Find Us On Social Media :

Purbacaraka, Doktor Leiden Dan Pakar Bahasa Jawa Yang Pernah Dikira Penjaga Sepeda Oleh Mahasiswanya

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 8 Juli 2024 | 15:03 WIB

Dikenal sebagai ahli bahasa dan kebudayaan Jawa sekaligus doktor Leiden, Purbacaraka juga dikenal sebagai pengajar yang unik. Saking uniknya, bahkan ada mahasiswanya yang mengiranya dia penjaga sepeda.

Sastrawan Sala banyak yang tersinggung, karena orang muda mereka anggap bukan apa-apa itu berani mengecam hasil karya mereka, atau terjemahan mereka ngawur. Sebagian bangsawan mengadakan perhimpunan yang mereka beri nama "Sito Danujo".

Menurut kamus Kawi himpunan Winter diartikan "Ksatria Utama". Berdasarkan asal kata dari bahasa Sansekerta, artinya "raksasa kedinginan", demikian Lesya waktu ditanyakan orang. Tentu saja orang yang memberi nama tersinggung, sehingga terjadi polemik ramai dan berkepanjangan.

Residen kebingungan

Karena merasa bahwa dia benar, Lesya merasa tidak betah di lingkungan keraton Sala. Lagi pula orang yang tidak menyukainya semakin bertambah, di samping dia merasa tidak puas ilmunya tidak berkembang sebagaimana mestinya.

Karena itu ia berusaha untuk keluar dari kekangan lingkungannya yang makin lama dirasakan semakin mencekik. Dia menulis sepucuk surat kepada Residen Surakarta Van Wijk, yang akhirnya akan sangat menentukan seluruh jalan hidupnya. Surat itu berbunyi sebagai berikut:

"Terhoendjoek Padoeka Kangdjeng Toean Resident di Soerakarta.

Jang bertanda tangan dibawah ini R. Ng. Poerbacaraka (Lesja) menteri Adjutant Keparak-kiwo, beroemah didalam kotta Soerakarta, menerangkan jang ia ada kebisaan bagai bahasa Kawi (Oud-Javaansch) dari belajar sendiri dari soerat-soerat: Ramayana oleh Prof. Dr. H. Kern, Bharatayuddha oleh Prof. Dr. Gunning, Adiparwa oleh Prof. Dr. H.H. Juynboll dan Iain-lain.

Dari pada itoe ia mohon kepada Regeering soepaya dipriksa (diexamen) ia poenya kebiasaan tadi: barangkali soedah tjoekoep ia mohon diberi tanda (diploma) jang ia soedah ada kebiasaan bagai bahasa terseboet dengan tjoekoep, dan kalau beloem ia hendak teroes beladjar sampai tjoekoep...."

Surat permohonan itu dilampiri dengan contoh terjemahan dari kitab Adiparwa. Tentunya Residen Surakarta D.F. van Wijk cukup kebingungan untuk menanggapi surat permohonan yang tidak sehari-harinya itu.

Dia memang menjelaskan kepada pemohon bahwa tidak ada ujian atau ijazah yang dimaksud dalam surat itu, tetapi bagaimana juga pejabat itu tidak menganggap sepi atau mengesampingkan permintaan Purbacaraka. Ia menulis surat kepada Dr. Hazeu, yang waktu itu menjabat sebagai Penasihat Urusan Bumiputra dan Arab dan Ketua Komisi Bacaan Rakyat.

Hazeu lalu menyurati Dr. D. A. Rinkes, Sekretaris Bacaan Rakyat (kemudian menjadi Balai Pustaka) mengenai kemungkinan diterbitkannya naskah Purbacaraka itu.

Karya itu agaknya memberikan kesan cukup baik, sehingga ia minta agar Rinkes mencari keterangan lebih lanjut mengenai siapa orang Jawa dari Sala yang mengirimkan naskah itu. Dia juga menambahkan bahwa mungkin kelak bisa dimanfaatkan tenaganya, juga disayangkan bahwa sekarang belum ada kemungkinan bagi orang seperti Purbacaraka untuk melanjutkan studi dalam bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta.