Find Us On Social Media :

Sedikit Tentang Aidit Sebelum Politik, Khatam Alquran Dan Biasa Azan

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 19 Juli 2024 | 16:38 WIB

DN Aidit, lahir dengan nama Achmad Aidit, punya alasan sendiri mengubah namanya menjadi Dipa Nusantara. Tak ingin melibatkan keluarganya dalam dinamika politik saat itu.

"Waktu itu saya menjadi redaktur edisi Minggu dari Harian Rakjat, yang antara lain mengurusi bagian sastra. Aidit mengirimkan sekitar lima atau enam sajak, yang tidak saya muat. Pada Sabtu malam, sebelum naik cetak, Aidit menelepon saya di kantor. 'Sajak-sajak saya dimuat 'kan?' Aidit bertanya. 'Tidak, Bung,' jawab saya. 'Kenapa tidak?' Aidit bertanya lagi. Karena masa itu suara percakapan di telepon belum sejernih sekarang, saya katakan kepadanya, 'Kalau kita bisa bertemu, akan saya jelaskan alasannya.' Setelah itu telepon dibanting."

Nah, apakah terbaca sesuatu tentang karakter Aidit dari peristiwa ini?

Amarzan berkisah, setelah menutup telepon ia kembali bekerja. Ternyata telepon berdering lagi. Kali ini terdengar suara Njoto. Tentu ia telah dikontak Aidit.

Maka Amarzan menegaskan kepada Njoto, bahwa sajak-sajak Aidit itu, jika dibaca publik, bukan hanya akan merendahkan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), tetapi juga merendahkan puisi itu sendiri. Kata Njoto, "Jika memang begitu, Bung akan saya dukung." Namun sejak itu, kisah Amarzan, "Aidit kalau melihat saya lantas buang muka."

Bahwa Aidit, seorang pemimpin partai, menulis sajak, memang tradisi yang tampaknya berlaku bagi pemimpin-pemimpin partai komunis. Mao Zedong menulis sajak. Demikian pula Leonid Brezhnev. Sastra pun selalu mendapat perhatian besar dalam sudut pandang ideologi komunisme.

Dalam naskah pidatonya yang beredar kembali belakangan ini, Seni dan Sastra, berulang-ulang ditekankan betapa sastra harus mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bukan kepentingan masyarakat feodal. Jelas yang diserangnya adalah seni "adiluhung" yang canggih, dan perlu "kapital budaya" tertentu untuk dapat sekadar menikmatinya.

Namun, benarkah menulis sajak untuk rakyat, lantas tidak memerlukan bakat? "Meskipun sajak-sajak Lekra adalah sajak poster, seperti yang ditulis Aidit itu, tetapi penyair seperti Agam Wispi atau Bandaharo berhasil menuliskannya secara lain," kata Amarzan. Agaknya, bukan semangat kerakyatan, melainkan bakatlah masalah Aidit, karena dalam hal semangat, Amarzan punya cerita lain.

Ketika Aidit jadi menteri, dan mendapat fasilitas mobil, pengawal, dan Iain-lain, datanglah putri pertamanya, Iba, dari Moskwa, yang masih berusia belasan tahun. Disebutkan bahwa putrinya yang lebih banyak tinggal di luar negeri itu ingin jalan-jalan keliling Jakarta menggunakan mobil tersebut.

Namun Aidit kemudian berkata kepada putrinya, "Kamu mau menggunakan mobil yang dibiayai oleh negara dari uang rakyat ini untuk keliling Jakarta? Kamu boleh keliling Jakarta dan kuberi pengawal pribadi, tapi naik bus."

"Mereka pun naik bus PPD," kenang Amarzan, "Itu saya tahu. Besoknya, ketika Iba ingin pergi ke Gedung Pemuda di Menteng untuk bertemu dengan teman-temannya, fasilitas yang diberikan ayahnya hanyalah sepeda."

Dipa dan Nusantara