Ketua PKI DN Aidit disebut sebagai antagonis utama dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dia dianggap serupa iblis.
Intisari-Online.com -Peristiwa Gerakan 30 September 1965 benar-benar menghancurkan nama Ketua PKI DN Aidit.
Pria kelahiran Bangka-Belitung itu disebut sebagai aktor utama peristiwa berdarah yang membantai perwira-perwira tinggi Angkata Darat itu.
Belakangan, nama Aidit serupa iblis yang terkesan sangat jahat.
Intisari pernah menulis soal bagaimana nama DN Aidit didemonisasi sedemikian rupa hingga tak ada bagus-bagusnya.
---
Pembunuhan karakter adalah salah satu manuver dalam dunia politik.
Dalam pembunuhan karakter terdapat metode yang disebut demonisasi alias pengiblisan.
Jadi, siapa pun orangnya yang terlibat, apalagi dengan sadar menempuh karier, dalam dunia politik praktis maupun berpolitik di dunia non-partai, di samping berpeluang menerima kemuliaan, tidak kurang-kurangnya mesti siap mengalami pengiblisan, selama masih hidup maupun sesudah mati.
Seperti Soekarno maupun Soeharto, Aidit adalah juga sebuah nama yang dalam gelombang sejarah sempat terlambung sebelum terempas sampai tiba saat sejarah mengadilkannya, dengan kaidah ilmu sejarah.
Telepon dan sepeda
Pada masa Orde Baru, setiap bulan September, tepatnya tanggal 30, diputar film Pengkhianatan G30S sebagai bagian dari proyek politik semacam itu.
Setelah Reformasi 1998, film itu menghilang dari media televisi, dan informasi baru tentang masa lalu yang pahit tersebut muncul di mana-mana, termasuk tentang sosok Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia yang naik ke panggung politik dalam usia yang masih sangat muda.
Kepada Intisari, Amarzan Loebis yang pernah menjadi redaktur Harian Rakjat dan mengenal Aidit berkisah, bahwa kesuksesan sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia maupun sebagai menteri sejak umur 30-an, telah membentuk sikap dan kepribadiannya pula.
”Aidit adalah sosok, yang ketika pertama kali melihatnya, kita tidak ingin menjadi dekat,” katanya.
Disebutkan bahwa tuntutan atas kewibawaan sebagai pemimpin partai komunis yang tergolong besar, dibandingkan dengan partai-partai komunis lain di dunia, telah membuat Aidit seperti merasa harus menjaga jarak, dengan siapa pun, ”Ini tidak terjadi dengan pemimpin PKI lain seperti Njoto.”
Dalam pergaulan sehari-hari, katanya lagi, Aidit selalu memperlihatkan sikap bahwa dirinya harus didengar, harus dituruti, dan harus dipercaya.
Amarzan yang menginjak Jakarta tahun 1963 dari Medan, memenangkan sebuah lomba puisi dalam rangka peringatan Karl Marx, dua tahun kemudian pada usia 24, ”Hadiahnya diserahkan sendiri oleh Aidit.”
Sejak itu, karena Amarzan menjadi redaktur Harian Rakjat, mereka saling mengenal, sehingga Amarzan mempunyai catatan tertentu tentang Aidit, seperti cerita berikut ini.
”Waktu itu saya menjadi redaktur edisi Minggu dari Harian Rakjat, yang antara lain mengurusi bagian sastra. Aidit mengirimkan sekitar lima atau enam sajak, yang tidak saya muat. Pada Sabtu malam, sebelum naik cetak, Aidit menelepon saya di kantor. ’Sajak-sajak saya dimuat ’kan?’ Aidit bertanya. ’Tidak, Bung,’ jawab saya. ’Kenapa tidak?’ Aidit bertanya lagi. Karena masa itu suara percakapan di telepon belum sejernih sekarang, saya katakan kepadanya, ‘Kalau kita bisa bertemu, akan saya jelaskan alasannya. Setelah itu telepon dibanting.”
