Penulis
Sumpah pocong atau sumpah mimbar kerap dijadikan alternatif terakhir sebuah sengketa hukum. Bikin ngeri karena langsung dikaitkan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Itulah yang dilakukan Saka Tatal dalam kasus Vina Cirebon.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sumpah pocong kembali terjadi, kali ini terkait dengan kasus pembunuhan Vina di Cirebon, Jawa Barat, yang terjadi delapan tahun yang lalu yang terus berlarut-larut. Pelaku sumpah pocongnya adalah Saka Tatal.
Cara itu dia lakukan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky pada 2016 lalu itu. Tak hanya sumpah pocong, sebelumnya, eks terpidana kasus Vina itu juga mengajukan upaya hukum peninjauan kembali atau PK.
Mengutip Kompas.ID, ratusan warga memadati Padepokan Agung Amparan Djati di Desa Lurah, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (9/8/2024) sekitar pukul 13.00 WIB. Jalan menuju lokasi, yang lebarnya hanya muat satu mobil, semakin sempit seiring hadirnya pedagang kaki lima dan warga.
Sumpah pocong merupakan ritual yang biasa dilakukan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa, perselisihan, hingga tuduhan atau fitnah. Pada pelaksanaannya, seseorang akan mengenakan kain kafan layaknya pocong. Dalam kasus ini, Saka ingin membuktikan, ia tidak terlibat kasus Vina.
Pertanyaan kemudian muncul, di era yang canggih ini, kenapa sebagian orang masih melakukan sumpah pocong? Apakah ini juga bukti bahwa otoritas hukum di negara ini sudah begitu tidak dipercayainya oleh masyarakat?
Majalah Intisari pernah menuliskannya untuk kita semua, kenapa orang-orang melakukan sumpah pocong. Penulisnya adalah Shinta Teviningnun, judulnya:
"SUMPAH POCONG, MENGHINDARI SUMPAH BOHONG"
Akhir Juni 1996, suasana di Masjid Agung Al-Ikhlas, Ketapang, Kalimantan Barat, nampak lain dari biasa. Ribuan orang memenuhi tak hanya pekarangan, bahkan meluber hingga ke jalan. Jauh berbeda dengan suasana di luar yang riuh oleh kerumunan massa, suasana khidmat menyelimuti ruangan masjid.
Tepat di depan mimbar khutbah, di hadapan saksi para tokoh agama setempat, tubuh Kunan Sutan Sinaro (70) yang dipocong kain kafan persis mayat - kecuali bagian wajah dibiarkan terbuka - berdiri dalam posisi menghadap kiblat.
Mendadak keheningan pecah, ketika bibir sosok berpocong tersebut melafalkan, "Apabila saya berdusta, saya bersedia tidak akan menerima kesenangan dalam kehidupan selama satu turunan, dan bersedia dilaknat Tuhan Yang Maha Esa." Getar suara kakek bercucu lima tersebut serentak disambut kalimat-kalimat yang: mengaminkan, memohon Tuhan menunjukkan keadilan.
Di balik suasana khusyuk ritual sumpah pocong yang dipimpin oleh Hakim M. Yusuf Naif, S.H., tak dinyana muncul reaksi yang mengherankan. Sejumlah penonton secara perlahan beringsut-mundur menjauhi Kunan. "Kalau terlalu dekat, saya takut kena bala," kata seorang pengunjung.
Kunan mengaku berani diambil sumpah pocong karena yakin akan kebenaran gugatannya. Dia juga merasa lega setelah bersumpah. Berikut ini penuturannya.
Sumpah mimbar
Sumpah tersebut lahir karena sengketa tanah seluas 904 m2 di Desa Kalinilam, Kec. Matan Hilir Utara, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat, antara Kunan (penggugat) dan H. Labek Hadi (tergugat). Bermula pada tahun 1980, tutur Kunan, ketika Labek berkali-kali membujuk Kunan agar menjual tanahnya yang berada persis di depan bioskop milik Labek, di jalan utama Ketapang.
Meski semula menolak, akhirnya Kunan mau juga melepaskan tanah itu setelah Labek berjanji memberikan tanah penukar di samping bioskop. Selain itu ia mensyaratkan pengurusan sertifikat dan ongkos-ongkos yang lain ditanggung Labek.
