Find Us On Social Media :

Bagaimana Penerapan Pancasilan Pada Masa Orde Baru? Apakah Asas Tunggal Itu?

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 10 Agustus 2024 | 12:37 WIB

Secara garis besar, bagaimana penerapan Pancasila pada masa Orde Baru? Benarkah ada penyimpangan di situ? Artikel di bawah ini akan menjawabnya untuk Anda semua.

Bagaimana penerapan Pancasila pada masa Orde Baru? Kenapa pemerintahan saat itu menerapkan Asas Tunggal Pancasila? Apa dampaknya dalam kehidupan bermasyarakat?

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Di masa Orde Baru, Pancasila mendapatkan posisi yang benar-benar "istimewa". Bagaimana tidak, di masa inilah ide dasar negara yang digagas oleh para pendiri bangsa itu diperlakukan sebagai "asas tunggal".

Secara garis besar, bagaimana penerapan Pancasila pada masa Orde Baru? Benarkah ada penyimpangan di situ? Artikel di bawah ini akan menjawabnya untuk Anda semua.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998 dengan Soeharto sebagai patronnya. Mengutip Kompas.com, di masa ini, Pancasila dipertahankan sebagai dasar negara. Keberadaan Pancasila bahkan semakin kuat di era Orde Baru. Dalam masa pemerintahannya, Soeharto berusaha untuk memulihkan kembali kondisi di Indonesia pasca-kekacauan yang terjadi di era Soekarno.

Orde Baru dimulai setelah Soeharto menjabat sebagai Presiden Indonesia menggantikan Soekarno melalui Tap MPR No. XXXIII/MPRS/1967. Yang menjadi pemeran utama dalam era Orde Baru adalah Angkatan Darat. Terdapat landasan konstitusional mengenai masuknya militer ke dalam politik, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan adanya golongan ABRI dalam MPR.

Pada awal Orde Baru dimulai, langkah pemerintahan yang dilakukan adalah langgam libertarian. Orde Baru sudah menggeser sistem politik Indonesia dari titik ekstrim otoriter pada zaman demokrasi terpimpin menjadi demokrasi liberal. Akan tetapi, liberalisme di awal kepemimpinannya tidak berlangsung lama.

Sistem ini hanya ditolerir selama pemerintah mencari format baru untuk politik Indonesia. Setelah format terbentuk, sistem liberal pun bergeser lagi ke sistem otoriter. Setelah itu, format baru politik dicantumkan dalam UUD Nomor 15 tahun 1969 dan UU Nomor 16 Tahun 1969 yang memberi landasan bagi pemerintah untuk mengangkat 1/3 anggota MPR dan lebih dari 1/5 anggota DPR.

Pasca kedua UU tersebut dikeluarkan, langgam sistem politik kembali bergeser ke sistem otoritarian. Pada masa itu, gagasan demokrasi liberal dianggap sebagai gagasan yang bertentangan dengan demokrasi Pancasila, sehingga ditolak. Orde Baru lahir sebagai upaya menegakkan Pancasila dan UUD 1945, dalam praktek ketatatanegaraannya, kehidupan demokrasi berjalan secara pseudo-demokratis atau demokrasi semu.

Benarkan ada penyimpangan?

Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto ini berusaha melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, berbeda pada saat Orde Lama yang dianggap menyimpang dari Pancasila. Upaya ini dilakukan melalui program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Selama era Orde Baru berjalan, pemerintah berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dengan memberantas paham komunis di Indonesia. Komunisme dan gagasan-gagasannya dianggap bertentangan dengan Pancasila kendati keduanya telah hidup berdampingan selama bertahun-tahun.

Di era Soeharto, Pancasila ditafsirkan sesuai dengan kepentingan kekuasaan pemerintah dan dijadikan sebagai indoktrinasi. Presiden Soeharto memanfaatkan Pancasila untuk melanggengkan kekuasaannya.

Beberapa metode yang digunakan dalam indoktrinasi Pancasila adalah:

- Melakukan pengajaran P4 (Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di sekolah-sekolah

- Presiden Soeharto membolehkan rakyat membentuk organisasi-organisasi dengan syarat berasaskan Pancasila

- Presiden Soeharto melarang adanya kritikan-kritikan yang dapat menjatuhkan pemerintah dengan alasan stabilitas

Meskipun begitu Presiden Soeharto juga melakukan beberapa penyelewengan dalam penerapan Pancasila. Di antaranya sebagai berikut:

- Menerapkan demokrasi sentralistik, demokrasi yang berpusat pada pemerintah

- Presiden Soeharto memegang kendali terhadap lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sehingga peraturan dibuat sesuai persetujuannya

- Presiden Soeharto melemahkan aspek-aspek demokrasi, terutama pers, karena dinilai dapat membahayakan kekuasaannya

- Presiden Soeharto berlindung di balik Pancasila. Bagi Soeharto, setiap kritik terhadap dirinya akan dialihkan menjadi kritik terhadap ideologi Pancasila.

- Presiden Soeharto melanggengkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)

Puncak dari penyelewengan Presiden Soeharto adalah terjadinya krisis ekonomi dan moneter tahun 1997. Krismon telah membuat perekonomian Indonesia turun drastis sehingga memicu gerakan masif untuk menggulingkan rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Apa itu asas tunggal?

Orde Baru juga menerapkan apa yang kelak kita kenal sebagai Asas Tunggal Pancasila. Asas Tunggal Pancasila merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintahan Soeharto pada 1985 terhadap semua partai politik dan organisasi masyarakat untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi mereka.

