Find Us On Social Media :

Tradisi Mengurasi Kopi, Semata-mata Demi Peminum Dan Pembeli

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 12 Juli 2024 | 13:50 WIB

Dari mata rantai industri kopi itu, terselip seseorang yang menilai potensi kopi agar bisa dihargai awam dengan harga yang wajar. Proses itu disebut sebagai kurasi kopi.

Butuh proses panjang bagi sebiji kopi untuk bisa lebur dalam minuman yang dikonsumsi awam. Dari mata rantai industri kopi itu, terselip seseorang yang menilai potensi kopi agar bisa dihargai awam dengan harga yang wajar. Proses itu disebut sebagai kurasi.

Penulis: YDS Agus Surono, Majalah Intisari Oktober 2020

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring mengartikan kurasi sebagai “kegiatan mengelola benda-benda dalam ekshibisi di museum atau galeri”. Jika kita memperhatikan katalog sebuah pameran benda-benda seni, akan ada nama kurator di situ. Kurator akan menjaga benda-benda seni yang dipamerkan akan memuaskan penonton.

Dalam dunia perkopian, kurasi bertujuan untuk mengetahui potensi kopi.

“Potensi kopi meliputi dua hal: kualitas dan harga. Pada dasarnya, konsumen yang membeli kopi itu hanya tahu sekitar 10 persen informasi dari kopi. Contohnya, saya membeli kopi dari Jawa Barat. Atau Lampung. Tahunya ya itu saja. Konsumen tidak tahu kualitas kopinya seperti apa. Lalu dengan kualitas seperti itu di petani harganya berapa,” kata Laila Dimyati (40), pecinta kopi yang sudah empat tahunan belakang menjadi Q Grader.

Rantai kopi dari tanaman ke konsumen cukup panjang. Dari petani ke pengepul. Ada perantara lagi sebelum ke pemanggang (roaster). Pemanggang menjual lagi ke warung kopi. Dari warung kopi inilah kopi “menyapa” konsumen.

“Jadi, karena rantainya cukup panjang, sebagai Q Grader aku memiliki hak secara implisit dan eksplisit untuk mengetahui potensinya seperti apa,” ujar Laila.

Bisa sampai juling

Proses kurasi bersifat reverse engineering. Dari roasted bean (biji kopi yang sudah disangrai), mundur ke green bean (biji kopi mentah), hingga ke proses pascapanen. Dari sampel yang dikirim, kurator bisa memberikan saran kepada pemilik kafe potensi dari kopinya, dan kepada petani jika ada perbaikan yang dirasa perlu.

Akan tetapi, proses itu tak mesti dimulai dari awal. Seperti yang dilakukan Laila pada pertengahan Agustus 2020, melakukan kurasi dari tengah.

“Mulai dari green bean,” tutur Laila yang saat itu diminta oleh seorang pemilik kafe di Palembang untuk mengkurasi dua kopi arabika single origin dari Indonesia. Karena belum pernah mengkurasi dari daerah itu sebelumnya, Laila pun meminta sahabatnya, Rico Damona – Q Grader juga-- untuk tandem mengkurasi bareng.

Untuk mulai mengkurasi, Laila butuh sampel berupa 500 gram green bean yang belum disortir dan 100 gram roasted bean ( jika ada). Sampel harus dikirim dalam kemasan yang kedap udara.

“Agar terhindar dari bau dan paparan cahaya. Biasanya sih pakai kemasan kopi seperti ini. Di dalamnya ada aluminium lining,” cuit Laila sembari menunjukkan gambar kantung khusus pengepakan kopi.

Dari green bean yang tersedia tadi, Laila akan menimbang sejumlah 350 gram, dan mulai menyortir. Hasil sortir ini nanti akan menentukan kualitas si green bean. Ada panduan untuk menyortir kopi ini. Ada dua cacat dalam tahap sortir ini. Cacat primer meliputi biji kopi yang hitam, cokelat, bolong, berjamur, benda asing (robusta dianggap benda asing jika sedang menyortir arabika). Sedangkan cacat sekunder meliputi biji yang pecah, mengapung, berbentuk kerang, atau kulit tanduk.

“Bentuk cacat ini harus dihapal di luar kepala. Karena ada juga biji kopi yang bentuknya jelek tapi tidak mengandung cacat apa pun,” Laila menjelaskan. Hmmm… kebayang kalau cacatnya sedikit, nyortirnya enak. Kalau cacatnya banyak, “Rasanya mata ini ampe juling,” kata Laila.

Dari kopi yang bagus, Laila akan menimbang seberat 50 gram untuk dipanggang menggunakan mesin panggang khusus. Mesin ini sangat praktis karena bisa memilih banyak mode untuk memanggang kopi. Laila memilih mode sample roast karena memakai sistem dari Specialty Co ee Association (SCA).

Begitu diklik mode sample roast, alat tadi akan memanggang sendiri sesuai log yang ada. Ketika proses memanggang selesai, biji kopi pun siap di-cupping. Atau tes rasa. Namun, harus menunggu dulu selama 24 jam, sesuai dengan protokol cupping dari SCA. Satu proses terlewati.

Saling diam

Proses cupping dimulai dengan menimbang kopi yang sudah dipanggang tadi. Perbandingan yang digunakan adalah 55 gram kopi untuk setiap 1 liter air. Jadi, kalau kopi yang dipakai seberat 12 gram, maka air yang digunakan 218 ml. Satu sampel kopi membutuhkan lima cup kopi yang akan diminum semua.

