Heroiknya Aksi Penyelundupan John Lie Selama Agresi Militer I Belanda, Demi Ibu Pertiwi

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Nama John Lie barangkali tak setenar nama-nama pahlawan nasional lain selama Agresi Militer Belanda. Tapi jasanya tak bisa dilupakan begitu saja.

[ARSIP]

Di sekitar perjuangan fisik Agresi Militer I, nama John Lie tidak terlalu terdengar. Bukan lantaran ia kebetulan peranakan Tionghoa--yang kerap "terpinggirkan" perannya--tapi juga seorang pejuang pelaut yang sepi dari popularitas. Kesetiaannya kepada negara tak perlu diragukan, meski sering menghadapi ujian.

Penulis: Tjahjo Widyasmoro

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Suatu hari di bulan Oktober 1947, "Kami dengan kapal The Outlaw membawa senjata-senjata otomatis dan kurang lebih 1.000 pound peluru dari Pulau Pisang (Johor Bahru). Namun di delta Labuan Bilik Sumatra Utara, tiba-tiba muncul pesawat terbang patroli Angkatan Udara Belanda dan memerintahkan kapal berhenti," tulis John Lie dalam catatan pribadinya.

John dan awak kapal mengatur strategi dengan memberhentikan kapal. "Kami menjawab dengan morse bahwa kapal kami kandas dan tidak dapat bergerak."

Beberapa kali pesawat itu berputar di atas The Outlaw. Jaraknya begitu dekat, sekitar 50 m. Jadi tampak betul pilot serta dua orang penembak yang mengarahkan senjata jenis oerlikon ke para awak kapal. Namun ajaibnya, sampai beberapa saat, tak satu pun peluru dilepaskan.

Pesawat malah kemudian terlihat seperti kehabisan bahan bakar dan terbang kembali ke pangkalannya di Medan. Setelah situasi dianggap aman, The Outlaw meneruskan perjalanan dan pada pukul 10.00 masuk ke pelabuhan Labuan Bilik. Misi berhasil. Muatan kapal diterima Usman Effendi dan Komandan Batalion Abusamah, untuk selanjutnya dipakai oleh tentara Indonesia.

Dua alkitab, Inggris dan Belanda

Kisah menegangkan yang berujung pada "keberuntungan" saat berhadapan dengan situasi genting seperti itu, bukanlah satu-satunya yang dialami John Lie. Bersama The Outlaw, kapal jenis speedboat berukuran sekitar 60 ton, pengalaman menari dengan maut harus dihadapi berkali-kali. Bahwa kemudian ia selalu selamat, sebagai penganut Kristen Protestan yang taat; John menyebutnya sebagai berkat kemurahan Tuhan Allah dalam Yesus Kristus.

"Tentara yang religius", begitu John dipanggil rekan sejawatnya. Lantaran ia selalu merefleksikan segala peristiwa yang dialami (termasuk yang nyaris menyentuh maut) dengan referensi keimanannya.

Jejak itu antara lain terlihat pada ayat-ayat alkitab dalam catatan perjuangan yang ditulisnya sendiri tahun 1980 (dengan judul Kisah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan NKRI) dibukukan tahun 2008. Konon semasa berjuang dua alkitab selalu dibawanya, berbahasa Inggris dan Belanda.

Lahir di Manado, 19 Maret 1911, John Lie Tjeng Tjoan adalah anak kedua dari delapan bersaudara, pasangan Lie Kae Tae dan Maryam Oei Tjeng Nie Nio. Keduanya penganut Buddha. John generasi kelima dari leluhur yang datang dari Fuzhou dan Xiamen melalui jalur perantauan Vietnam, Visayas (Filipina) hingga menetap di Minahasa sekitar tahun 1790.

Usia 17, John nekat merantau. Lebih tepatnya kabur dari rumah karena ia membawa juga uang tagihan toko ayahnya. Ia baru berani pulang setelah setahun merantau di Batavia, tempat John memulai kariernya sebagai pelaut di sebuah kapal niaga Belanda, K.P.M. (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) sebagai Klerk Mualim III pada 1929.

