Penulis
Donald Trump punya ambisi besar tentang gedung pencakar langit: Amerika harus memegang rekornya. Mimpi sempat terunda saat peristiwa 11 September 2001
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Ada cerita menarik tentang Donald Trump, selebriti yang juga raja properti asal New York. Konon, hingga awal September 2001, sang miliuner masih asyik dengan mimpi-mimpinya tentang skycrapper alias gedung pencakar langit.
Dia sangat berambisi mengembalikan kehormatan Amerika sebagai pemegang rekor gedung tertinggi dunia yang direbut Menara Petronas, Malaysia. Menara megah setinggi 2.000 kaki pun disiapkan Trump mengisi buku rekor dunia baru.
Orang-orang kepercayaan Trump dan arsitek-arsitek ternama dari Skidmore, Owings and Merrill (perusahaan pendesain John Hancock Center, salah satu bangunan termegah di AS) sudah beberapa kali bertemu di Chicago. Terbayang sudah konstruksi yang lebih kukuh dari Sears Tower, mantan pemegang rekor dunia, sebelum mahkotanya direnggut Petronas tahun 1996.
Bangunan 200 lantai impian Trump seperti hendak menusuk langit. Meski apa yang terjadi kemudian sungguh di luar skenario.
Kreativitas tak terbatas
Tepat 11 September 2001, Trump dan orang-orangnya masih meeting di Chicago. Seorang peserta rapat iseng-iseng menyalakan televisi. Dia kaget banget, karena semua stasiun TV menayangkan adegan pesawat jet sedang menabrak World Trade Center. "Kami menonton saat pesawat berikutnya menabrak gedung yang sama," jelas arsitek Adrian Smith. Tak lama setelah itu, Trump mengumpulkan timnya.
Mereka sepakat melupakan sementara rencana membuat rekor dunia. Niat matang pun kembali mentah. Ketakutan akan terulangnya peristiwa 11 September terus membayangi para pengelola gedung jangkung.
"Pencakar langit 'kan ada di mana-mana," kata Eugene Kohn, bos Kohn Pedersen Fox Associates (KPF), salah satu tempat berkumpulnya para arsitek terbaik dunia.
Kritik terhadap skyscraper pun mulai bermunculan. Pembangunan gedung di atas 80 lantai dianggap tak lagi menguntungkan secara ekonomis. Belum lagi masalah pengamanan penghuninya jika ada serangan teroris mendadak.
Bisa dimaklumi kalau rencana pembangunan kembali bekas lokasi reruntuhan WTC mendapat beragam tanggapan. Banyak proposal masuk, tapi jajak pendapat seperti tak menginginkan dibangunnya kembali gedung yang lebih tinggi dari WTC.
Kejadian 11 September telah menyingkirkan Amerika dari perang bangunan supertinggi. Meski banyak pengamat berpendapat, serangan terhadap menara WTC sebenarnya cuma alasan formal. Sejatinya, AS memang sudah cukup lama tersingkir dari "arena perang". Kemenangan Petronas menyiratkan sebuah booming baru.
Pertempuran tahun 1930-an ditandai dengan supremasi Chrysler Building dan Empire State Building, sedangkan era 1970-an melahirkan Sears Tower dan WTC. Bisa dilihat, dominasi AS sangat besar. Namun, pertengahan 1990-an hingga barangkali tahun 2010 pendulum bergerak ke Timur Jauh.
Kuala Lumpur harus rela melepas mahkota ke Taipei akhir tahun ini atau tahun depan. Taipei pun harus mengalah ke Shanghai akhir dekade ini. Hongkong, Seoul, dan Tokyo pun tak tinggal diam. Konon, mereka tengah mengintip peluang mencuri gelar yang bahkan belum direbut Shanghai.
Tak ada tanda-tanda terorisme, bahkan pascaledakan bom Bali, menciutkan nyali Asia. Asia kini mirip New York 70 tahun lalu. Tidak ada sesuatu yang lebih menarik perhatian daripada menjadi terbesar, terbaik, atau semacamnya.
