Find Us On Social Media :

Susi Susanti, Didiskriminasi Meski Sudah Harumkan Negara Di Olimpiade

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 1 Agustus 2024 | 12:32 WIB

Susi Susanti menjadi pebulutangkis wanita pertama Indonesia yang menjadi juara di Olimpiade. Meski begitu, dia tetap didiskriminasi oleh negaranya.

No pain no gain

Kejayaan tidak datang sendiri. Harus ada pengorbanan untuk bisa menggapai cita-cita yang bersemayam jauh di lubuk hati paling dalam. Ketika hanya memikirkan kenikmatan di kemudian hari tanpa kegigihan dalam proses, semua akan sia-sia belaka. Susi sadar betul arti “no pain no gain”. Karena itu, segala beban harus berani dipikul.

Walau terkadang sangat melelahkan dan bahkan nyaris melahirkan rasa frustrasi, namun dengan tekad dan keyakinan, segala tantangan berhasil dilalui. Alhasil, puncak prestasi seorang atlet menjadi imbalan yang sangat pantas hingga kemudian mundur teratur dari arena pertandingan.

Dapat dibayangkan bagaimana Susi, anak manja yang sangat dekat dengan maminya, Purwo Banowati, harus berpisah. Ketika itu, Susi masih duduk di bangku SMP, usia 14 tahun, terpaksa meninggalkan kota kelahirannya untuk tinggal dan berlatih di klub Jaya Raya, Jakarta.

Anak pendiam dan lebih suka ngendon di rumah menemani mami membuat kue dagangan itu harus mengakhiri semuanya. Ada obsesi dan pengharapan yang terus menggelitik dalam diri Susi untuk menjadi atlet sejati. Sikap manja ditinggalkan dan memulai hidup sendirian di rantau. Rasa rindu dan kesepian ditepis dengan kompensasi latihan lebih banyak melebihi rekan-rekannya di klub.

Dari postur tubuh, sesungguhnya Susi tidak kelihatan atletis. Tinggi hanya 161 cm dan tampak kurus seperti tak bertenaga. Sadar akan kekurangannya, Susi menutupi dengan menguatkan ketahanan endurance dan pola permainan mengandalkan stroke ketimbang smash yang lebih menyerang.

Setiap kali para pemain kelas dunia bertanding menghadapi Susi, mereka sudah merasa jeri duluan. Tampil tenang, tidak emosional dan ingin cepat-cepat mengakhiri pertandingan, menjadi modal utama. Dengan pertahanan kuat dan pengembalian bola secara akurat ia sering memaksa lawan membuat unforced error - melakukan kesalahan sendiri yang menghasilkan poin untuk Susi.

Ketika konsentrasi lawan sudah buyar, di situlah saatnya Susi menyerang secara dingin dan tentu meraih kemenangan. Pengorbanan masa remaja Susi telah membuahkan hasil. Gelar juara di berbagai turnamen internasional direbut. Juara Dunia, juara All England, Olimpiade, dan dua kali mengawinkan Piala Uber dan Piala Thomas tahun 1994 dan 1996 adalah prestasi indah.

Tidak ada yang dirahasiakan. Susi juara karena memiliki disiplin pribadi untuk mewujudkan obsesi yang dibangun sendiri. Menata hidup masa depan. Hingga kapan pun panggung bulu tangkis tidak akan pernah dilupakan Susi dan Alan.

Pasangan ini, walau tidak aktif melatih di Pemusatan Latihan Nasional Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (Pelatnas PBSI), tetap ringan tangan memberi masukan dan pemikiran kepada atlet bila diminta.

Sadar akan potensi dan lahan yang sudah tersedia, Alan dan Susi juga cerdas memanfaatkan kelebihan mereka. Usaha yang dirintis pun tidak jauh dari kegiatan olahraga seperti tempat latihan bulu tangkis dan kegiatan tempat kebugaran secara komersial.

Belakangan, duet sehati ini mendirikan perusahaan ASTEC dengan memanfaatkan popularitas dan kepiawaian keduanya. Nama depan Alan dan Susi digabung menjadi AS, kemudian dilengkapi dengan TEC, singkatan dari Technologi.