ke cabang-cabang di daerah tanpa lebih dulu meminta persetujuan petugas sensor. Jepang tak kuasa menghentikannya, karena berita itu sudah terlanjur menyebar dan dikutip oleh banyak surat kabar, dan juga radio.

Semarang Hosoo Kyoku merupakan satu-satunya stasiun radio yang dapat menyiarkan berita proklamasi pada hari itu juga. Sementara Jakarta Hosoo Kyoku (stasiun radio di Jakarta, kini RRI), di Jl. Merdeka Barat, baru pada pukul 19.00 bisa menyiarkan berita proklamasi dalam bahasa Indonesia dan Inggris, masing-masing dibacakan oleh Jusuf Ronodipuro dan Suprapto.

Meski saat itu studio radio dijaga ketat oleh Jepang, tapi salah seorang wartawan Domei Bagian Bahasa Indonesia berhasil masuk menyusupkan naskah proklamasi dengan memanjat tembok belakang studio.