Nah, apakah terbaca sesuatu tentang karakter Aidit dari peristiwa ini?
Amarzan berkisah, setelah menutup telepon ia kembali bekerja.
Ternyata telepon berdering lagi. Kali ini terdengar suara Njoto. Tentu ia telah dikontak Aidit.
Maka Amarzan menegaskan kepada Njoto, bahwa sajak-sajak Aidit itu, jika dibaca publik, bukan hanya akan merendahkan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), tetapi juga merendahkan puisi itu sendiri.
Kata Njoto, ”Jika memang begitu, Bung akan saya dukung.” Namun sejak itu, kisah Amarzan, ”Aidit kalau melihat saya lantas buang muka.”
Bahwa Aidit, seorang pemimpin partai, menulis sajak, memang tradisi yang tampaknya berlaku bagi pemimpin-pemimpin partai komunis.
Mao Zedong menulis sajak. Demikian pula Leonid Brezhnev. Sastra pun selalu mendapat perhatian besar dalam sudut pandang ideologi komunisme.
Dalam naskah pidatonya yang beredar kembali belakangan ini, Seni dan Sastra, berulang-ulang ditekankan betapa sastra harus mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bukan kepentingan masyarakat feodal.
Jelas yang diserangnya adalah seni ”adiluhung” yang canggih, dan perlu ”kapital budaya” tertentu untuk Namun, benarkah menulis sajak untuk rakyat, lantas tidak memerlukan bakat?
”Meskipun sajak-sajak Lekra adalah sajak poster, seperti yang ditulis Aidit itu, tetapi penyair seperti Agam Wispi atau Bandaharo berhasil menuliskannya secara lain,” kata Amarzan. Agaknya, bukan semangat kerakyatan, melainkan bakatlah masalah Aidit, karena dalam hal semangat, Amarzan punya cerita lain.
Ketika Aidit jadi menteri, dan mendapat fasilitas mobil, pengawal, dan lain-lain, datanglah putri pertamanya, Iba, dari Moskwa, yang masih berusia belasan tahun.
Disebutkan bahwa putrinya yang lebih banyak tinggal di luar negeri itu ingin jalan-jalan keliling Jakarta menggunakan mobil tersebut.
Namun Aidit kemudian berkata kepada putrinya, ”Kamu mau menggunakan mobil yang dibiayai oleh negara dari uang rakyat ini untuk keliling Jakarta? Kamu boleh keliling Jakarta dan kuberi pengawal pribadi, tapi naik bus.”
”Mereka pun naik bus PPD,” kenang Amarzan, ”Itu saya tahu. Besoknya, ketika Iba ingin pergi ke Gedung Pemuda di Menteng untuk bertemu dengan teman-temannya, fasilitas yang diberikan ayahnya hanyalah sepeda.”
Dipa dan Nusantara
Dua saudara Aidit, Sobron dan Murad, masing-masing menulis buku tentang Aidit, dan beredar bebas setelah reformasi.
Sobron menulis Aidit: Abang, Sahabat dan Guru di Masa Pergolakan (2003), sedangkan Murad menulis Aidit Sang Legenda (2005).
Dari cerita Sobron, kita dapat mengetahui bahwa revolusi pertama Aidit adalah mengganti namanya sendiri, dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit.
Dalam buku Sobron, disebutkan bahwa pada usia 17 tahun, Aidit meminta kepada ayahnya agar diizinkan mengganti nama, ”Dan ayah setuju, lalu disahkan di Notaris di Batavia ketika itu.”
Namun dalam buku Murad, kisahnya lebih panjang:
”Di zaman pendudukan Jepang, hubungan antara kami di Jakarta dengan keluarga di Belitung putus sama sekali. Kiriman Ayah untuk membayar kos pun tak dapat diharapkan lagi. Pada waktu itu Bang Amat atau Achmad Aidit sudah mengganti namanya menjadi Dipo (sic!) Nusantara Aidit. Penggantian nama pada masa itu tidak dapat dilakukan sesederhana sekarang. Jika ketahuan seseorang telah mengganti namanya dianggap sebagai tindak kejahatan berisiko berat.
