Purbacaraka, Doktor Leiden Dan Pakar Bahasa Jawa Yang Pernah Dikira Penjaga Sepeda Oleh Mahasiswanya

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Dikenal sebagai ahli bahasa dan kebudayaan Jawa sekaligus doktor Leiden, Purbacaraka juga dikenal sebagai pengajar yang unik. Saking uniknya, bahkan ada mahasiswanya yang mengiranya dia penjaga sepeda.

Dikenal sebagai ahli bahasa dan kebudayaan Jawa sekaligus doktor Leiden, Purbacaraka juga dikenal sebagai pengajar yang unik. Saking uniknya, bahkan ada mahasiswanya yang mengiranya dia penjaga sepeda.

Pernah tayang di Majalah Intisari edisi Januari 1984

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Pada 1 Januari 1884, lahirlah seorang putra bangsa yang besar. Bayi itu diberi nama Lesya oleh orangtuanya. Belakangan kita mengenalnya sebagai Prof. Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbacaraka (Purbacaraka).

Dia ahli bahasa dan kebudayaan Jawa yang sampai saat ini belum ada yang menandingi. Tetapi apa istimewanya?

Purbacaraka adalah seorang yang menjadikan dirinya sendiri, seorang self-made man. Seorang autodidak, dari jebolan sekolah dasar atas usahanya sendiri--tapi tidak sampai lulus--dia mencapai jenjang tertinggi dalam ilmu pengetahuan.

Teman sekolahnya calon sunan

Lesya adalah anak kedua seorang pegawai keraton Kasunan Surakarta. Menurut kebiasaan keraton, pegawai kerajaan dari waktu ke waktu dinaikkan pangkatnya. Pada saat itu pula gelarnya pun disesuaikan, kadang-kadang disertai dengan nama baru yang mencerminkan jabatan dan martabatnya.

Ayah Lesya mencapai jenjang kepangkatan tinggi dalam kalangan keraton, ia diangkat menjadi tumenggung dengan pangkat bupati anom. Dia dikenal kemudian dengan nama Raden Tumenggung Purbadipura. Tugasnya ialah memberikan pendidikan tari, karawitan dan sastra. Dia masih keturunan pujangga Yasadipura.

R.T. Purbadipura merupakan pegawai kesayangan Sunan Paku Buwana X dengan tugas sebagai penata busana, merangkap pemangkas rambut dan ahli nujum, penasihat spiritual raja. Di samping itu sang bupati berkembang menjadi seorang penyair kerajaan, yang menggubah lukisan-lukisan puitis tentang perlawatan raja ke semua daerah di Jawa.

Dia pun sangat berminat kepada sastra Jawa.

Pada usia sangat muda putra-putranya juga ikut menjadi abdi dalem di keraton. Salah satu tugas mereka ialah menemani putra-putra susuhunan masuk sekolah dasar Belanda. Antasena, salah seorang putra Paku Buwana X, kelak menggantikan ayahnya menjadi Paku Buwana XI. Termasuk di antara pangeran-pangeran kecil yang harus dikawal itu.

Tugas itu ternyata membawa manfaat bagi petugas kecil itu. Lesya memang anak yang cerdas. Sekalipun ia tidak pernah didaftarkan sebagai murid resmi, ia tekun mengikuti pelajaran sampai ke kelas enam. Tinggal satu kelas lagi lulus, ia dikeluarkan dengan alasan "terlalu tua".

Jadi ia tak pernah tamat sekolah dasar. Untuk mempraktikkan pelajaran bahasa Belanda yang didapatnya di sekolah, Lesya sering mengunjungi tangsi barisan pengawal Belanda. Prajurit-prajurit yang tinggal di sana rupanya senang juga bercakap-cakap dengan bocah Jawa yang pintar itu.

Menurut profesor Th. P. Pigeaud, Purbacaraka kemudian masih memakai istilah-istilah Belanda tertentu yang mengingatkannya pada hubungan dengan para pengawal raja itu. Dengan bekal yang didapat dari sekolah ditambah pengalaman praktik dengan pasukan pengawal keraton itu Lesya cukup mahir dalam bahasa asing itu. Rademakeer, kepala arsitek keraton, pernah berkata: "Kalau mau mencari orang Sala yang pandai berbahasa Belanda, carilah Lesya."

