Find Us On Social Media :

Susi Susanti, Didiskriminasi Meski Sudah Harumkan Negara Di Olimpiade

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 1 Agustus 2024 | 12:32 WIB

Susi Susanti menjadi pebulutangkis wanita pertama Indonesia yang menjadi juara di Olimpiade. Meski begitu, dia tetap didiskriminasi oleh negaranya.

Perjalanan Susi sebagai atlet bulu tangkis berakhir pada 1998, setelah ia memutuskan gantung raket. Keputusan itu diambil Susi usai menikah dengan Alan Budi Kusuma pada 1997. Berkat prestasinya di dunia bulu tangkis, pada tahun 2004 Susi diganjar penghargaan BWF Hall of Fame, sebuah penghargaan individu dari Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) kepada sosok pebulutangkis yang berpengaruh di dunia.

Perjuangan Susi untuk bisa menjadi pemain bulu tangkis berprestasi tidak mudah. Butuh banyak perjuangan dan pengorbanan. Sang ayah, Risad Haditono, merupakan sosok yang berpengaruh dalam karier bulutangkis Susi. Lewat sang ayahlah Susi mengenal salah satu olahraga paling populer di Indonesia.

Susi kecil mulai mengasah bakat bulu tangkisnya dengan bergabung di klub PB Tunas Tasikmalaya. Pada 1985 ketika berusia 14 tahun, Susi pindah ke Jakarta untuk bergabung dengan PB Jaya Raya.

Dalam Film Susi Susanti: Love All digambarkan bagaimana beratnya kehidupan Susi ketika harus tinggal di asrama dan jauh dari orangtua. Hari-harinya dihabiskan dengan berlatih bulu tangkis dari pagi hingga malam. Ia pun dituntut hidup secara mandiri di perantauan.

Sebagai atlet, Susi dituntut disiplin dalam berbagai hal. Mulai dari pola makan hingga jam istirahat. Ketika bergabung di PB Jaya Raya susi diharuskan mengonsumsi makanan empat sehat lima sempurna supaya fisiknya prima.

Kerja kerasnya ketika di PB Jaya Raya pun membuahkan hasil yang mengantarkannya masuk ke pemusatan latihan nasional (pelatnas) dan akhirnya mewakili Indonesia di turnamen bergengsi dunia.

Walaupun sering mengharumkan nama Indonesia, Susi sempat mengalami perlakuan diskriminatif, karena latar belakang keluarganya sebagai keturunan Tionghoa. Sebagai informasi, lewat Inpres Nomor 14 Tahun 1967, negara membatasi aktivitas etnis Tionghoa di Indonesia.

Tak hanya itu, Pemerintah Orde Baru juga memberlakukan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) bagi etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Saat itu berlaku aturan bahwa setiap warga keturunan yang berusia 17 tahun diwajibkan untuk memiliki SKBRI.

Dokumen tersebut menjadi krusial bagi masyarakat etnis Tionghoa, sebab SKBRI menjadi syarat wajib untuk mengurus administrasi kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), akta pernikahan, akta kelahiran, serta dokumen lainnya.

Namun, tidak mudah untuk mendapatkan SKBRI. Susi baru mendapatkan SKBRI pada 1996, menjelang pernikahannya dengan Alan. Untuk mendapatkan itu dia harus menunggu hingga delapan tahun. Padahal pada rentang 1988 hingga 1996, Susi telah banyak mewakili Indonesia dan menyabet banyak prestasi yang mengharumkan Indonesia.

“Mama mengajukan pengurusan SBKRI saya itu tahun 1988 dan baru keluar tahun 1996 saat kami mengurus pernikahan. Saat muncul di media massa baru (SKBRI) keluar,” ujar Susi, dikutip dari Harian Kompas edisi 18 April 2004.

Susi bercerita bahwa untuk mengurus SKBRI selain susah, kadang juga harus menggunakan uang. Bahkan menurut saudaranya pernah ada seseorang yang meninggal karena tidak bisa berobat ke luar negeri akibat terkendala SKBRI.

Sementara, obat yang dibutuhkan hanya ada di Singapura dan China. Susi pun heran mengapa dia harus dituntut menunjukkan SKBRI, ketika sudah banyak prestasi yang ia persembahkan untuk Indonesia.

“Bagaimana ya, kami sudah berjuang, tetapi kok kami harus menunjukkan bukti kewarganegaraan. Kakek saya lahir di Indonesia, mama lahir di Indonesia, saya lahir di Indonesia. Kenapa mesti ada perbedaan?” kata Susi.

Meski mengalami diskriminasi, namun hal itu tidak mengurangi kecintaannya pada Indonesia. Sebelum Olimpiade Barcelona 1992 beberapa negara sempat menawari Susi untuk menjadi atlet mereka. Namun tawaran itu ditolak Susi, meskipun dengan iming-iming jaminan kehidupan yang lebih baik.

“Sebelum Olimpiade (1992), tawaran ke luar negeri banyak dengan jaminan yang besar, tetapi saya merasa orang Indonesia, cinta indonesia. Keindonesiaan itu dibeli berapa pun tidak mungkin saya jual. Saya lahir dan hidup di sini, masa saya jual keindonesiaan saya dengan uang,” pungkas perempuan kelahiran 11 Februari 1971 itu. (Majalah Intisari, Harian Kompas, Kompas.com)