Find Us On Social Media :

Donald Trump Dan Mimpinya Amerika Harus Pegang Rekor Gedung Pencakar Langit Di Dunia

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 14 Juli 2024 | 16:17 WIB

Donald Trump ternyata punya ambisi besar tentang gedung pencakar langit, di mana Amerika Serikat harus memegang rekornya. Mimpi sempat terunda saat peristiwa 11 September 2001.

Menyerap angin

Persaingan antara Malaysia dan Singapura mirip dengan perseteruan Cina - Taiwan. Taipei boleh menggantikan dominasi Kuala Lumpur, tapi tampaknya tak akan bertahta terlalu lama.

Shanghai yang sebelumnya sudah punya maskot gedung tertinggi di Cina, Jin Mao Tower (selesai dibangun 1999, tingginya sekitar 414 m), kini sedang mencoba mewujudkan Shanghai World Financial Center (SWFC), yang pembangunannya sempat tertunda krisis ekonomi.

(Belum lagi negara-negara Timur Tengah yang belakangan ini begitu giat membangun gedung-gedung pencakar langit)

Kohn bilang, pembangunan SWFC akan segera dilanjutkan, dan sedang dirancang ulang untuk mengalahkan "calon gedung tertinggi dunia" bikinan Taiwan. Berapa besar biayanya? "Ah, rahasia," kata Kohn. "Tapi saya berani menggaransi ini akan jadi gedung tertinggi di dunia." Kohn mestinya tak boleh setakabur itu.

Belum lama ini, sebuah grup multinasional mengumumkan, Seoul juga sudah siap membangun tower setinggi 1.772 kaki (540,1 m), juga diperkirakan selesai tahun 2007. Nah lo! Sengitnya persaingan menumbuhkan pertanyaan menggelitik, setinggi apa manusia dapat membangun gedung superjangkung?

Meski tak mungkin menembus langit, banyak ahli menjawab, secara teknis tak ada batasnya. Mereka menyebut, kerangka bangunan modern umumnya lebih kuat karena mencampur baja high pressure dan beton.

Craig Gibbons, direktur perusahaan konstruksi global di Hongkong bilang, "Kami dapat membangun gedung setinggi satu kilometer saat ini juga. Dua ratus, bahkan tiga ratus lantai sekalipun. Karena material high-stress berbobot ringan sudah banyak tersedia."

Konon, kerangka baja campur beton terbukti lebih efisien (makan tempat lebih sedikit ketimbang beton murni), lebih kuat, dan lebih tahan api. "Batasannya lebih pada soal biaya pembangunan dan alasan praktis, terutama mengakali lalu lintas manusia," kata Klemencic. Jika sudah di atas 80 lantai, diperlukan lift yang sangat memadai agar proses naik turun tak antre. Namun, para arsitek tampaknya sudah punya jawaban.

Gedung Jin Mao, misalnya, menggunakan lift berkecepatan tinggi, sekitar 9,24 m per detik. Bahkan banyak pencakar langit yang sudah mempertimbangkan lift bertingkat. Karena tetap memakai satu jalur, lift double decker itu jelas bakal menghemat ruangan. Jika soal teknis tak berbatas, bagaimana dengan masalah keamanan?

Bukankah badai topan, gempa bumi, serangan teroris, atau kebakaran juga menjadi ancaman nyata di Asia? Lagi-lagi para arsitek sudah punya jawaban. Kalau dulu, hembusan angin dilawan dengan struktur bangunan yang kukuh dan kuat.

Dewasa ini gedung-gedung modern menggunakan pendulum terbuat dari logam yang berfungsi sebagai pengatur aliran udara (pendulum dumper). Pelat logam tadi akan menyerap dan bereaksi terhadap serangan angin dan gerakan-gerakan seismik lainnya. Dengan begitu, keseimbangan gedung tetap terjaga.

Kebakaran juga ditakuti. Kenyataan menunjukkan, bukan tubrukan pesawat jet yang meluluh-lantakkan WTC. Akan tetapi api yang menjilat ke mana-mana hingga susah dikendalikanlah perun-tuh sang menara kembar. Arsitek KPF, Eric Howeler memuji Asia jauh lebih maju dalam soal ini.

Di Hongkong contohnya, setiap tangga darurat dirancang untuk meredam asap semaksimal mungkin, hingga aman dilewati saat kebakaran. Selain itu, ada lift khusus untuk petugas pemadam kebakaran, berkecepatan 9 m per detik. "Seperti peluru yang siap menuju sasaran," ujar Howeler.

Tak ketinggalan, tangki air di atap gedung juga kerap dirancang seolah membiarkan airnya tumpah dari bak penampungan. Di samping bisa membantu proses pendinginan saat kebakaran, langkah ini juga berguna buat meredam tiupan angin.

"Semua itu," imbuh Howeler, "sudah ada sebelum peristiwa 11 September." Dengan kata lain, para pencakar langit Asia itu memang tak sekadar perang di ketinggian, tapi juga sudah memikirkan segala risikonya.

Sejak ambruknya WTC, Cesar Pelli sebagai perancang Petronas Tower kerap ditanyai kemungkinan peristiwa serupa menimpa gedung bikinannya. Dia selalu bilang, menara tertinggi di dunia itu akan bisa mengatasi serangan jumbo jet.

Selain kualitas konstruksinya lebih baik ketimbang WTC yang sudah berumur 30 tahun, dia juga menunjuk jembatan yang menghubungkan dua menara Petronas. "Jembatan itu memudahkan orang berpindah dari satu menara ke menara lainnya," tutur Pelli.

Jadi, tak adakah batas buat para penggila skyscraper? Jawabnya barangkali ketakutan manusia itu sendiri. Pelli misalnya memperingatkan pengelola skyscraper agar berhati-hati terhadap ancaman teroris, yang langkah-langkahnya sulit ditebak.

Pepatah modem bilang, makin tinggi pohon, semakin kencang anginnya. Bagi si jangkung ini berarti makin diincar teroris, yang tak bisa diredam dengan perhitungan teknis.