Find Us On Social Media :

Heroiknya Aksi Penyelundupan John Lie Selama Agresi Militer I Belanda, Demi Ibu Pertiwi

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 21 Juli 2024 | 12:06 WIB

Nama John Lie barangkali tak setenar nama-nama pahlawan nasional lain selama Agresi Militer Belanda. Tapi jasanya tak bisa dilupakan begitu saja.

"Tentara yang religius", begitu John dipanggil rekan sejawatnya. Lantaran ia selalu merefleksikan segala peristiwa yang dialami (termasuk yang nyaris menyentuh maut) dengan referensi keimanannya.

Jejak itu antara lain terlihat pada ayat-ayat alkitab dalam catatan perjuangan yang ditulisnya sendiri tahun 1980 (dengan judul Kisah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan NKRI) dibukukan tahun 2008. Konon semasa berjuang dua alkitab selalu dibawanya, berbahasa Inggris dan Belanda.

Lahir di Manado, 19 Maret 1911, John Lie Tjeng Tjoan adalah anak kedua dari delapan bersaudara, pasangan Lie Kae Tae dan Maryam Oei Tjeng Nie Nio. Keduanya penganut Buddha. John generasi kelima dari leluhur yang datang dari Fuzhou dan Xiamen melalui jalur perantauan Vietnam, Visayas (Filipina) hingga menetap di Minahasa sekitar tahun 1790.

Usia 17, John nekat merantau. Lebih tepatnya kabur dari rumah karena ia membawa juga uang tagihan toko ayahnya. Ia baru berani pulang setelah setahun merantau di Batavia, tempat John memulai kariernya sebagai pelaut di sebuah kapal niaga Belanda, K.P.M. (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) sebagai Klerk Mualim III pada 1929.

"Dia memang kepingin (jadi pelaut). Setelah naik kapal K.P.M, dia tidak pulang-pulang dan baru pulang lagi tahun 1950," kata Rita Lumunon Tuwasey, keponakan John kepada Intisari.

Tidak mencari pangkat

Saat Jepang menguasai Hindia Belanda pada 1942, sebagai awak kapal Belanda, John harus mengungsi ke Australia, lalu ke Pangkalan AL Inggris di Persia. Pangkalan itu berfungsi memasok kapal-kapal sekutu yang datang dari Australia.

Saat bekerja di pangkalan AL, John mendapat banyak pengetahuan kemiliteran. Antara lain memakai senjata-senjata otomatis, mitraliur, meriam 4 inci, bongkar pasang senjata, pemeliharaan, taktik perang di laut, komunikasi morse, jenis-jenis kapal sekutu, dan ranjau laut.

Tapi John dan awak lain yang berasal dari Indonesia harus pandai-pandai bersikap, agar tidak dicurigai sekutu. Keinginan John dan rekan-rekannya untuk kembali ke Tanah Air begitu menggebu saat mendengar berita tentang Proklamasi Kemerdekaan RI. Ia termotivasi untuk membantu perjuangan dengan membagi pengetahuannya. Ia lalu mencari informasi untuk dapat menjadi anggota Angkatan Laut.

Juni 1946, Kepala Staf Angkatan Laut Republik Indonesia, Laksamana Pardi, menerimanya. "Beliau menanyakan kepada saya: 'John Lie maunya pangkat apa, karena pengalamannya banyak?' Saya jawab, 'Saya datang bukan untuk cari pangkat, saya datang ke sini mau berjuang di Medan Laut'," tulis John yang kemudian diberi pangkat Kelasi III.

Itu bukan pangkat tinggi, tapi banyak perwira yang justru belajar kepadanya.

Awalnya, tugas John berkaitan dengan kemampuan yang dimilikinya yakni membersihkan ranjau laut di sekitar Pelabuhan Cilacap. Ia juga sempat membuat aturan dan sistem dasar kapal-kapal niaga yang bongkar muat di pelabuhan itu.