Find Us On Social Media :

Goyang-goyang Yang Terlarang Karena Dianggap Lekat Dengan Aroma Malima

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 3 Juli 2024 | 12:05 WIB

Karena dianggap erotis, ada beberapa goyangan atau tarian tradisional yang masuk kategori terlarang. Dikaitkan dengan malima.

Maka jangan heran jika Inul Daratista ini pun berani menolak jika goyangannya dicap erotis. Selama tidak mempertunjukkan gerakan menantang dan berpakaian minim, dia tidak merasa erotis.

Pemikat instan

Dia bilang, goyang ngebor merupakan reaksi alamiah tubuhnya. “Kalau dengar dangdut, rasanya ndak enak kalau enggak goyang,” tuturnya di sela-sela pertunjukan di sebuah stasiun televisi, akhir Februari lalu.

Bisa jadi, Inul hanya berkilah. Namun, begitu lah ciri musik dangdut yang sesungguhnya. Sebagai kesenian rakyat yang dianggap kelas bawah, dangdut tampil begitu polos, lugas, dan apa adanya. Syair-syairnya seakan tak pernah ambil peduli pada pengandaian yang penuh metafora, baik saat bertutur mengenai keseharian, cinta, maupun derita.

“Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati,” demikian yang terucap dalam sebuah lagu yang mungkin pernah, bahkan sering, Anda dengar.

“Di sinilah keunggulan dangdut yang begitu terus terang dan jujur. Irama stakatonya yang menghentak, begitu universal, dan bisa mengajak semua bergoyang, tanpa banyak aturan. Penyanyi memadukannya dengan erotisme sebagai pemikat instan,” jelas Hilarius S. Taryanto, Ketua Jurusan Kajian Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Kehadiran erotisme dalam kesenian modern kita, seperti dangdut, berakar dari goyang serupa dalam tari-tarian pergaulan tradisional. Dalam catatan Hilarius, setidaknya ada tiga sumber tari pergaulan di Jawa.

Tayub atau ledek atau lengger di Banyumas, ronggeng gunung di Garut dan Sumedang atau disebut “Sunda halus”, serta ketuk tilu di antara Subang sampai Cikampek atau disebut “Sunda kasar”.

Dibandingkan dengan dua lainnya, tayub mempunyai massa paling banyak. Penyebarannya hampir meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua wilayah itu memang memiliki kesamaan budaya. Saat mendekat ke Istana Mataram, tarian itu mengalami penghalusan menjadi gambyong. Evolusinya ke timur hingga Banyuwangi, menjadikannya gandrung.

Sedang ronggeng gunung dan ketuk tilu hingga kini masih bertahan dengan bentuk aslinya di daerah masing-masing. Meski ada juga yang mengalami perubahan nama karena penggolongan bunyi menjadi kliningan di daerah sekitar Majalengka hingga Indramayu, Jawa Barat.

Perpaduan keduanya dapat diterima seluruh lapisan masyarakat dalam bentuk jaipong, karya seniman tari Gugum Gumbira.