Air yang digunakan untuk menyeduh bubuk kopi adalah air dengan standar yang sudah ditetapkan oleh SCA, yakni suhunya 92°C. Penilaian pertama adalah fragrance (bau yang dikeluarkan oleh kopi saat masih kering, belum diseduh). Lalu, kita tuangkan airnya sesuai urutan gelas, dari gelas pertama sampai gelas kelima.

Setelah airnya dituang, Laila harus menunggu hingga empat menit (detik pertama dihitung dari tuangan pertama di gelas pertama). Berurutan kelima gelas kopi itu “diendusnya”. Kali ini ia harus merasakan aroma kopi. Ini bau bubuk kopi yang disiram air bersuhu 92 derajat Celcius tadi.

Proses selanjutnya adalah memecah crust - kopi yang mengapung di permukaan. Cara memecahnya dengan memutar sendok di permukaan tiga kali sambil dicium aromanya. Ini menjadi momen terakhir menilai aroma. Sekali lewat, tak ada putaran balik.

“Saat ini (saya) harus konsentrasi penuh,” kata Laila.

Usai crust break, sisa busa yang ada di permukaan akan “disaring” (skimming). Tujuannya agar minyak yang ada di permukaan tidak mengganggu saat disendok untuk dirasa. Juga agar lapisan minyaknya tidak menutup reseptor di lidah.

Sendok yang dipakai harus selalu dibasuh saat berpindah antara gelas satu ke gelas lainnya. Waktu terus berjalan sejak detik pertama air dituang. Ketika sudah menunjuk ke menit delapan, saatnya Laila beraksi memainkan lidahnya. Mulai mencicipi kopinya.

“Kami akan mencicipi di tiga suhu yang berbeda. Panas, sekitar 71°C. Hangat, 60°C. Dingin, pada 21°C. Setelah lama latihan, biasanya aku langsung tahu pergerakan penurunan suhu tanpa pakai termometer,” jelas Laila, seolah membenarkan jargon terbiasa membuat kita bisa.

Di tahap inilah kurasi pun usai. Setelah menengok waktu, ternyata dari menuang air hingga mengisi form, Laila butuh waktu 34 menit. Sementara tandemnya masih mentabulasi angka. Dalam menilai kopi ini, ada yang namanya “rule of silent”.

“Kami tidak boleh mengeluarkan suara sedikit pun dari mulut kami, kecuali suara seruputan dari sendok,” kata Laila.

Nilai kopi tubruk

Kurasi bisa dilakukan berkali-kali. Tergantung kepentingan. Soalnya, produksi kopi tidak cuma sekali. Berkali-kali dipanen, berkali-kali diproses. Setiap proses ada batch. Tiap-tiap batch harusnya ada kurasi.

“Kalau mereka mempertahankan kualitas, angkanya tidak jauh berbeda hasilnya. Scoresheet namanya. Ini adalah suatu patokan,” jelas Laila.

Kurasi tidak mesti dikerjakan oleh orang yang sama. Tapi prosesnya sudah baku. Dari awal sampai akhir. Contohnya, 350 gram itu diambil yang specialty, dalam artian tidak ada yang cacat sama sekali. Kemudian dipanggang. Lalu di-cupping sesuai cara SCA.

Setelahnya dinilai dengan cara yang sama. Jadi metodologinya yang sama. Meski (kurasi) dilakukan oleh orang berbeda, hasilnya tidak jauh berbeda.

Laila menjelaskan, penambahan angka di scoresheet itu 0,25 poin. Contoh, kopi akan disebut specialty jika skornya 80 poin. “Kalau suatu hari saya berpendapat nilainya 80,75, lalu esok harinya 80,50, masih toleran. Bedanya kan sedikit banget. Tapi kalau kemudian nilainya melompat menjadi 83,25 rasanya tidak mungkin karena sudah jauh banget bedanya.”

Bagi Q Grader yang sudah terlatih seperti Laila, melakukan kurasi dua jenis kopi atau lebih bukan hal yang susah. Jam terbang memang membuat lidah bisa bermain di angka yang tipis.

“Saat masih baru, saya merasa, kok score-nya sama,” kata Laila.

Dalam kurasi, cupping adalah cara wajib memetik nilai (score). Cupping tidak memodifikasi apa pun. Model tubruk. Berbeda dengan espreso misalnya. “Itu kan 20 gram kopi ditembak 20 gram air. Satu banding satu. Bodinya tebal banget. Tapi pada cupping, 1 gram kopi banding 18 gram air. Sedangkan untuk kehalusan kopi di tingkat medium. Kira-kira seperti gula pasir kasar. Soalnya, semakin halus gilingan, pahitnya akan cenderung keluar,” tuturnya.

Hasil kurasi bisa jadi saran ke produsen. Jadi, misalnya skor di 80-83, apalagi pernah juara, ada di harga sekian. Bisa lebih tinggi, tapi tidak banyak. Paling Rp10 ribu atau Rp20 ribu.

“Tapi kalau bedanya jauh, Rp50 ribu sampai Rp100 ribu, aku akan kasih saran. Kami hanya bisa menyarankan. Enggak bisa menekan harus di harga segini, misalnya,” tambah Laila.

Oleh sebab itu, biasanya akan ada satu lembar lagi berupa catatan dari Q Grader mengenai langkah-langkah apa yang bisa diambil petani untuk menaikkan mutu kopi dari commercial menjadi specialty. Nah, pada kurasi, konsumen meletakkan kelayakan sebuah harga kopi.