"Yang tertinggi sebenarnya bagian dari kecanggihan teknologi, jadi kerap dikaitkan dengan persoalan kultural," kata Eric Howeler, arsitek KPF, yang sedang mendesain Union Square, bangunan berlantai 108, yang diprediksi menjadi gedung tertinggi di dunia saat selesai dibangun tahun 2007 nanti.
Petronas Towers yang dirancang Cesar Pelli menjadi bukti. Konon, Malaysia ingin menunjukkan pembangunan di negaranya tak kalah dengan tetangganya di semenanjung, Singapura. "Petronas Towers benar-benar menempatkan Malaysia dalam 'peta'," tambah Kohn.
Menara itu menjadi ikon paling gampang dikenali dari kota yang sebelumnya cuma dicatat sebagai pewaris gedung-gedung pendek peninggalan zaman kolonial.
Pengakuan terhadap Petronas Towers yang diakreditasi Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH), badan yang mewasiti perang ketinggian ini sempat menjadi kontroversi. Resmi-nya, menara setinggi 1.483 kaki (sekitar 445 m) itu berhasil mengalahkan Sears Tower yang "hanya" 1.450 kaki (sekitar 435 m).
Namun, berdasarkan perbandingan gambar, bangunan di puncak Sears sepertinya lebih tinggi ketimbang bangunan di puncak Petronas.
CTBUH sendiri memberi argumentasi, tinggi bangunan diukur mulai permukaan tanah hingga arsitektur yang ada di puncak gedung. Tiang-tiang dan antena (seperti di Sears) tidak masuk dalam hitungan, tapi "ujung topi" yang dimiliki Petronas dianggap sebagai bagian dari desain gedung. Hal inilah yang membuat Petronas dimenangkan. "Kami berpendapat, jika ujung topi itu bagian integral dari desain, ya, masuk hitungan," kata Klemencic, ketua CTBUH. "Lihat saja Chrysler Building. Kalau crown-nya dicabut, gedung itu tidak akan ada apa-apanya."
Menyerap angin
Persaingan antara Malaysia dan Singapura mirip dengan perseteruan Cina - Taiwan. Taipei boleh menggantikan dominasi Kuala Lumpur, tapi tampaknya tak akan bertahta terlalu lama.
Shanghai yang sebelumnya sudah punya maskot gedung tertinggi di Cina, Jin Mao Tower (selesai dibangun 1999, tingginya sekitar 414 m), kini sedang mencoba mewujudkan Shanghai World Financial Center (SWFC), yang pembangunannya sempat tertunda krisis ekonomi.
(Belum lagi negara-negara Timur Tengah yang belakangan ini begitu giat membangun gedung-gedung pencakar langit)
Kohn bilang, pembangunan SWFC akan segera dilanjutkan, dan sedang dirancang ulang untuk mengalahkan "calon gedung tertinggi dunia" bikinan Taiwan. Berapa besar biayanya? "Ah, rahasia," kata Kohn. "Tapi saya berani menggaransi ini akan jadi gedung tertinggi di dunia." Kohn mestinya tak boleh setakabur itu.
Belum lama ini, sebuah grup multinasional mengumumkan, Seoul juga sudah siap membangun tower setinggi 1.772 kaki (540,1 m), juga diperkirakan selesai tahun 2007. Nah lo! Sengitnya persaingan menumbuhkan pertanyaan menggelitik, setinggi apa manusia dapat membangun gedung superjangkung?
Meski tak mungkin menembus langit, banyak ahli menjawab, secara teknis tak ada batasnya. Mereka menyebut, kerangka bangunan modern umumnya lebih kuat karena mencampur baja high pressure dan beton.
