Tak Hanya Agresi Militer I Dan II, Benarkah Belanda Juga Hampir Melakukan Aksi Militer Ketiga?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Tak hanya Agresi Militer I dan II, Belanda juga disebut merencakan melakukan Agresi Militer III. Dicegah oleh salah satu petinggi militer Belanda.
Tak hanya Agresi Militer I dan II, Belanda juga disebut merencakan melakukan Agresi Militer III. Dicegah oleh salah satu petinggi militer Belanda.

[ARSIP]

Tak hanya Agresi Militer I dan II, Belanda juga disebut merencakan melakukan Agresi Militer III. Dicegah oleh salah satu petinggi militer Belanda.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -21 Juli 77 tahun yang lalu (21 Juli 1947), Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.J van mook mengumumkan telah dimulainya "Operatioe Product", aksi polisionil Belanda dalam bentuk operasi militer di Jawa dan Sumatera terhadap Indonesia.

Aksi itu kelak lebih dikenal sebagai Agresi Militer I. Setahun kemudian, Belanda juga melakukan aksi serupa yang dikenal sebagai Agresi Militer II yang dimulai pada 19 Desember 1948 hingga 5 Januari 1949.

Tapi benarkah Belanda juga akan melakukan aksi ketiga?

Yuk kita basa arsip Majalah Intisari edisi Desember 1983 dengan judul "Belanda Hampir Melakukan Aksi Militer Ketiga" yang ditulis oleh Machfudi Mangkudilaga.

----Aksi militer kedua dilakukan tepat bulan ini tiga puluh lima tahun y.l. (artikel ini terbit pada Desember 1983, red). Namun ternyata Belanda sebetulnya ingin melakukan aksi ketiga. Kepastian dari Belanda diperoleh dari memoar Dr. J.G. de Beus, sedangkan dalam memoarnya Jenderal Nasution ternyata juga mempunyai firasat yang sama.

Desember tiga puluh lima tahun yang lalu atau tepatnya pada tanggal 19 Desember 1948, pasukan payung Belanda terjun di Lapangan Maguwo (sekarang Bandara Adi Sucipto), Yogyakarta dan penerjunan ini merupakan awal dari suatu serangan militer yang dilancarkan Belanda terhadap Republik Indonesia, yang sekarang kita kenal sebagai serangan/agresi militer Belanda yang kedua, karena pada bulan Juli 1947 Belanda mengadakan serangan yang pertama.

Serangan yang kedua ini sudah banyak ditulis oleh para penulis Indonesia maupun asing, seperti misalnya Jenderal Nasution, Simatupang atau Kahin. Saya tidak akan mengulangi apa yang telah mereka tulis, tetapi ingin menunjukkan bahwa dalam kalangan tentara Belanda pernah ada pikiran untuk mengadakan suatu serangan militer yang ketiga.

Setelah Belanda mengadakan serangan militer kedua, perlawanan secara gerilya timbul dari Tentara Nasional Indonesia. Hal itu mungkin telah diduga Belanda, tetapi kurang diperhitungkan konsekuensinya secara matang.

Dugaan Belanda, dengan direbutnya ibu kota Yogyakarta dan ditawannya pimpinan politik Republik Indonesia, dengan sendiri-nya tentara kita hancur. Selain itu dunia internasional juga menentang pihak Belanda.

Di India segera diadakan Konferensi Bangsa-Bangsa Asia yang mengecam tingkah laku Belanda. Dewan Keamanan PBB juga mencela sikap Belanda dan mengimbau kedua belah pihak untuk mengadakan gencatan senjata.

Hasilnya telah kita ketahui secara umum. Karena gerilya Tentara Nasional Indonesia di satu pihak dan tekanan internasional di lain pihak, akhirnya Belanda terpaksa mencari penyelesaian politis dalam sengketanya melawan Indonesia.

