Find Us On Social Media :

Festival Tas Nusantara 2024 Menangkal Punahnya Tas-tas Khas Indonesia

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 2 Juli 2024 | 13:28 WIB

Festival Tas Nusantara (FESTARA) 2024

“Kalau tidak segera ada festival, nanti segera punah,” tegas Heru Mataya, penggagas Festival Tas Nusantara (FESTARA) 2024 di Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Siang itu, Sabtu (22/6), Balai Kota Surakarta ramai orang. Ada gawe lagi di sana, sebuah festival yang punya misi untuk menyelamatkan tas-tas Nusantara dari ancaman kepunahan. Namanya Festival Tas Nusantara 2024. Barangkali ini adalah festival tas pertama yang ada di Indonesia.

Dalam festival tersebut, setidaknya ada 42 artisan tas yang terlibat. Tak hanya dari Solo dan sekitarnya, tapi juga dari Surabaya, Malang, Temanggung, Bandung, Yogyakarta, dan kota-kota lainnya. Selain ada 16 UMKM dan komunitas, ada 22 kelompok usaha yang juga terlibat dalam acara yang diselenggarakan selama dua hari itu, Sabtu-Minggu, 22-23 Juni 2024.

Seperti disebut di awal, FESTARA 2024 adalah sebuah upaya Mataya Art & Heritage untuk melestarikan tas-tas tradisional yang berada di seantero Nusantara. Heru Mataya, direktur program FESTARA 2024, berharap dia bisa menyelenggarakan agenda serupa tahun depan, dengan skala yang lebih besar.

“Saya kebetulan orang yang suka jalan-jalan, dari daerah satu ke daerah yang lain. Di tiap daerah, saya melihat khasanah Nusantara yang luar biasa, di antaranya adalah tas,” ujar Heru. Dari situ dia punya gagasan untuk memetakan tas-tas yang ada di pelosok Nusantara. Tujuannya cuma satu: supaya tidak punah.

Ide mengadakan FESTARA, menurut pengakuan Heru, muncul tiga tahun yang lalu. Ketika itu dia sedang berada di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur–yang juga terkenal akan kekayaan wastranya. Dari situ muncullah ide itu, “Kalau tidak segera ada festival, nanti akan punah,” akunya, terlebih ketika melihat hadirnya tas-tas plastik yang lebih praktis dan mudah dibeli.

Setelah tiga tahun, ide yang lama mengendap itu akhirnya terwujud juga. Untuk menyukseskan ide besar itu, Heru melihatkan jejaringnya: para desainer tas, artisan tas, hingga kreator tas yang dia kenal, dia ajak. Heru bahkan bisa menghadirkan noken, tas tradisional asal Papua, pada festival tersebut.

Dalam kesempatan tersebut, FESTARA juga memberikan penghargaan khusus, Anugerah FESTARA Awards, kepada Susmirah, pelestari dan pengrajin tas berbahan agel dari Kulonprogo, Yogyakarta. Nanti kita akan punya cerita sendiri tentang wanita 62 tahun itu.

“Tahun depan, harapannya ada lagi, dengan skala yang lebih besar,” kata Heru. “Dari situ saya berharap bisa membuka kran-kran yang tersumbat (terkait tas Nusantara). Kebetulan saya juga banyak teman artisan tas, semoga mereka bisa mengirim karya terbaik mereka.”

Ibu Susmirah sumringah karena agel

Susmirah menjadi salah satu sosok inspiratif yang diundang untuk datang di acara FESTARA 2024. Tak sekadar datang, Ibu Sus–begitu dia biasa disapa–juga diberi penghargaan khusus, Anugerah FESTARA Awards, karena dedikasinya dalam mengembangkan kerajinan tas Nusantara. Bahkan ada satu sesi khusus pada festival tersebut di mana Ibu Sus menjadi pembicaranya. Dia ditemani oleh salah satu putrinya, Indri.

Di situ, Ibu Sus bercerita bagaimana dia dan keluarganya berkenalan dengan agel yang kelak memberi rezeki dan legasi. Menurut penuturannya, di desanya, yang berada di Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, banyak ditumbuhi tanaman palem atau agel. Suatu ketika, pohon-pohon itu ditebangi karena dianggap sudah “tidak menguntungkan” lagi secara ekonomi.

Kebetulan saat itu ada pelatihan kerajinan, “Saya pun memanfaatkan daun-daun agel itu sebagai bahan membuat tas,” ujar Ibu Sus yang secara resmi memulai bisnis tasnya pada era 1980-an. Saat itu skalanya masih kecil-kecilan saja.