Asas tunggal Pancasila ditetapkan sebagai salah satu poin dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, dan kewajiban untuk partai disahkan pada tanggal 19 Februari 1985 melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, sementara untuk organisasi masyarakat landasan hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang disahkan pada 17 Juni 1985.

Meskipun mendapat sejumlah penolakan, kebijakan ini mendapat dukungan dari dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. Keduanya menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Bagi NU, asas-asas yang terkandung dalam Pancasila itu mengandung nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan Islam. Muktamar NU juga mengeluarkan pernyataan bahwa Pancasila adalah falsafah dan bukan agama dan juga tidak akan menggantikan agama.

Setali tiga uang dengan NU, Muhammadiyah juga menyatakan bahwa organisasi yang berdiri pada 1912 ini tidak masalah menerima Pancasila karena pemimpin-pemimpin Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakkir, dan Kasman Singodimedjo turut serta dalam perumusan Pancasila, sehingga Pancasila tidak bertentangan dengan Islam.

Seperti disebut di awal, kebijakan ini mendapat perlawanan, terutama dari kalangan aktivis-aktivis Islam saat itu. Salah satunya adalah Abu Bakar Ba'asyir, dia pernah ditangkap karena menolak asas tunggal Pancasila dan kemudian melarikan diri ke Malaysia selama 17 tahun. Peristiwa Talangsari di Lampung juga ekses dari kebijakan ini.

Sebagaimana banyak disebutkan dalam berbagai publikasi, Peristiwa Talangsari dilatari oleh menguatnya doktrin pemerintah Soeharto tentang asas tunggal Pancasila. Prinsip yang diterapkan Soeharto ini disebut dengan Eka Prasetya Panca Karsa dengan pedoman program bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).

Umumnya, program P-4 ini menyasar sejumlah kelompok Islamis yang kala itu bersikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Akibatnya, aturan ini membuat sekelompok orang di Lampung melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh Warsidi.

Mula-mula, anggota Warsidi hanya berjumlah di bawah 10 orang. Lalu, 1 Februari 1989, Kepala Dukuh Karangsari mengirimkan surat untuk Komandan Koramil Way Jepara, Kapten Soetiman. Dia menyampaikan bahwa di dukuhnya ada sejumlah orang yang diduga melakukan kegiatan yang mencurigakan.

Sekelompok orang yang dimaksud oleh si kepala dukuh adalah Warsidi dan komplotannya yang menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, di Lampung Tengah. Karena itulah pada 6 Februari 1989, melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) dipimpin oleh Kapten Soetiman, Warsidi dan para pengikutnya dimintai keterangan.

Saat itu, rombongan yang berangkat diperkirakan berjumlah 20 orang, yang dipimpin oleh Kepala Staf Kodim Lampung Tengah May Sinaga, termasuk Kapten Soetiman. Sesaat setelah Kapten Soetiman sampai, ia langsung ditembaki menggunakan panah dan perlawanan golok.

Tewasnya Kapten Soetiman pun membuat Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono bertindak melawan Warsidi. Pada 7 Februari 1989, sebanyak tiga peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu Cihideung, pusat gerakan.

Menjelang subuh, keadaan di Cihideung sudah berhasil dikuasai oleh ABRI. Dalam bentrokan ini, sedikitnya 246 penduduk sipil tewas. Sementara itu, menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan ada 47 korban tewas dan 88 lainnya hilang.

Alhasil, ratusan anak buah dan pengikut Warsidi berhasil ditangkap.

Menurut UU No. 26 Tahun 2008 Pasal 9 tentang Pengadilan HAM, kejadian itu merupakan penyerangan terhadap kelompok sipil yang dilakukan atas perintah dari atasan militer maupun non-militer. Pada 2001, korban dari Peristiwa Talangsari mendesak Komnas HAM untuk segera membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM).

Lalu pada 23 Februari 2001, tim penyelidik pun dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999. Tim ini terdiri atas: Enny Suprapto (Kekerasan), Samsudin (Hak Hidup), Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan), dan Muhammad Farid (Anak-anak).

Tim ini mulai bekerja sejak akhir Maret hingga awal April 2005. Setelah mereka turun ke lapangan pada Juni 2005, didapati adanya pelanggaran HAM berat. Komnas HAM kemudian mengeluarkan laporan penyelidikan dan berkasnya diserahkan ke Kejaksaan Agung. Tapi malangnya, laporan tersebut ditolak karena dianggap kurang ada bukti formil dan materiil.

Pada 20 Februari 2019, barulah deklarasi damai Talangsari yang diinisiasi oleh Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan terjadi. Deklarasi ini dilaksanakan di Dusun Talangsari, Lampung Timur, yang dihadiri oleh anggota DPRD Lampung Timur, Kapolres, Dandim, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu.

Adapun isi dari deklarasi damai itu adalah agar koran Talangsari tidak lagi mengungkap kasus tersebut karena sudah dianggap selesai oleh pemerintah dengan kompensasi berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung.

Mengetahui hal itu, korban dan masyarakat pun langsung melakukan penolakan, karena kompensasi yang diberikan bukan kompensasi khusus untuk para korban Peristiwa Talangsari. Akhirnya, korban yang ada dalam Perkumpulan Keluarga Korban Peristiwa Pembantaian Talangsari Lampung didampingi oleh Kontras dan Amnesti Internasional Indonesia melaporkan perihal deklarasi itu pada Ombudsman RI.

Pada 13 Desember 2019, Ombudsman mengumumkan bahwa deklarasi damai Talangsari dinyatakan maladministrasi. Dengan demikian, para korban Talangsari masih harus memperjuangkan hak mereka.

Begitulah bagaimana penerapan Pancasila pada masa Orde Baru dan dugaan adamnya penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah saat itu. Semoga bermanfaat.