Kita kemudian mengenal Perjanjian van Royen — Roem, yang kemudian mengakibatkan kembalinya pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta (sekarang Daerah Istimewa Yogyakarta), yang disusul dengan diadakannya suatu gencatan senjata yang mulai berlaku tanggal 10 Agustus 1949.

Rupanya pimpinan tentara Belanda kurang puas dengan pelaksanaan gencatan senjata itu dan melaporkan pada pemerintahnya bahwa pihak Indonesia sering "melanggar" gencatan senjata itu, sehingga dalam suatu rapat komandan-komandan militer Belanda yang diadakan Wakil Tinggi Makota Belanda Lovink, para komandan militer Belanda mendesak dan merasa perlu untuk melakukan suatu serangan militer yang ketiga. Hal ini dapat kita baca dalam buku karangan Dr. J.G. de Beus, Morgen, bij het aanbreken van de dag (Besok, di kala fajar menyingsing) yang juga merupakan suatu memoar.

Siapakah Dr. de Beus?

Dari keterangan yang didapat di bukunya, Dr. de Beus adalah seorang diplomat Belanda yang pada tahun 1939, ketika Perang Dunia II meletus dengan serangan Hitler kepada Polandia, ditempatkan di Kedutaan Belanda di Berlin.

Ketika Jerman menyerang Belanda bulan Mei 1940, sesuai dengan kebiasaan internasional, dia diberangkatkan dengan diplomat Belanda lainnya ke Swis; untuk kemudian bergabung dengan pemerintah dalam pengasingan Belanda di London.

Pada tahun 1948, ketika Belanda mengadakan serangan militernya yang kedua terhadap Republik Indonesia, dia adalah anggota staf perwakilan Belanda di PBB, di bawah Duta Besar van Royen, sehingga beliau mengikuti perdebatan-perdebatan dalam Dewan Keamanan PBB, ketika membahas peperangan antara Belanda dengan Indonesia.

Ketika kemudian van Royen ditunjuk untuk memimpin delegasi Belanda dalam perundingan menghadapi Republik Indonesia, maka Dr. de Beus menjadi anggota delegasi Belanda sambil merangkap menjadi Kepala Cabang Departemen Luar Negeri Belanda di Jakarta pada waktu itu.

Dengan demikian ia mengikuti perundingan-perundingan van Royen-Roem hingga pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda sebagai akibat KMB. Dalam bukunya itulah Dr. de Beus mengemukakan fakta bahwa dalam rapat pimpinan militer.

Belanda, tokoh-tokoh militer Belanda pada waktu itu mendesak dilakukannya aksi militer ketiga, namun berkat wibawa Lovink hal itu dapat dihindarkan, yaitu dengan mengajukan alasan bahwa suatu serangan militer baru secara internasional tidaklah menguntungkan, bahkan sangat merugikan pihak Belanda.

Juga harus diperhitungkan bahwa Amerika akan menekan terus pihak Belanda, sehingga usul serangan militer baru itu tidaklah diterima.

Apakah pihak Indonesia menduga juga bahwa Belanda akan menyerang lagi? Hal ini dapat kita baca dalam autobiografi Jenderal Nasution yang baru terbit, Memenuhi Panggilan Tugas jilid 2, yang mencakup kenangan masa gerilya, yaitu pada halaman 195:

Bahwa pihak Indonesia tetap dalam keadaan siap siaga, walaupun telah diadakan gencatan senjata. Malahan di halaman itu tertulis, "Instruksi saya tetap mengutamakan persiapan menghadapi kemungkinan agresi militer Belanda yang ketiga".

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pihak kita pun telah "mencium bau" rencana serangan militer Belanda itu.

Demikian beberapa catatan mengenai suatu hal yang mungkin belum banyak diketahui orang, yaitu rencana pihak militer Belanda pada tahun 1949 untuk mengadakan suatu serangan militer yang ketiga terhadap Republik Indonesia.

Artikel Terkait