Find Us On Social Media :

Goyang-goyang Yang Terlarang Karena Dianggap Lekat Dengan Aroma Malima

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 3 Juli 2024 | 12:05 WIB

Karena dianggap erotis, ada beberapa goyangan atau tarian tradisional yang masuk kategori terlarang. Dikaitkan dengan malima.

Kelonggaran budaya Timur

Tak jelas kapan terjadi pergeseran dari tayub sebagai ritual menjadi sekadar hiburan yang menonjolkan erotisme. Setidaknya, dalam The History of Java (1817), Thomas Stamford Rafflees telah mencatat stigma terhadap ledhek atau ronggeng. Pelaku profesi itu digambarkan berperilaku kurang terhormat, bahkan selalu diasosiasikan dengan pelacur.

Hilarius menduga, pergeseran kian parah setelah tayub kerap dijadikan pertunjukan pada “kunjungan dinas” penguasa kerajaan di masa kolonial Belanda pada abad ke-19 dan ke-20.

Telah terjadi pergeseran atau tidak, sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, melihatnya sebagai bentuk kelonggaran akan seksualitas pada budaya Timur saat itu. Sebelum akhirnya Jawa dipengaruhi agama-agama wahyu, Islam dan Kristen, kecenderungan mentoleransi aktivitas beraroma seks dan erotisme justru melebihi Barat.

Dengan semakin meluasnya pengaruh kaum agamis hingga ke kalangan bawah, barulah terjadi upaya pengendalian terhadap segala sesuatu yang liar (menurut definisi peradaban). Bentuknya antara lain melalui pelarangan-pelarangan, mirip seperti yang akhirnya dialami Inul di kemudian hari.

Dalam perjalanannya kemudian, tayub selalu berkaitan erat dengan madya (alkohol) dan maithuna (persetubuhan). Walau peradaban, yang diwakili kelas menengah, selalu berupaya mengekang, tetapi akan selalu muncul wujud-wujud baru erotisme dan seksualitas di masyarakat mana pun.

Seperti telah diungkap psikolog Sigmund Freud atau Herbert Marcuse, di mana seksualitas merupakan kecenderungan alamiah manusia untuk menyatakan diri. Manusia memang cenderung mendapatkan pengalaman-pengalaman seksual hingga limitnya. Bentuknya dapat berupa seni, tarian, lukisan, dsb.

Semakin peradaban berusaha mengendalikan, malah akan semakin terlihat hipokrit.

“Peradaban barulah yang dapat mengatur jika eksistensi seksualitas atau erotisme telah membahayakan sistem dan hukum yang alamiah. Seperti halnya free sex yang dapat menimbulkan bermacam-macam akibat, seperti penyakit, sehingga dianjurkanlah safe sex. Atau kerusakan-kerusakan pada organ tubuh tertentu pada orang dengan perilaku biseksual, telah menjadi batas alamiahnya,” jelas sosiolog yang memperoleh gelar Ph.D. bidang Sociology of Knowledge/Culture dari University of Essex, Inggris ini.

Dengan pemikiran seperti itu, wajar jika pembatasan terhadap pekerja seni, macam Inul dan sejawatnya yang lain, akan dipandang aneh oleh sebagian masyarakat. Terutama kelas bawah, yang masih menerima erotisme sebagai bagian dari ekspresi berkesenian mereka.

Dangdut, tayub, maupun bentuk kesenian lokal lain di banyak tempat, akan terus tampil dalam erotikanya. Selanjutnya ... terserah Anda.