Find Us On Social Media :

Goyang-goyang Yang Terlarang Karena Dianggap Lekat Dengan Aroma Malima

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 3 Juli 2024 | 12:05 WIB

Karena dianggap erotis, ada beberapa goyangan atau tarian tradisional yang masuk kategori terlarang. Dikaitkan dengan malima.

Di Sumatra, tepatnya di Pulau Bintan, menurut Hilarius, berkembang juga joget jangkung dan makyong. Sementara di Bali, seperti ditulis Putu Setia dalam situs Hindu Indonesia Raditya, berkembang joget. Sebuah tarian pergaulan yang diiringi genjek, “musik pengiring” berupa nyanyian dengan pantun-pantun yang nakal.

“Iringan genjek memberi peluang untuk menari lebih erotis. Saya percaya itu, karena genjek bermusik lewat mulut, keplok tangan, dan iringan gamelan seadanya, sehingga mudah berimprovisasi,” tulis Putu.

Kedekatan antara tari-tarian pergaulan di Jawa dengan erotisme dan akhirnya aktivitas seksual, tak lepas dari ritual-ritual masa lalu berupa permohonan akan kesuburan.

Daerah-daerah pengembangan tari itu memang didominasi budaya agraris. Kekuatan menggerakkan daya-daya gaib itu antara lain dipercaya akan didapat dari tindakan magi simpatetis, yaitu perbuatan yang melam bangkan terjadinya pembuahan dalam hubungan pria-wanita.

Dalam ritual, pengungkapannya sering dimanifestasikan dengan gerakan seputar organ reproduksi. Yaitu gerakan-gerakan yang terpusat pada perut, pinggang, pinggul, dan paha.

“Begitu juga dengan tari-tarian daerah lain yang memusatkan gerakan di bagian-bagian tubuh ini, semua dimaksudkan mewakili unsur reproduksi yang mewakili kesuburan,” jelas Hilarius seraya memperagakan tarian asal Papua dan Afrika yang banyak menggoyangkan paha, mirip orang kedinginan.

Saat pertunjukan, para penari tayub tampil dengan aksi-aksi menggoda, seperti tata rias menor, aroma wewangian, kain sebatas dada (dodot basahan), gerakan erotis, serta ajakan kepada penonton untuk menari.

“Tapi, mereka melakukannya dengan tidak bercanda. Semua serius untuk ritual. Bahwa kemudian ada unsur seks atau malah ke arah pelacuran, itu merupakan side effect saja,” tandas Hilarius yang menyebut upacara papis pada suku Asmat di Papua sebagai contoh lain. “Pada papis, pertukaran antarpasangan suami-istri juga dilakukan dengan serius. Antara lain, maknanya agar benih-benih kehidupan tertumpah memenuhi bumi demi kesuburan.”

Penjelasan makna tayub sebagai ritual sakral, yang mungkin sulit diterima rasio manusia modern, termuat dalam situs Javanews.net. Tayub digambarkan sebagai upaya bagi golongan penganut agama Çiwa (aliran Çakta) dalam meniadakan diri guna mencapai moksa dan mempersatukan diri dengan Tuhan. Atau, dalam terminologi Jawa, dikenal sebagai manunggaling kawula-Gusti.

Dalam keyakinan mereka, melakukan sesuatu yang dilarang bagi manusia biasa, merupakan ritual suci. Karena prinsipnya, tidak ada yang terlarang bagi orang suci.

Bahkan, menjalankan larangan secara berlebihan, dipercaya mendatangkan kemampuan gaib. Yang dikategorikan terlarang bagi orang biasa mencakup ma-lima, yaitu mamsa (daging), matsya (ikan), madya (alkohol), maithuna (persetubuhan), dan mudra (sikap tangan).

Dalam perjalanannya, tayub selalu berkaitan erat dengan dua dari ma lima, yaitu madya yang selalu hadir dalam pergelaran tayub serta ditingkahi unsur maithuna di dalamnya. Namun sayangnya, lagi-lagi dua hal itu dihayati hanya sebagai kepuasan sesaat.