”Sebelum Jepang datang, surat-menyurat antara Ayah dengan Bang Amat perihal perubahan nama ini cukup ramai. Masalahnya nama Bang Amat tercatat dalam daftar gaji Ayah sebagai Achmad. Apabila ke tahuan tak ada lagi yang bernama Achmad maka ini akan ditindak sebagai kejahatan yang cukup merepotkan.
”Akhirnya diputuskan nama Dipo Nusantara Aidit atau D.N. Aidit itu baru digunakan jika telah memperoleh pengesahan dari Burgerlijke Stand (Catatan Sipil). Bang Amat sudah merasakan bahwa lapangan politik yang dipilihnya mengandung risiko tinggi, baik bagi dirinya maupun keluarga. Itu sebab dia bersikeras mengubah namanya dari Achmad menjadi D.N. Aidit, untuk sedikit melindungi keluarga.”
Lantas, mengapa Dipa dan mengapa Nusantara? Dalam kajian ”Aidit dan Partai Pada Tahun 1950”, yang terlampir dalam buku Sobron, Jacques Leclerc mengungkap hasil penelitiannya:
”Di Tanjung Pandan, Achmad bersekolah HIS (Hollands Inlandsche School). Kemudian, antara tahun 1936-38, atas permintaannya sendiri kepada ayahnya, dia diantar pamannya ke Jakarta. Di Jakarta, sesudah tamat HIS, dia belajar di Sekolah Dagang Menengah (Handels School). Di sinilah dia terjun dalam pergerakan pemuda hingga memperoleh kesempatan berhubungan dengan Barisan Pemuda Gerindo yang dipimpin Wikana, Ismail Widjaja, A.M. Hanafi dan lain-lain, dan dengan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia yang diketuai Chaerul Saleh. Waktu itu, dia meminta ayahnya untuk menyetujui pengubahan namanya menjadi Dipa Nusantara, dengan tetap mencantumkan nama ayahnya.
”Permintaan itu dikabulkan. Nama Dipa Nusantara itu untuk menghormati perjuangan pahlawan Diponegoro dan agar memberi inspirasi kepada Aidit dalam usahanya membebaskan Negara Nusantara. Cara mengubah nama atau memilih gelar yang mengandung arti politik sudah agak biasa di kalangan pemuda nasionalis (misalnya A.M. Hanafi diberi gelar Anak Marhaen).”
Jadi, penggantian nama sudah biasa bagi para aktivis revolusioner, tetapi justru karena itu keseriusan Aidit meminta izin ayahnya sama sekali tidak biasa.
Artinya luar biasa, karena menunjukkan perilaku santun, yang tidak terbayangkan jika segenap demonisasi terhadap Aidit wajib dipercaya.
Bagaimana sebenarnya pribadi Aidit itu?
Khatam dan ikan
Sobron memang menyebut kakaknya Bang Amat, seperti enam adik lain – dari dua ibu – menyebutnya.
Nama Aidit datang dari ayahnya, Abdullah Aidit, seorang aktivis Masyumi.
”Orangtua saya tinggal selalu di pinggir hutan, sebab kerjanya sebagai mantri-hutan, atau mantri-kayu. Sebenarnya dengan ukuran sekarang tidak jauh, 7 km jaraknya dari Tanjung Pandan. Nama desanya Air Raya,” tulis Sobron.
Toh, dulu jarak seperti itu terasa jauh, mungkin karena semua orang berjalan kaki.
Maka Amat muda pun tinggal di rumah pamannya, Busu Rachman, yang ternyata guru mengaji, ”Kami seluruh bersaudara tamat mengaji, khatam. Termasuk Bang Amat.”