"Dia memang kepingin (jadi pelaut). Setelah naik kapal K.P.M, dia tidak pulang-pulang dan baru pulang lagi tahun 1950," kata Rita Lumunon Tuwasey, keponakan John kepada Intisari.

Tidak mencari pangkat

Saat Jepang menguasai Hindia Belanda pada 1942, sebagai awak kapal Belanda, John harus mengungsi ke Australia, lalu ke Pangkalan AL Inggris di Persia. Pangkalan itu berfungsi memasok kapal-kapal sekutu yang datang dari Australia.

Saat bekerja di pangkalan AL, John mendapat banyak pengetahuan kemiliteran. Antara lain memakai senjata-senjata otomatis, mitraliur, meriam 4 inci, bongkar pasang senjata, pemeliharaan, taktik perang di laut, komunikasi morse, jenis-jenis kapal sekutu, dan ranjau laut.

Tapi John dan awak lain yang berasal dari Indonesia harus pandai-pandai bersikap, agar tidak dicurigai sekutu. Keinginan John dan rekan-rekannya untuk kembali ke Tanah Air begitu menggebu saat mendengar berita tentang Proklamasi Kemerdekaan RI. Ia termotivasi untuk membantu perjuangan dengan membagi pengetahuannya. Ia lalu mencari informasi untuk dapat menjadi anggota Angkatan Laut.

Juni 1946, Kepala Staf Angkatan Laut Republik Indonesia, Laksamana Pardi, menerimanya. "Beliau menanyakan kepada saya: 'John Lie maunya pangkat apa, karena pengalamannya banyak?' Saya jawab, 'Saya datang bukan untuk cari pangkat, saya datang ke sini mau berjuang di Medan Laut'," tulis John yang kemudian diberi pangkat Kelasi III.

Itu bukan pangkat tinggi, tapi banyak perwira yang justru belajar kepadanya.

Awalnya, tugas John berkaitan dengan kemampuan yang dimilikinya yakni membersihkan ranjau laut di sekitar Pelabuhan Cilacap. Ia juga sempat membuat aturan dan sistem dasar kapal-kapal niaga yang bongkar muat di pelabuhan itu.

Namun suatu kali, saat turun tangan menangani Empire Tenby, sebuah kapal dagang yang kandas, John malah terbawa sampai ke Singapura. Belakangan barulah ia tahu, komunikasi kapalnya dengan darat sudah terputus oleh Agresi Militer Belanda 21 Juli 1947.

Di Singapura John malah mendapat tugas baru. Kepala Urusan Pertahanan di Luar RI di Singapura membeli 15 kapal speedboat, yang dikanibalisasi menjadi tujuh kapal. Kapal-kapal itu diniatkan untuk mengangkut peralatan militer peninggalan Jepang yang dibeli di Malaysia dengan hasil bumi Indonesia. Dengan 22 anak buah kapal, John membawa kapal PPB 58 LB yang dijulukinya "The Outlaw".

Nilai barter senjata dan hasil bumi sangat bervariasi. Satu ton karet senilai sepucuk pistol atau 30 peluru. Dua ton karet senilai satu senjata laras panjang. Enam ton teh senilai satu senjata anti-pesawat + 1.000 peluru atau dua karabiner +1.000 peluru. Bisa juga dibayar pakai dollar, satu tommy-gun harganya AS$1.500, granat tangan AS $ 40. Jaringan penyelundupan ini meliputi Manila, Penang, Bangkok, Rangoon, New Delhi, dan Singapura.

Tugas berat John adalah menembus ketatnya blokade Belanda di seputar Selat Malaka dengan perahu sarat hasil "belanjaan". Aksi kucing-kucingan harus dilakoni dengan berbagai manuver. Saratnya muatan membuat gerak kapal sangat terbatas.

Hujan peluru harus dihadapi tanpa bisa membalas karena memang tak ada senjata. Di antara alkitab dan bazooka yang ditaruh berdampingan, John tetap bersaksi: "Ini bukan bisnis yang mengerikan. Ini kehendak Tuhan."

