Find Us On Social Media :

Ketika Sambernyawa Melawan 3 Musuh Sekaligus: Dari Pakubuwono III Hingga VOC

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 13 Juli 2024 | 12:48 WIB

Pangeran Sambernyawa

Pangeran Sambernyawa, pendiri trah dan praja Mangkunegaran, dikenal sebagai Pangeran Mataram Islam paling bernyali. Pernah melawan tiga musuh sekaligus.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Ada satu fase di mana pendiri Kadipaten Mangkunegara, Pangeran Sambernyawa, harus melawan tiga musuh sekaligus: Pakubuwono III dari Kasunanan Surakarta, Pangeran Mangkubumi pendiri Kesultanan Yogyakarta, dan VOC Belanda.

Meski harus melawan "darahnya" sendiri, Sambernyawa tak ada takut-takutnya sama sekali. Tak menyerah tak mau berkompromi.

Mengutip Intisari-Online.com, perjuangan Pangeran Sambernyawa bermula ketika dia bergabung dengan pemberontakan Sunan Kuning melawan VOC dan Pakubuwana II pada tahun 1742. Sebagai panglima perang, dia mendapat gelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur.

Pada 1746, dia harus mengakui kekalahan dari Pangeran Mangkubumi, sepupunya yang juga memberontak melawan VOC dan Pakubuwana II karena tidak mendapatkan hadiah tanah yang dijanjikan. Walaupun demikian, dia lalu berdamai dan bergabung dengan Pangeran Mangkubumi.

Ketika Pakubuwana II meninggal dan digantikan oleh Pakubuwana III, yang tetap bersekutu dengan VOC, pada tahun 1749, perlawanan mereka tidak berhenti. Dengan pasukan yang mencapai 13.000 prajurit, mereka menyerang Surakarta dan menguasai sebagian besar wilayah Mataram.

Akhirnya, pada tahun 1755, mereka menandatangani Perjanjian Giyanti dengan VOC dan Pakubuwana III, yang mengakui kekuasaan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta.

Karena merasa dikhianati oleh Pangeran Mangkubumi yang tidak memberinya wilayah yang cukup dalam perjanjian tersebut, Pangeran Sambernyawa tetap melancarkan perlawanan terhadap VOC, Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I.

Tidak ada satu pun dari mereka yang mau ia serahkan.

Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC, memberinya julukan Pangeran Sambernyawa karena ia dikenal sebagai prajurit yang gagah berani dan kejam terhadap musuhnya. Ia dikatakan mampu menyebabkan banyak korban dari pihak lawan.

Setelah bertahun-tahun berperang, ia akhirnya menandatangani Perjanjian Salatiga dengan Pakubuwana III pada tahun 1757, yang memberinya wilayah seluas 4.000 cacah (kepala keluarga) dan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.

Dengan demikian, ia menjadi pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di Surakarta. Di dekat alun-alun Surakarta, ia membangun keraton baru dan memerintah hingga meninggal pada 23 Desember 1795.

Pangeran Mataram yang paling bernyali

Pangera Sambernyawa barangkali adalah salah satu pangeran Mataram Islam paling berani dan bernyali. Demi mendapatkan haknya sebagai penguasa Mataram, dia bahkan melawan pamannya sendiri.

Pangeran Sambernyawa nama aslinya Raden Mas Said, kelak dikenal sebagai Mangkunegara I. Dia adalah pendiri Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta dan pahlawan nasional Indonesia.

Raden Mas Said dijuluki Sambernyawa karena keganasan dan keberaniannya melawan musuh-musuhnya, terutama VOC dan bahkan Mataram Islam sendiri. Raden Mas Said lahir pada 7 April 1725 di Kartasura.

Dia adalah putra dari Pangeran Arya Mangkunegara, calon pewaris kesultanan Mataram yang anti-VOC. Karena sikapnya itu, Arya Mangkunegara dibuang ke Sri Lanka oleh VOC.

Raden Mas Said kemudian diasuh oleh neneknya, Raden Ajeng Sumanarsa. Perjuangan

Mangkunegara I dimulai ketika ia bergabung dengan pemberontakan Sunan Kuning melawan VOC dan Pakubuwana II pada tahun 1742. Sebagai panglima perang, ia mendapat gelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur.

Ia juga menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati.

Pemberontakan Sunan Kuning berhasil mengusir Pakubuwana II dari Kartasura dan menguasai istana. Namun, VOC kemudian membantu Pakubuwana II untuk merebut kembali Kartasura dan menyerang pasukan Sunan Kuning.

Mangkunegara I terpaksa mundur dan membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta. Pada 1746, Pakubuwana II meninggal dunia dan digantikan oleh putranya, Pakubuwana III.

Namun, adik Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, tidak mengakui Pakubuwana III sebagai raja sah dan memproklamirkan dirinya sebagai Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta. Hal ini memicu Perang Jawa antara VOC dan Pakubuwana III melawan Mangkubumi dan Mangkunegara I.

Perang Jawa berlangsung selama 11 tahun dengan berbagai pertempuran sengit. Mangkunegara I menunjukkan kepiawaiannya dalam strategi dan taktik perang.

Dia sering melakukan serangan mendadak, penyergapan, dan pengepungan terhadap pasukan VOC dan Surakarta. Juga berhasil merekrut banyak rakyat Jawa yang tidak puas dengan VOC dan Surakarta untuk bergabung dengan perjuangannya.

Salah satu pertempuran terbesar yang melibatkan Mangkunegara I adalah Pertempuran Grobogan pada tahun 1749. Dalam pertempuran ini, pasukan Mangkunegara I berhasil mengalahkan pasukan VOC yang dipimpin oleh Nicolaas Hartingh.

Hartingh sendiri terluka parah dan nyaris tewas oleh Mangkunegara I jika tidak ditolong oleh bawahannya. Hartingh kemudian memberikan julukan Pangeran Sambernyawa kepada Mangkunegara I karena keganasannya dalam bertempur.

Pada tahun 1755, Perang Jawa berakhir dengan Perjanjian Giyanti yang ditandatangani oleh VOC, Pakubuwana III, dan Mangkubumi. Dalam perjanjian ini, Mataram dibagi menjadi dua: Surakarta di bawah Pakubuwana III dan Yogyakarta di bawah Hamengkubuwana I.

Namun, Mangkunegara I tidak puas dengan hasil perjanjian ini karena ia tidak mendapatkan wilayah atau kedudukan apa pun. Mangkunegara I kemudian melanjutkan perjuangannya melawan VOC dan Surakarta dengan bantuan dari Cakraningrat IV dari Madura.

Mangkunegara I berhasil menguasai beberapa wilayah di sekitar Surakarta dan mengancam keamanan VOC dan Surakarta. Ia juga mendapat dukungan dari rakyat yang menganggapnya sebagai pahlawan dan pemimpin yang adil.

Ia membangun sistem pemerintahan yang efektif dan mengatur perekonomian, pertanian, perdagangan, dan pendidikan di wilayahnya. Pada tahun 1757, VOC dan Surakarta akhirnya mengakui kekuasaan Mangkunegara I dengan menandatangani Perjanjian Salatiga.

Dalam perjanjian ini, Mangkunegara I mendapatkan wilayah seluas 4.000 bau (sekitar 5.400 hektar) di sebelah timur Surakarta. Dia juga mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara.

Mangkunegara I kemudian membangun istana baru di wilayahnya yang dinamakan Pura Mangkunagaran. Dia juga mengembangkan budaya dan seni Jawa di istananya.

Mangkunegara menciptakan tarian-tarian baru seperti Serimpi, Bedhaya, dan Srimpi Sangopati. Dia juga mengoleksi berbagai benda-benda bersejarah dan seni seperti keris, wayang, gamelan, dan lukisan.

Mangkunegara I meninggal dunia pada 23 Desember 1795 di Surakarta. Dia dimakamkan di Astana Mangadeg di Matesih, Karanganyar, dan digantikan oleh putranya, Mangkunegara II.

Mangkunegara I dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia yang berjuang melawan penjajahan VOC dan membela hak-hak rakyat Jawa. Julukan Pangeran Sambernyawa tetap melekat pada namanya sebagai simbol keberanian dan kegigihannya dalam perjuangan.