Sobron berkisah panjang lebar, bahwa di Belitung waktu itu, pada saat anak siapa pun tamat membaca al-Quran, akan diperlakukan seperti raja dalam suatu perayaan tradisional yang meriah. Termasuk ketika Amat muda itu juga khatam al-Quran.
Dalam kenangan Murad, ”Bang Amat sering diminta untuk mengumandangkan azan, karena suaranya dianggap keras dan lafadsnya jelas.”
Tentang sosok Aidit, Sobron berkisah, ”Bang Amat itu perawakannya boleh dikatakan agak pendek. Di antara kami seluruh bersaudara, Bang Amatlah yang badannya terpendek. Tetapi buat ukuran kebanyakan, dia sama sekali tidak pendek.” Sobron menegaskan, bahwa meskipun Aidit tidak tinggi, ”Badannya tampak jauh lebih kekar daripada kami semua. Tegap dan gempal.”
Pantaslah, karena ternyata Aidit menjadi seorang petinju!
Pelatihnya adalah seorang guru latihan jasmani sekaligus guru beladiri bernama Zonder, karena menjadi guru tanpa guru.
Untunglah, menurut Sobron, dengan berat hanya 53 kilogram Aidit tidak menjadi petinju profesional.
Namun dari pilihan olahraganya tersebut, jelaslah bagaimana Aidit dalam dunia politik akan menjadi petarung yang bernyali.
Sementara itu Murad bercerita, memang benar bahwa Aidit selain suka berolahraga, juga suka bertualang di tengah alam.
Diceritakannya bahwa di puncak Gunung Tajam yang hanya satu-satunya di Belitung, terdapat kolam tempat Aidit biasa berolahraga salto, yakni melakukan loncat indah ke dalam kolam itu.
”Bang Amat dapat melakukan salto dan kontra-salto, yakni memutar badan sambil berdiri ke depan dan ke belakang. Hal ini tidak mudah dilakukan setiap orang. Diperlukan latihan cukup keras untuk dapat melakukannya. Bang Amat jagonya. Kita akan tercengang dibuatnya ketika ia mulai melakukan liukan salto yang indah,” kenang Murad.
Namun masih dari catatan Murad, terbaca bahwa bukan hanya agresivitas menggebu yang keluar dari Aidit, melainkan juga peredamannya dalam kontemplasi.
Tulisnya, ”Bang Amat sangat tekun dan senantiasa menuliskan apa yang di lakukannya setiap hari dalam catatan hariannya, semacam diary. Tak pernah ada orang yang mengajarinya menulis buku harian atau menyuruh ia melakukan itu ....”
Cerita lanjutan tentang diary itu juga memperlihatkan bakat-bakat kerakyatan yang akan menentukan seperti apa warna politiknya.
”Dalam catatan hariannya Bang Amat menuliskan banyak hal. Misalnya tentang acara memancing, ia akan menulis berapa banyak hasil tangkapan ikan setiap nelayan pada waktu sekali melaut, juga berapa ongkos yang diperlukan atau dikeluarkan. Ongkos ini adalah untuk membeli makanan yang mereka perlukan dibawa melaut pada saat memancing. Sedangkan untuk hal-hal lain tak ada ongkos, karena mereka mempergunakan kolek (perahu) yang didayung, atau dengan layar, tanpa bahan bakar tentu saja.
”Jadi Bang Amat itu sejak masa kecilnya adalah orang yang senantiasa peduli dan sangat mau tahu kehidupan rakyat di mana pun dia berada. Ketika Bang Amat ikut serta memancing dengan Karim, dia tidak membawa semua ikan perolehannya ke rumah, tetapi diserahkan kepada Karim untuk dijual. Sedang Bang Amat sendiri hanya membawa sedikit ke rumah sekadar untuk lauk makan nasi.”
(Seno Gumira Ajidarma/Intisari)