Mandor jalan

Lesya sangat gemar membaca. Sejak remaja ia sudah membaca karya-karya sastra Jawa klasik yang terdapat dalam perpustakaan ayahnya yang memenuhi empat lemari. Membaca buku koleksi ayahnya bukan pekerjaan mudah, apalagi karena remaja itu tidak mendapat didikan khusus di bidang sastra, dan sebagian kumpulan itu salinan naskah kuno.

Lebih-lebih kalau naskah itu ditulis dalam bahasa Jawa Kuno yang sudah tidak dikenal lagi oleh orang Jawa. Lesya sering minta tolong kepada ibunya, Mas Ajeng Semu alias Raden Rara Samsirah. Meskipun hanya wanita sederhana, tetapi ibunya itu gemar membaca dan tahu ceritera-ceritera klasik. Kalau bacaannya macet si anak muda bertanya kepada ibunya, sehingga jalan ceritanya bisa diikuti kembali.

Hal itu pun akhirnya tidak memuaskan hatinya, karena banyak kalimat, banyak kata-kata yang tak dapat dipahami. Lesya bertanya kepada ayahnya, kemudian kepada para ahli sastra Jawa, tetapi mereka tidak dapat menolong banyak, terutama kalau sudah mengenai bahasa Jawa Kuno. Akhirnya yang membantu studinya dalam bahasa Jawa Kuno–aneh, tapi benar–adalah pengetahuan bahasa Belandanya.

Dalam koleksi ayahnya ia menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Profesor Hendrik Kern, seorang ahli bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno terkemuka di Universitas Leiden.

Buku itu sebenarnya dipersembahkan oleh seorang pejabat Belanda kepada sunan, tetapi karena raja tidak bisa membacanya, ia menyerahkannya kepada R.T. Purbadipura, mungkin dengan harapan agar bupati anom itu bisa menerangkannya. Demikianlah buku yang menguraikan sebuah karya klasik Jawa Kuno sampai ke tangan pemuda Lesya.

Sementara itu susuhunan telah mengangkat Lesya sebagai priyayi. Pada kesempatan terbukanya lowongan niyaga atau pemain gamelan, anak muda itu ikut ujian dan berhasil lulus. Ia ditetapkan sebagai kepala jaga dengan gelar Raden Lurah Atmapradangga. Jabatan itu tak lama dipegangnya.

Menurut Pak Purba kemudian, "Tentu saja Sri Sunan khawatir ada pemuda tampan dekat-dekat pada dayang."

Dia dialihtugaskan menjadi Opzichter van de hogebomen langs de grote wegen ke sunan Surakarta dengan pangkat Mantri Anom. Tugasnya adalah mandor jalan yang mengawasi agar pohon-pohon di tepi jalan jangan terlalu tinggi, agar saluran air jangan mampet.

Pekerjaan itu rupanya tidak menyita waktu terlalu banyak, sehingga ia sempat berekreasi dengan berburu di desa-desa atau main sampan di sungai.

Di samping pekerjaannya sehari-hari ia tetap menekuni studi Jawa Kunonya tanpa bimbingan guru. Berkat kecerdasannya dan ketekunannya belajar, ia mengalami kemajuan cukup pesat.

Raksasa kedinginan

Kalangan keraton yang berminat pada sastra pada waktu-waktu tertentu biasa mengadakan pertemuan untuk membahas masalah-masalah kesusastraan. Kebanyakan yang dibicarakan ialah keterangan daripada kalimat-kalimat sulit dalam syair-syair Jawa Kuno.

Sebagai putra R.T. Purbadipura, Lesya diperkenankan hadir, tetapi sebagai pemuda yang tidak berarti ia sepatutnya tak ikut serta dalam perbincangan para ahli.

Pada suatu ketika, berkat usahanya yang tekun dan bekal pengetahuan yang dia dapat dari membaca buku Kern itu ia berhasil menemukan jawaban suatu masalah yang sedang diperbincangkan.

Agaknya Lesya terlalu gembira berhasil menemukannya, sehingga ia melupakan kedudukannya sampai berani mengajukan pendapatnya tanpa ditanya. Dengan demikian ia dianggap melampaui atau menentang atasannya.

Kemudian sengketa itu makin berlarut karena Pak Purba seringkali tidak dapat menyembunyikan kebenaran. Para sastrawan merasa disaingi, di samping cemburu oleh kelebihan anak muda yang tekun dan berani itu.

