Sikap memberontak Pangeran Sambernyawa ternyata terwarisi dari ayahnya, Arya Mangkunegara. Dia terkenal keras terhadap VOC bahkan harus rela kehilangan takhta Mataram Islam.
Intisari-Online.com -Sejatinya putra mahkota Amangkurat IV adalah Pangeran Arya Mangkunegara.
Dia adalah ayah dari Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa alias Mangkunegara I.
Tapi sikap Arya Mangkunegara yang keras terhadap Belanda, yang anti-VOC, membuatnya berada di ujung tanduk.
Alih-alih mendapatkan takhta Mataram Islam, dia justru harus dibuang ke tempat yang nun jauh di sana, ke Sri Langka lalu ke Afrika Selatan, oleh VOC Belanda.
Arya Mangkunegara pun meninggal dunia di negaranya Nelson Mandela itu.
Kondisi itulah yang membuat sang putra, Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, sangat berhasrat merebut hak yang seharusnya dimiliki ayahnya.
Dia menginginnkan takhta Mataram Islam.
Sambernyawa pun memberontak hingga 16 tahun lamanya.
Tak hanya paman dan saudara sendiri sesama trah Mataram Islam, Pangeran Sambernyawa juga harus berhadapan dengan bedil-bedil kompeni VOC.
Sepak terjang Raden Mas Said alis Sambernyawa dimulai ketika usianya masih 19 tahun.
Ketika itu dia terlibat dalam pemberontakan di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi alias Sunan Kuning.
Pemberontakan itu mengakibatkan tembok benteng keraton Kartasura setinggi 4 meter roboh.
Raja Mataram Islam ketika itu, Pakubuwono II, pun harus lari ke Ponorogo.
Sambernyawa sendiri membangun basis pertahanan di sekitar Randulawang, sebelah utara Surakarta.
Kekuatan Sambernyawa semakin membesar ketika pamannya, Pangeran Mangkubumi, bergabung dengan pasukannya.
Persekutuan itu diperkuat dengan dinikahkannya Sambernyawa dengan putri Pangeran Mangkubumi.
Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto.
Ketika sedang bergerilya di sekitar Yogyakarta, Sambernyawa mendapat kabar tentang kematian Pakubuwono II.
Dia pun meminta mertuanya, Pangeran Mangkubumi, mengangkat diri sebagai Raja Mataram.
Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo.
Sementara Sambernyawa diangkat sebagai patih sekaligusperang.
Tapi setelah hampir sepuluh tahun bersekutu, Sambernyawa harus pisah kongsi dengan Mangkubumi karena perbedaan prinsip.
Ketika Pangeran Mangkubumi akhirnya mengakhiri perlawanannya setelah dinobatkan sebagai penguasa Kasultanan Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti 1755, Sambernyawa masih terus melakukan perlawanan.
Selama 16 tahun perlawanan, setidaknya dia telah memimpin sebanyak 250 pertempuran.