Craig Gibbons, direktur perusahaan konstruksi global di Hongkong bilang, "Kami dapat membangun gedung setinggi satu kilometer saat ini juga. Dua ratus, bahkan tiga ratus lantai sekalipun. Karena material high-stress berbobot ringan sudah banyak tersedia."
Konon, kerangka baja campur beton terbukti lebih efisien (makan tempat lebih sedikit ketimbang beton murni), lebih kuat, dan lebih tahan api. "Batasannya lebih pada soal biaya pembangunan dan alasan praktis, terutama mengakali lalu lintas manusia," kata Klemencic. Jika sudah di atas 80 lantai, diperlukan lift yang sangat memadai agar proses naik turun tak antre. Namun, para arsitek tampaknya sudah punya jawaban.
Gedung Jin Mao, misalnya, menggunakan lift berkecepatan tinggi, sekitar 9,24 m per detik. Bahkan banyak pencakar langit yang sudah mempertimbangkan lift bertingkat. Karena tetap memakai satu jalur, lift double decker itu jelas bakal menghemat ruangan. Jika soal teknis tak berbatas, bagaimana dengan masalah keamanan?
Bukankah badai topan, gempa bumi, serangan teroris, atau kebakaran juga menjadi ancaman nyata di Asia? Lagi-lagi para arsitek sudah punya jawaban. Kalau dulu, hembusan angin dilawan dengan struktur bangunan yang kukuh dan kuat.
Dewasa ini gedung-gedung modern menggunakan pendulum terbuat dari logam yang berfungsi sebagai pengatur aliran udara (pendulum dumper). Pelat logam tadi akan menyerap dan bereaksi terhadap serangan angin dan gerakan-gerakan seismik lainnya. Dengan begitu, keseimbangan gedung tetap terjaga.
Kebakaran juga ditakuti. Kenyataan menunjukkan, bukan tubrukan pesawat jet yang meluluh-lantakkan WTC. Akan tetapi api yang menjilat ke mana-mana hingga susah dikendalikanlah perun-tuh sang menara kembar. Arsitek KPF, Eric Howeler memuji Asia jauh lebih maju dalam soal ini.
Di Hongkong contohnya, setiap tangga darurat dirancang untuk meredam asap semaksimal mungkin, hingga aman dilewati saat kebakaran. Selain itu, ada lift khusus untuk petugas pemadam kebakaran, berkecepatan 9 m per detik. "Seperti peluru yang siap menuju sasaran," ujar Howeler.
Tak ketinggalan, tangki air di atap gedung juga kerap dirancang seolah membiarkan airnya tumpah dari bak penampungan. Di samping bisa membantu proses pendinginan saat kebakaran, langkah ini juga berguna buat meredam tiupan angin.
"Semua itu," imbuh Howeler, "sudah ada sebelum peristiwa 11 September." Dengan kata lain, para pencakar langit Asia itu memang tak sekadar perang di ketinggian, tapi juga sudah memikirkan segala risikonya.
Sejak ambruknya WTC, Cesar Pelli sebagai perancang Petronas Tower kerap ditanyai kemungkinan peristiwa serupa menimpa gedung bikinannya. Dia selalu bilang, menara tertinggi di dunia itu akan bisa mengatasi serangan jumbo jet.
Selain kualitas konstruksinya lebih baik ketimbang WTC yang sudah berumur 30 tahun, dia juga menunjuk jembatan yang menghubungkan dua menara Petronas. "Jembatan itu memudahkan orang berpindah dari satu menara ke menara lainnya," tutur Pelli.
Jadi, tak adakah batas buat para penggila skyscraper? Jawabnya barangkali ketakutan manusia itu sendiri. Pelli misalnya memperingatkan pengelola skyscraper agar berhati-hati terhadap ancaman teroris, yang langkah-langkahnya sulit ditebak.
Pepatah modem bilang, makin tinggi pohon, semakin kencang anginnya. Bagi si jangkung ini berarti makin diincar teroris, yang tak bisa diredam dengan perhitungan teknis.