"Tatkala saya bergelimang lumpur kehinaan keadaan sekeliling di Sala dan mengacungkan tangan meminta pertolongan, maka Tuanlah yang menyambut dan menolongnya," demikianlah antaranya pernyataan terima kasih yang ditujukan kepada Prof. Dr. G.A.J. Hazeu dalam buku disertasinya, Agastya in den Archipel.

Waktu itu memang ia banyak musuhnya di Sala, karena dianggap sok tahu dan kuminter. Bahkan sebuah majalah bernama Taman Pawarta langsung mencerca: "Purbacaraka edan, Purbacaraka gila."

Sastrawan Sala banyak yang tersinggung, karena orang muda mereka anggap bukan apa-apa itu berani mengecam hasil karya mereka, atau terjemahan mereka ngawur. Sebagian bangsawan mengadakan perhimpunan yang mereka beri nama "Sito Danujo".

Menurut kamus Kawi himpunan Winter diartikan "Ksatria Utama". Berdasarkan asal kata dari bahasa Sansekerta, artinya "raksasa kedinginan", demikian Lesya waktu ditanyakan orang. Tentu saja orang yang memberi nama tersinggung, sehingga terjadi polemik ramai dan berkepanjangan.

Residen kebingungan

Karena merasa bahwa dia benar, Lesya merasa tidak betah di lingkungan keraton Sala. Lagi pula orang yang tidak menyukainya semakin bertambah, di samping dia merasa tidak puas ilmunya tidak berkembang sebagaimana mestinya.

Karena itu ia berusaha untuk keluar dari kekangan lingkungannya yang makin lama dirasakan semakin mencekik. Dia menulis sepucuk surat kepada Residen Surakarta Van Wijk, yang akhirnya akan sangat menentukan seluruh jalan hidupnya. Surat itu berbunyi sebagai berikut:

"Terhoendjoek Padoeka Kangdjeng Toean Resident di Soerakarta.

Jang bertanda tangan dibawah ini R. Ng. Poerbacaraka (Lesja) menteri Adjutant Keparak-kiwo, beroemah didalam kotta Soerakarta, menerangkan jang ia ada kebisaan bagai bahasa Kawi (Oud-Javaansch) dari belajar sendiri dari soerat-soerat: Ramayana oleh Prof. Dr. H. Kern, Bharatayuddha oleh Prof. Dr. Gunning, Adiparwa oleh Prof. Dr. H.H. Juynboll dan Iain-lain.

Dari pada itoe ia mohon kepada Regeering soepaya dipriksa (diexamen) ia poenya kebiasaan tadi: barangkali soedah tjoekoep ia mohon diberi tanda (diploma) jang ia soedah ada kebiasaan bagai bahasa terseboet dengan tjoekoep, dan kalau beloem ia hendak teroes beladjar sampai tjoekoep...."

Surat permohonan itu dilampiri dengan contoh terjemahan dari kitab Adiparwa. Tentunya Residen Surakarta D.F. van Wijk cukup kebingungan untuk menanggapi surat permohonan yang tidak sehari-harinya itu.

Dia memang menjelaskan kepada pemohon bahwa tidak ada ujian atau ijazah yang dimaksud dalam surat itu, tetapi bagaimana juga pejabat itu tidak menganggap sepi atau mengesampingkan permintaan Purbacaraka. Ia menulis surat kepada Dr. Hazeu, yang waktu itu menjabat sebagai Penasihat Urusan Bumiputra dan Arab dan Ketua Komisi Bacaan Rakyat.

Hazeu lalu menyurati Dr. D. A. Rinkes, Sekretaris Bacaan Rakyat (kemudian menjadi Balai Pustaka) mengenai kemungkinan diterbitkannya naskah Purbacaraka itu.

Karya itu agaknya memberikan kesan cukup baik, sehingga ia minta agar Rinkes mencari keterangan lebih lanjut mengenai siapa orang Jawa dari Sala yang mengirimkan naskah itu. Dia juga menambahkan bahwa mungkin kelak bisa dimanfaatkan tenaganya, juga disayangkan bahwa sekarang belum ada kemungkinan bagi orang seperti Purbacaraka untuk melanjutkan studi dalam bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta.