Kunan pun menyerahkan surat tanah, yang hanya berupa keterangan dari pemuka adat, tanpa tanda terima. Entah bagaimana, tahun 1983 sertifikat tanah milik Kunan dan tanah tukaran milik Labek keluar atas nama Labek Hadi. Malah, di atas tanah Kunan itu dibangun ruko. Tak hanya itu, Labek juga membantah pernah menerima titipan surat tanah dari Kunan.
Penderitaan Kunan belum berakhir. Pedagang benda antik itu dituduh menyerobot tanah milik Labek. Akibatnya, pada 1988 Kunan dihadapkan ke pengadilan dan divonis 9 bulan penjara. Namun, Kunan masih juga bernyali untuk menguasai kembali tanahnya. Akhir 1995, Kunan menggugat perdata Labek. Tuntutannya, agar Labek mengembalikan tanahnya.
Perjalanan kasus itu tersendat. Selain tidak sepenuhnya bisa menyodorkan bukti kepemilikan tanah tersebut, Kunan hanya memiliki kesaksian lisan dari pemuka adat. Posisi Kunan lemah, lantaran hanya memiliki keterangan lisan tanpa didukung bukti tertulis. Untuk membuktikan kepemilikannya, Kunan pun memohon dilakukan sumpah pocong.
Hakim Yusuf Naif, S.H. ternyata menerima permohonan sumpah pocong karena kedua pihak yang berperkara tidak ada yang memiliki bukti kuat (Gatra, 6 Juli 1996). Berlandaskan pada Pasal 156 HIR dan pasal 1920 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut Yusuf, kedua belah pihak harus mengangkat sumpah. Karenanya, hakim pun meminta kesediaan tergugat Labek untuk menjalani sumpah pocong.
Jangankan mengangkat sumpah, ke Masjid Agung pun Labek tidak datang. "Padahal, dalam sidang April lalu kami sudah minta sampai tiga kali pada Labek untuk disumpah. Kenyataannya, ia tidak bersedia," tutur Yusuf sambil menambahkan bahwa jika lawan perkara tidak mau mengangkat sumpah pemutus, biasanya dialah yang dikalahkan.
Namun ketidakbersediaan Labek pun didasari pada sejumlah alasan yang menurut pengacara Labek, Junaidi, S.H., "Kami sebenarnya protes karena hakim tidak memeriksa bukti-bukti yang dimiliki klien kami, selain rasa ngeri."
Rasa ngeri saat menjalankan ritual sumpah pocong, sebutan yang sebenarnya hanya dikenal dalam istilah adat, tak diingkari acap kali melanda para pelakunya. Penyebabnya, bisa jadi selain sumpah diucapkan langsung ke hadirat Tuhan, juga dilakukan di tempat ibadah yang mengandung konotasi tempat yang suci. Menurut Hakim Yusuf Naif, S.H., alasan diselenggarakan di masjid, karena yang meminta sumpah pemutus itu biasanya menghendaki kesakralan tempat.
"Sepanjang itu menambah keyakinan akan keampuhan sumpah tersebut, apakah itu di masjid, gereja, atau kelenteng, sih tidak apa-apa," ujarnya.
Pendapat Yusuf Naif dibenarkan oleh Ali Boediarto, S.H., kepala Pengadilan Jakarta Utara, dengan memaparkan kasus yang pernah ditanganinya. "Tidak mengucap sumpah di masjid, melainkan di kelenteng. Karena gugatan utang piutang terjadi antara sesama. penganut kepercayaan tersebut," kenangnya.
Ali Boediarto menggambarkan, karena saling percaya kalangan masyarakat Cina pedagang sering kali dengan mudah melakukan pinjam-meminjam uang dengan hanya mencatatnya di secarik kertas bon. "Mungkin saja si pemberi pinjaman, karena sembrono, kehilangan bon catatan pinjaman. Sementara pihak yang lain benar-benar lupa telah membayar atau belum. Tapi mungkin, ada pihak yang memang nakal, entah si pemberi pinjaman atau sebaliknya. Sungguh sulit menentukan siapa yang benar dalam kasus seperti ini."
Seperti halnya kasus Kunan-Labek, akhirnya, diputuskan perlu dilakukan sumpah mimbar atau sumpah pemutus. Di hadapan meja sembahyang di sebuah kelenteng, sambil berdoa pelaku pengucap sumpah menggenggam erat sebilah pisau lalu memotong leher ayam hidup. Sementara harum dupa merebak ke segenap ruangan menusuk hidung.serta kucuran darah ayam deras mengalir ke mangkuk, si pelaku segera mengucapkan kalimat-kalimat sumpah.
Sesaat setelah unggas tersebut meregang nyawa, darahnya yang memenuhi mangkuk segera dioles-oleskan ke tubuh pelaku sumpah. Pada intinya tersimpan makna, bila yang diucapkan ternyata dusta maka pengucap sumpah akan mati.
Ajukan dalil tanpa bukti
Meski jarang dilakukan, sumpah ini mewakili wajah masyarakat kita yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah yang ternyata dikenal di berbagai kota tersebut tak jarang dipraktikkan dengan tata cara yang berbeda, misalnya pelaku sumpah tidak dipocongi tapi hanya dikerudungi kain kafan dengan posisi duduk.
Sumpah berarti suatu pernyataan khidmat tentang keterangan atau janji, yang diucapkan di hadapan hakim dengan mengingat sifat kemahakuasaan Tuhan. Konsekuensinya, apabila keterangan atau janjinya tidak benar, yang bersumpah diyakini mendapat hukuman Tuhan. Sedangkan pocong berarti mayat yang diselubungi dengan kain kafan.
Jadi, sumpah pocong berarti sumpah yang dilakukan seorang penganut agama Islam, dengan cara dibalut seluruh tubuhnya dengan kain kafan seperti orang meninggal. Sumpah pocong, yang mulai marak dipraktikkan di lingkungan peradilan sejak pertengahan 1970-an, biasa dikenal dalam proses acara perdata. Secara implisit sumpah pocong memang tidak diatur dalam Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.
"Sumpah pocong memang merupakan salah satu pembuktian yang dijalankan oleh pengadilan dalam memeriksa perkara-perkara perdata," ujar Ali Boediarto sambil menjelaskan bahwa istilah sumpah pocong yang beredar di masyarakat sebenarnya dalam istilah pengadilan disebut sumpah mimbar.
Sama dengan sumpah-sumpah lainnya, menurut Ali yang juga sekjen Ikatan Hakim Indonesia, sumpah mimbar lahir karena adanya perselisihan antara seseorang sebagai penggugat melawan 'orang lain sebagai tergugat. "Gugatan yang diajukan penggugat ke pengadilan ini bermacam-macam masalahnya, bisa berupa perebutan harta warisan, hak-hak tanah, utang-piutang, dsb."
Selanjutnya, dalam pemeriksaan di pengadilan menurut Hukum Acara Perdata ditentukan, setiap orang yang mengemukakan suatu dalil, harus bisa membuktikan kebenaran dalil gugatannya di muka pengadilan wajib.
"Dalil itu hanya berupa pengakuan, misalnya, pihak penggugat mengaku sebidang tanah X miliknya, maka pihak yang mengeluarkan dalil itu berkewajiban membuktikan kepada hakim perdata akan kebenaran dalilnya," kata Ali mencontohkan sambil menyebut Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) pasal 163.
Sebaliknya, pihak yang menyangkal bahwa tanah itu bukan milik penggugat, melainkan milik tergugat, juga mengeluarkan suatu dalil yang harus pula dibuktikan kebenarannya di muka hakim perdata. Di sinilah hakim mempunyai dasar hukum untuk memeriksa perkara itu dengan menerima bukti-bukti yang diajukan oleh pihak penggugat untuk mendukung dalil gugatannya ataupun bukti-bukti yang diajukan oleh pihak lawan atau tergugat untuk mendukung dalil sangkalannya.
