Find Us On Social Media :

Mengapa Kita Masih Menjalankan Tradisi Dan Ritual Sumpah Pocong?

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 10 Agustus 2024 | 10:48 WIB

Sumpah pocong atau sumpah mimbar kerap dijadikan alternatif terakhir sebuah sengketa hukum. Bikin ngeri karena langsung dikaitkan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Itulah yang dilakukan Saka Tatal dalam kasus Vina Cirebon.

Tepat di depan mimbar khutbah, di hadapan saksi para tokoh agama setempat, tubuh Kunan Sutan Sinaro (70) yang dipocong kain kafan persis mayat - kecuali bagian wajah dibiarkan terbuka - berdiri dalam posisi menghadap kiblat.

Mendadak keheningan pecah, ketika bibir sosok berpocong tersebut melafalkan, "Apabila saya berdusta, saya bersedia tidak akan menerima kesenangan dalam kehidupan selama satu turunan, dan bersedia dilaknat Tuhan Yang Maha Esa." Getar suara kakek bercucu lima tersebut serentak disambut kalimat-kalimat yang: mengaminkan, memohon Tuhan menunjukkan keadilan.

Di balik suasana khusyuk ritual sumpah pocong yang dipimpin oleh Hakim M. Yusuf Naif, S.H., tak dinyana muncul reaksi yang mengherankan. Sejumlah penonton secara perlahan beringsut-mundur menjauhi Kunan. "Kalau terlalu dekat, saya takut kena bala," kata seorang pengunjung.

Kunan mengaku berani diambil sumpah pocong karena yakin akan kebenaran gugatannya. Dia juga merasa lega setelah bersumpah. Berikut ini penuturannya.

Sumpah mimbar

Sumpah tersebut lahir karena sengketa tanah seluas 904 m2 di Desa Kalinilam, Kec. Matan Hilir Utara, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat, antara Kunan (penggugat) dan H. Labek Hadi (tergugat). Bermula pada tahun 1980, tutur Kunan, ketika Labek berkali-kali membujuk Kunan agar menjual tanahnya yang berada persis di depan bioskop milik Labek, di jalan utama Ketapang.

Meski semula menolak, akhirnya Kunan mau juga melepaskan tanah itu setelah Labek berjanji memberikan tanah penukar di samping bioskop. Selain itu ia mensyaratkan pengurusan sertifikat dan ongkos-ongkos yang lain ditanggung Labek.

Kunan pun menyerahkan surat tanah, yang hanya berupa keterangan dari pemuka adat, tanpa tanda terima. Entah bagaimana, tahun 1983 sertifikat tanah milik Kunan dan tanah tukaran milik Labek keluar atas nama Labek Hadi. Malah, di atas tanah Kunan itu dibangun ruko. Tak hanya itu, Labek juga membantah pernah menerima titipan surat tanah dari Kunan.

Penderitaan Kunan belum berakhir. Pedagang benda antik itu dituduh menyerobot tanah milik Labek. Akibatnya, pada 1988 Kunan dihadapkan ke pengadilan dan divonis 9 bulan penjara. Namun, Kunan masih juga bernyali untuk menguasai kembali tanahnya. Akhir 1995, Kunan menggugat perdata Labek. Tuntutannya, agar Labek mengembalikan tanahnya.

Perjalanan kasus itu tersendat. Selain tidak sepenuhnya bisa menyodorkan bukti kepemilikan tanah tersebut, Kunan hanya memiliki kesaksian lisan dari pemuka adat. Posisi Kunan lemah, lantaran hanya memiliki keterangan lisan tanpa didukung bukti tertulis. Untuk membuktikan kepemilikannya, Kunan pun memohon dilakukan sumpah pocong.

Hakim Yusuf Naif, S.H. ternyata menerima permohonan sumpah pocong karena kedua pihak yang berperkara tidak ada yang memiliki bukti kuat (Gatra, 6 Juli 1996). Berlandaskan pada Pasal 156 HIR dan pasal 1920 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut Yusuf, kedua belah pihak harus mengangkat sumpah. Karenanya, hakim pun meminta kesediaan tergugat Labek untuk menjalani sumpah pocong.

Jangankan mengangkat sumpah, ke Masjid Agung pun Labek tidak datang. "Padahal, dalam sidang April lalu kami sudah minta sampai tiga kali pada Labek untuk disumpah. Kenyataannya, ia tidak bersedia," tutur Yusuf sambil menambahkan bahwa jika lawan perkara tidak mau mengangkat sumpah pemutus, biasanya dialah yang dikalahkan.