Pantang mundur

Jawaban Rinkes ternyata negatif. Dia tidak melihat manfaatnya untuk menerbitkan teks itu. Dia menilai karya itu kurang baik. Hazeu akhirnya juga terpaksa mengembalikan naskah dan saran agar naskah itu diterbitkan saja di Sala, misalnya dengan bantuan kasunanan.

Purbacaraka tidak putus asa dengan penolakan itu, bahkan ia mengirimkan naskah baru. Juga naskah itu tidak mendapat tanggapan baik dari Rinkes. Hazeu menyayangkan bahwa penulis yang menurut hematnya 'tidak terlalu jelek' harus dikecewakan.

Dia mengusulkan agar alasan-alasan penolakan itu dijelaskan panjang lebar. Agaknya usaha Purbacaraka untuk memperkenalkan karyanya ke Jakarta bukannya sia-sia belaka. Hazeu memperlihatkannya kepada Dr. N.J. Krom, waktu itu Kepala Dinas Purbakala.

Krom menilai karya itu 'tidak terlalu buruk', tetapi meragukan apakah ada manfaatnya menerjemahkannya dalam bahasa Jawa Baru, sebab sudah ada terjemahan Belanda dari Juynboll. Dia mengusulkan agar menguji kemampuan Purbacaraka dengan menugaskan Purbacaraka menerjemahkan karya Jawa Kuno yang belum pernah dikerjakan orang.

Sementara itu Purbacaraka menyurati Prof. Juynboll di Leiden untuk minta persetujuan menerbitkan tiga naskah yang sudah pernah dikerjakan Juynboll. Sarjana Belanda itu menganjurkan agar ia juga meneliti naskah-naskah lain yang tersimpan di koleksi museum di Jakarta. Selama itu Purbacaraka juga mempelajari naskah-naskah lain.

Antaranya naskah Smaradhana atau Terbakarnya Dewa Asmara yang lontarnya dimiliki sendiri. Sesuai dengan nasehat Juynboll, ia menulis kepada direksi Koninklijk Bataviaasch Genootschap di Jakarta agar diperbolehkan meminjam naskah-naskah Smaradhana lain yang disimpan dalam koleksi di Jakarta.

Setelah surat terakhir Purbacaraka itu, tiga orang sarjana Belanda, Hazeu, Rinkes dan Krom kembali berunding untuk membicarakan apa yang mereka bisa perbuat bagi pemuda Jawa yang berbakat dan pantang mundur itu.

Saran Krom akan menguji kebolehan Purba akhirnya diterima. Pada kunjungan Rinkes ke Sala ia segera melakukan pengetesan itu. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Usaha tekun selama bertahun-tahun belajar sendiri tanpa ada yang memberi bimbingan ternyata membuahkan hasil. Para sarjana Belanda di Betawi puas, bahwa dugaan mereka menemukan orang Jawa yang berbakat terbukti benar.

Gelar Doktor dari Leiden

Waktu itu Purbacaraka masih abdi dalem susuhunan yang dipekerjakan di bagian kesusastraan di kantor kepatihan. Mula-mula Paku Buwana X kurang setuju, "Piye, Buta Kedemen, tak sekolahke ngaya-ngaya, mbasa pinter njur lunga,” Butalahke ngayanjur lunga," (Bagaimana Raksasa Kedinginan, kau susah-susah kusekolahkan, sesudah pandai, lalu akan pergi). Berkat Berkat diplomasi Wijk dan surat resmi dari Rinkes akhirnya Purbacara diizinkan juga.

Di Jakarta Purbacaraka ditempatkan di Dinas Purbakala. Dalam tahun 1912 itu, menurut seorang pengamat Belanda kemudian, bagi seorang muda Jawa kelahiran Sala, pindah ke Betawi sama saja seperti emigrasi ke luar negeri.

Bagi Purbacaraka agaknya tak ada pilihan lain. Demi ilmu dan cita-cita yang dikejarnya, ia harus membetahkan diri tinggal dan menimba di sumber ilmu. Sumber itu berupa ahli-ahli bahasa bangsa Belanda dan koleksi kepustakaan di Museum Koninklijk Bataviaasch Genootschap.

Sebaliknya, Purbacaraka menjadi tempat bertanya bagi staf Dinas Purbakala dalam hal kesusastraan Jawa. Ia bekerja sama dengan erat dengan Dr. Krom dan P.V. van Stein Callenfels, seorang yang nantinya dijuluki sebagai "Bapak Prasejarah Indonesia".

Ia diajak keliling meneliti candi-candi. Kecuali itu Purbacaraka melanjutkan membaca syair-syair Jawa Kuno dan memperdalam pengetahuannya dalam bahasa itu, ditambah belajar bahasa Sansekerta, juga bahasa modern seperti Inggris, Prancis dan Jerman.

Hasil penelitiannya dituangkannya dalam bentuk artikel dalam majalah Tijdschrift voor de Indische Taal, — Land — en Volkenkunde berjudul "De Dood van Raden Widjaja, den eersten koning en stichter van Majapahit" (Matinya Raden Wijaya, raja pertama dan pendiri kerajaan Majapahit) tahun 1914.

Sejak itu karya-karya ilmiahnya terus mengalir. Ada sekitar dua puluh buah diterbitkan sebelum ia memperoleh gelar doktor di Negeri Belanda.

Setelah membuktikan ketekunan dan kebolehannya sebagai peneliti, dalam tahun 1921 Purbacaraka' mendapat kesempatan untuk memperdalam ilmunya di Leiden. Dia diangkat sebagai asisten Dr Hazeu yang kini menjabat guru besar bahasa Jawa di Universitas Leiden, dengan tugas mengajar bahasa Jawa modern kepada mahasiswa Belanda.

Dalam waktu kurang dari lima tahun Purbacaraka berhasil meraih gelar tertinggi dalam dunia akademik melalui tesisnya Agastya in den Archipel (1926). Kejadian itu boleh dikatakan sebagai luar biasa, sebab kita ketahui bahwa di samping tak pernah menamatkan sekolah dasar, dia tak pernah menempuh ujian-ujian universiter seperti persiapan, sarjana muda, sarjana.

Agaknya universitas tertua di Eropa yang didirikan empat ratus tahun y.l. itu memberikan perkecualian kepada Purbacaraka, karena mengetahui kebolehannya lewat karya-karya yang diterbitkan.

Dikira penjaga sepeda

Sekembalinya ke tanah air ia ditempatkan pada staf museum (kini Museum Nasional) dan ditugaskan membuat katalog naskah Jawa yang tersimpan di sana. Dalam lapangan pekerjaan itu ia bisa diibaratkan seperti ikan masuk ke air.

Prof. Pigeaud, guru besar bahasa Jawa di Leiden, mengatakan bahwa sarjana lain mungkin takkan mampu mengerjakan tugas raksasa memeriksa seluruh naskah yang terhimpun selama hampir satu abad. Di luar tugas utamanya itu Pak Purba masih sempat menulis banyak karya ilmiah.

Sesudah kemerdekaan ia menduduki jabatan guru besar pada Universitas Gadjah Mada, Indonesia dan Udayana. Di samping mengajar di tiga universitas itu ia terus menuliskan hasil penelitiannya di bidang filologi dan sejarah di pelbagai majalah ilmiah di Indonesia dan di Belanda.

Hasil telaahnya selama bertahun-tahun itu dituangkan dalam bukunya Kapustakan Jawi (Kepustakaan Jawa) yang diterbitkan dalam tahun 1952. Yang pernah menjadi mahasiswanya masih mengenang banyak anekdot dan hal aneh-aneh tentang guru besar yang selalu mengenakan kain, baju beskap, blangkon Sala dan berselop itu.

Kadang-kadang dilengkapi dengan caping biasa yang dipakai orang desa dan tongkat bambu. Di Gajah Mada pernah ada mahasiswa baru yang menyangkanya sebagai penjaga sepeda, sebab ia duduk dengan santainya di sebuah bangku di tempat penitipan sepeda.

Pak Purba memang diakui sebagai sarjana besar dan ahli di bidangnya, tetapi banyak yang berpendapat bahwa dia umumnya kurang berhasil menularkan ilmunya kepada mahasiswanya. Tetapi mengikuti kuliah guru besar ini seringkali merupakan pengalaman unik.

Kuliah Pak Purba selalu "hidup". Dalam menerangkan sastra lama, kadang-kadang Pak Purba sampai menangis oleh keindahan gaya bahasa atau keluhuran ajaran yang dikandungnya. Pernah juga Pak Purba mencabut selopnya lalu memukul-mukulkan ke meja untuk memberikan tekanan pada yang diucapkannya, mengingatkan kita kepada ulah Kruschev yang memukulkan sepatunya di mimbar PBB karena marahnya.