Kelicinan The Outlaw menghadapi patroli Belanda akhirnya menjadi berita internasional. BBC dan beberapa surat kabar internasional pernah mengutip cerita John. Majalah Life, 26 Oktober 1949, bahkan secara khusus menulis artikel dengan foto-foto eksklusif berjudul “Guns and Bibels are Smuggled to Indonesia”. Dengan alkitab di tangannya, John berpose gagah.

Publikasi media internasional itu membuat L.N. Palar yang menjadi Duta Besar Perwakilan Tetap RI di PBB mampu membuktikan bahwa Indonesia mempunyai kekuatan dan pertahanan di laut. Sementara Belanda yang ngotot ingin berkuasa di Indonesia, semakin kehilangan muka di forum internasional.

Menolak tembakan di hari Minggu

Kesetiaan John terhadap tugas negara mendapat ujian, semasa Indonesia baru saja lepas dari penjajahan Belanda, tahun '50-an. Dua tugas operasi militer harus ditanganinya, yakni pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) dan Perhimpunan Semesta (Permesta) di Manado, kampung halamannya sendiri.

Saat di Ambon John "terpaksa" menolak perintah Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel A.H. Nasution. Ceritanya suatu Minggu pagi, Ambon terlihat sepi, seperti tak ada manusia. Untuk melihat reaksi para pemberontak, Nasution memerintahkan kapal untuk menembakkan meriam. Tapi John menolak tegas. "Jangan. Ini hari Minggu, mereka tentu sedang di gereja."

Di medan perang, penolakan itu bisa diartikan pembangkangan perintah yang fatal akibatnya. Nasution sendiri kaget, tapi kemudian dapat memahami pribadi John yang disebut sebagai sahabatnya. "Saya hormati agama kamu."

Begitupun saat menangani Permesta, 1958, di kampung halamannya sendiri. Letkol. John Lie yang menangani pendaratan pasukan di Kema dan Manado, tegas berprinsip tugasnya semata menegakkan Proklamasi Kemerdekaan. Namun belakangan kegalauan John terungkap juga lewat pengakuan kepada Gerdy Kapoyos, sahabatnya.

Menurut Gerdy, saat itu John melakukan tembakan pengalih perhatian ke Manado, agar pasukan bisa mendarat di Kema. Tapi akibatnya jatuh korban yang sangat disesalinya. Kabarnya John harus bersekolah di India setahun untuk menghindari kemarahan masyarakat Manado di Jakarta.

Kemauan melampaui dirinya

Lebih dua puluh tahun sejak kematiannya (27 Agustus 1988) karena stroke, nama John Lie muncul kembali. Ada wacana untuk menjadikan pelaut berpangkat terakhir Laksamana Muda itu sebagai pahlawan nasional, bersamaan peluncuran buku biografinya Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi, awal Februari 2009.

Andaikan itu terwujud, John adalah peranakan Tionghoa pertama yang bergelar pahlawan nasional. "Seorang pahlawan pasti punya kemauan yang melampaui dirinya dan dia bertekad untuk mewujudkannya. Untuk itu mereka punya keberanian, kejujuran, dan ketabahan," Anhar Gonggong, sejarawan, memberi batasan tentang nilai kepahlawanan.

Anhar kagum pada ketenangan John menghadapi bahaya. Sikap itu menjadi bukti dari kemauan dan tekadnya.

Dr. Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, menghormati John karena menurutnya, "Menjadi bagian Indonesia peranakan tidaklah mudah. Tapi seratus tahun lalu, kebhinekaan Indonesia diterima. Menjadi Indonesia tidak perlu asimilasi, tapi integrasi."

Setelah pensiun, kepatuhan John tak berubah. Namanya diubah menjadi Jahja Daniel Dharma sesuai aturan tentang asimilasi peranakan Cina oleh rezim Orde Baru. John tidak menganggap ini persoalan besar. Karena pemerintah mewakili Tuhan, dan atas kehendak-Nya ia berganti nama.

Artikel Terkait