Kemudian hakim akan mempertimbangkan bukti mana yang lebih kuat. Adapun bukti-bukti yang layak diajukan, "Sesuai dengan HIR pasal 164 yang pertama adalah bukti surat dan bukti saksi," jelas Ali Boediarto, S.H. Dalam situasi tidak ada bukti surat dan bukti saksi, menurut HIR pasal 164 dilakukan bukti persangkaan yaitu dengan meneliti rentetan kejadian di masa lalu. Meski demikian Ali Boediarto menilai bukti persangkaan agak rawan dilakukan.
Bukti keempat menurut Hukum Acara Perdata adalah pengakuan, "Namanya saja selisih, tentunya tidak ada pengakuan yang saling membenarkan antara pihak penggugat dengan tergugat," ujar Ali sambil menunjuk pada bukti terakhir atau yang kelima, yaitu sumpah.
Agar tak berlarut-larut
Mengingat letaknya yang paling akhir, sumpah pun menjadi alat satu-satunya untuk memutuskan sengketa tersebut. Jadi sumpah tersebut memberikan dampak langsung kepada pemutusan yang dilakukan hakim.
Hal ini terjadi karena perkara tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, apalagi sampai bertahun-tahun, karena kedua belah pihak yang bersengketa masih coba-coba mencari bukti dan saksi lain. Dalam keadaan tertentu hakim mungkin masih meriimbang-nimbang seandainya mungkin mendapatkan bukti yang lain. Namun, kalau sudah buntu sama sekali, hakim akan langsung merujuk ke bukti sumpah.
Sumpah ada dua macam yaitu sumpah Suppletoir dan sumpah Decisoir. Sumpah Supletoir atau sumpah tambahan dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan tapi belum bisa meyakinkan kebenaran fakta, karenanya perlu ditambah sumpah.
"Bukti-bukti permulaan bisa berupa sepotong surat sebagai penunjuk atau mungkin satu saksi yang cukup memberikan petunjuk ke arah suatu kebenaran," Ali Boediarto memberikan contoh. Bila sudah ada permulaan bukti seperti itu, maka cukup dilakukan sumpah Suppletoir untuk menguatkan saksi yang hanya satu orang tersebut.
Dalam keadaan tanpa bukti sama sekali, hakim akan memerintahkan sumpah Decisoir alias sumpah pemutus yang sifatnya tuntas, menyelesaikan perkara. "Biasanya kedua pihak hanya bisa bicara, bersikukuh pada dalil masing-masing," Ali Boediarto menggambarkan perselisihan yang tanpa didukung bukti. Meski begitu, tidak jarang kedua pihak yang bersengketa tersebut mengajukan bukti, "Sayangnya, bukti-bukti itu tidak langsung berkaitan dengan pokok perkara, hanya nyerempet sedikit-sedikit. Misalnya catatan notes yang tidak- berharga sebagai bukti," ujarnya lagi.
Gagasan untuk melakukan sumpah mimbar bisa ditawarkan oleh hakim, meski tidak tertutup kemungkinan inisiatif justru diajukan penggugat yang merasa sangat yakin berada di pihak yang benar. Dalam keadaan begini, penggugat pun bisa meminta sumpah dibebankan pada dirinya atau pada lawan.
Bila penggugat meminta hakim membebankan pada pihak lawan, maka pihak lawan pun bisa kembali melemparkan agar sumpah dilakukan oleh si penggugat. "Kalau sudah begini, hakim harus memberikan putusan sela untuk menentukan siapa yang harus dibebani sumpah,," kata All Boediarto.
Dengan menggunakan alat sumpah Decisoir, putusan hakim akan semata-mata tergantung kepada bunyi sumpah dan keberanian pengucap sumpah. "Hal ini sangat rawan untuk membenarkan pernyataan seseorang, karena banyak orang cukup berani untuk melanggarnya. Bisa jadi yang dikatakannya benar, tapi tidak tertutup pula dusta. Sementara di sisi lain, hakim harus segera memutuskan kasus yang tidak lengkap bukti-buktinya," ujar Ali Boediarto.
Agar memperoleh kebenaran yang hakiki, karena keputusan berdasarkan semata-mata pada bunyi sumpah, maka sumpah itu dikaitkan dengan sumpah pocong. "Artinya, dalam bersumpah ia berhadapan langsung dengan Tuhan, jadi harus mengatakan yang benar. Kalau bohong, konsekuensinya ia akan menerima hukuman langsung dari Tuhan," Ali Boediarto menjelaskan bahwa sumpah pocong dilakukan untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah agar tidak berdusta.
Berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Esa maka sumpahnya pun disebut sumpah mimbar. Artinya, pihak yang dibebani sumpah akan dibawa ke muka mimbar rumah ibadah. "Setelah ditetapkan hari untuk bersumpah, pelaku akan dibawa ke depan mimbar masjid jami di kota, masjid terbesar di kota itu," kenang Ali Boediarto yang pernah menerapkan cara serupa dalam sebuah kasus sengketa tanah.
Setelah bersuci, di muka mimbar masjid si pelaku akan diupacarakan seperti orang meninggal, diiringi doa-doa. Di hadapan seorang kiai dan dikelilingi para saksi yang terdiri atas semua majelis, panitera, pembela, para ulama, ia pun mengucapkan sumpah hasil rumusan hakim yang isinya membenarkan gugatan atau sangkalannya. Usai upacara akan dibuat berita acara menjelaskan segala sesuatu tentang pelaksanaan sumpah.
Segera berita acara yang telah diterima pengadilan diproses untuk menyusun putusan. Dengan pembuktian menggunakan sumpah mimbar maka yang berani mengucapkan sumpah adalah yang menang.
Tidak lebih ringan
Tata cara tersebut ditempuh untuk mencegah orang melakukan sumpah palsu, karena ada orang yang bersedia melanggar demi kemenangan. Meski dalam undang-undang telah dicantumkan, "Barang siapa memberikan keterangan yang tidak benar di muka pengadilan bisa dituntut."
Karenanya, diupayakanlah tata cara yang berhubungan langsung dengan keimanannya pada Tuhan, meskipun sanksinya pun tidak langsung akan diterimanya. Ali Boediarto menceritakan pengalamannya mengenai kasus sengketa tanah 20 tahun sebelumnya di Pengadilan Negeri Malang yang ia putuskan dengan sumpah mimbar. Setahun kemudian Ali mendengar kabar, si pengucap sumpah meninggal dunia.
Tapi karena berita ini tidak diterima resmi - karena memang tidak ada keharusan pelaku melapor ke pengadilan - Ali Boediarto tidak bisa memastikan apa penyebab kematiannya. Mungkin saja beban psikologis yang diterimanya begitu berat, bisa karena sebelumnya ia telah mengidap penyakit kronis.
Namun tidak tertutup kemungkinan, ia meninggal karena termakan sumpahnya. "Sulit dibuktikan, apakah sumpah itu benar-benar mujarab, kata-katanya bertuah," Ali Boediarto mencoba menghitung beberapa kemungkinan penyebabnya sambil mengingatkan kembali akan kemahakuasaan Tuhan.
Prof. Loebby Loqman, S.H., ahli Hukum Perkara Pidana UI, memberikan pandangan yang sedikit berbeda mengenai sumpah yang kental dengan nilai sakral. "Bila sampai bersumpah tidak benar, hukumannya tidak-akan diterima di dunia, tapi di akhirat. Bagi masyarakat beragama hal ini tentu sangat menakutkan, sebisa mungkin dihindari hukuman di akhirat."
Risiko sumpah pocong besar sekali. Tidak semua orang, lebih-lebih kalau orang itu orang yang beriman, mau nekat melakukannya. Kecuali kalau orang itu memang sudah memiliki niat menipu, atau sifat buruk lainnya.
"Paling repot kalau menghadapi seorang psikopat atau sosiopat yang tidak memiliki rasa bersalah bila melanggar sumpah. Norma-norma penderita kepribadian terbelah itu biasanya sudah kacau balau," ujar psikolog Sartono Mukadis yang memberikan contoh bahwa seorang sosiopat tidak akan merasakan beban psikologis bila harus mengucapkan sumpah apa pun.
Karena itu hakim harus berhati-hati sebelum membebankan sumpah mimbar pada salah satu pihak. Harus diteliti benar, apakah orang tersebut dapat dipercaya, bagaimana tingkah laku dan kehidupan sehari-harinya baik di rumah, lingkungan maupun pekerjaan, juga kehidupan beragamanya. (Shinta Teviningnun)