Kepalamu itu batu!

Pada suatu ketika ia harus menjelaskan arti kata "menggonggong". Anjing menggonggong sekarang diberi arti anjing menyalak. Dulunya tidak begitu. Pak Purba membanting slepen (dompet rokok terbuat dari anyaman pandan) ke meja lalu menggigit dompet itu dan lari mondar mandir di depan kelas.

"Inilah arti menggonggong. Bukan menyalak, tetapi melarikan dengan mulut." Tak jarang juga satu jam kuliah habis hanya untuk menerangkan asal-usul dan arti sebuah kata. Pada suatu kali di tengah kuliah tiba-tiba Pak Purba berhenti. "Sssstt.... diam!" katanya sambil memasang telapak tangan di belakang telinga. Para mahasiswa bingung, apa yang gerangan didengarkannya. Hur, ketekuk, hur, ketekuk.... Ada perkutut sedang "manggung".

Tetapi bunyinya belum memuaskan hati guru besar itu. "Suaranya masih muda," komentarnya. Maka kuliah pun dilanjutkan.

"Kalau kaulihat Borobudur, apa yang kaulihat?" tanya Pak Purba kepada seorang mahasiswa.

Agak gagap, mendapat pertanyaan tiba-tiba, jawab sang mahasiwa: "Batu, Pak." Langsung dijawab kembali oleh maha guru itu: "Kepalamu itu batu!"

"Purbacaraka adalah seorang yang berbakat, dan ia memanfaatkan benar-benar bakatnya itu. Ketekunannya tidak berkurang sampai pada akhirnya...." demikian Dr. Pigeaud. Selama hidupnya tidak kurang dari tujuh puluh judul karangan yang ditulisnya. Dua tahun sebelum meninggal masih ada karangan tentang Nyai Lara Kidul yang terbit dalam majalah Penelitian Sejarah.

Dalam keadaan sakit-sakitan dalam tahun terakhir hayatnya ia masih rajin membaca, menyiapkan artikel untuk majalah Bahasa dan Budaya serta seminggu sekali memberikan bimbingan bagi siswa-siswanya yang mempersiapkan disertasi doktoral.

Pindah ke "udik"

Menjelang akhir hidupnya, pada usia delapan puluh, nasib buruk masih mengejarnya. Karena sengketa keluarga, Pak Purbacaraka terpaksa meninggalkan perumahan UI di mulut Gang Kenari. Ia mengontrak sebuah gubuk yang berlampu teplok di Kampung Kawi-Kawi Dalam.

Letaknya lebih dari 2 km dari perempatan Kramat Raya/Raden Saleh, masuk dari Gang Sentiong. Dua puluh tahun yang lalu daerah itu masih sangat "udik", tidak ada kendaraan lain kecuali becak, jalan-jalannya becek berlumpur, daerah perkampungan yang belum tersentuh oleh perkembangan kota.

Waktu itu wartawan Intisari yang menjenguk mendapatkannya sedang berbaring di dua kursi yang disatukan. Setumpuk buku terletak di atas meja yang tak berpolitur. Terkesan oleh keadaan yang mengelilingi maha guru, dan sarjana yang mempunyai reputasi melampaui batas negaranya itu, wartawan tersebut serta merta bertanya: "Apakah Pak Purba menyesali hidup ini?"

Mendadak ia bangkit terduduk, membentak dengan tegas: "Sesal? Oh, sama sekali tidak. Ik heb geen spijt van mijn leven. Saya rela mati, sekarang juga." Mengapa tidak ada penyesalan sedikit pun? "Lho, mengapa? Aku iki bocah kampung bergajul Sala bisa dadi kaya ngene. Apa ana ta? (Saya ini anak kampung bregajul Sala yang bisa jadi seperti ini. Apa ada lainnya?). Sambungnya lagi, "Dalam karier saya sebagai sarjana, saya telah memberikan sumbangan kepada masyarakat. Yaitu dapat mengartikan hal-hal yang tadinya tak dipahami orang lain."

Tanpa menyesali jalan hidupnya, karena merasa telah menghadapi dengan sikap perwira, Purbacaraka tetap tinggal di gubuk berlampu minyak di kampung yang becek, sampai akhirnya tutup usia pada tanggal 25 Juli, 1964.

Artikel Terkait