Untuk pasar, Ibu Sus memilih menjualnya di Kota Yogyakarta, tepatnya di sepanjang Jalan Malioboro yang legendaris itu. “Saat itu apa-apa masih sendiri, cari bahan sendiri, membuat sendiri, memasarkannya juga sendiri,” ceritanya. Biasanya, sekali berangkat ke Malioboro, Ibu Sus menjual sekitar 10 kerajinan.

Dari situ, bisnis tasnya mulai merangkak naik. Karena permintaan semakin banyak, mau tak mau dia harus merekrut pekerja–yang dia ambil dari orang-orang di sekitar rumahnya alias tetangganya sendiri. Sebelum siap bekerja, mereka dilatih terlebih dahulu oleh wanita yang sekarang berusia 62 tahun itu.

Tahun 1997, Indonesia dilanda krisis moneter hebat. Banyak lini bisnis yang bertumbangan, dari yang skalanya besar hingga yang paling kecil. Tapi hal sebaliknya terjadi pada bisnis tas Ibu Sus. Alih-alih ikut gulung tikar, usaha tas dengan jenanama Jogjavanesia Craft itu justru berkibar. Banyak permintaan datang, tak hanya dari dalam, tapi juga dari luar negeri.

Selain itu, “Banyak orang yang datang untuk belajar membuat kerajinan tas dari serat alam,” tutur wanita yang sejak 2000-an sudah memasrahkan bisnisnya kepada salah satu putrinya, Indri Widianti, itu. Tak hanya mengelola, Indri juga bertanggung jawab dalam urusan pemasaran.

Meski sempat agak terpengaruh pandemi Covid-19, bisnis tas Ibu Sus itu tetap eksis hingga sekarang. Terlebih karena Indri adalah sosok yang terus berinovasi mengembangkan tas berbahan anyaman agel itu.

Dan kini, tak hanya tas, bisnis yang dirintis oleh Ibu Sus itu juga merambah ke barang lain. Mulai dari topi, sandal, dompet, dan lain sebagainya. Serat alam yang digunakan sebagai bahan juga tak melulu agel, ada juga pandan, enceng gondok, juga mendon.

Sigit melambung berkat janur

Artisan lain yang terlibat dalam FESTARA 2024 adalah Sigit Paripurno yang dikenal khalayak sebagai seniman janur. Spesialisasi Sigit sebenarnya di segala sesuatu yang dibuat dari janur, termasuk salah satunya adalah tas. Pria kelahiran 1988 itu terlibat dalam festival tersebut lewat jalur undangan.

“Saya kenal janur sejak kecil, kebetulan kakek saya adalah seorang abdi dalem di Keraton Kasunanan Surakarta yang tugasnya membuat dekorasi,” ujar pria kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, itu. “Sejak SD saya sudah diajak untuk bantu-bantu kakek. Tapi baru pada 2016 saya benar-benar aktif di janur.”

Berkat janur, Sigit sudah kini diakui dunia dan membawanya ke luar negeri. Belum lama ini, dia pergi ke Belgia. Dan dalam waktu dekat, dia juga akan pergi ke Filipina, lagi-lagi dengan embel-embel seniman janur.

Jika kamu masih ingat pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono pada Desember 2022 lalu, di sepanjang Jalan Slamet Riyadi terpasang banyak umbul-umbul, “Nah, itu saya yang buat,” ujarnya sambil terkekeh. Sigit juga mengaku dapat proyek di Ibukota Nusantara untuk perayaan 17 Agustus 2024 nanti.

Soal bahan baku, Sigit mengaku mendapatkan janur-janur itu dari banyak tempat. Tapi yang paling banyak dari Pacitan, Jawa Timur, terlebih jika skala pesanannya besar. “Tapi jika kecil-kecilan, beli di pasar sekitar rumah saja,” tuturnya.

Noken yang curi start duluan

Noken khas Papua menjadi salah satu “tamu istimewa” FESTARA 2024. Yang menarik dari noken, dan rasanya banyak yang belum tahu, tas khas Papua itu ternyata sudah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO. Artinya, ia mendahului saudara-saudaranya sesama tas Nusantara.

Pada 4 Desember 2012 lalu, noken resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) oleh UNESCO, sebagaimana dilansir Kompas.com. UNESCO menetapkan noken sebagai warisan budaya tak benda di Paris, Prancis, kategori "in Need of Urgent Safeguarding" atau warisan budaya yang membutuhkan perlindungan mendesak.

Titus Pekei, pendiri Yayasan Ekologi Papua, adalah orang yang punya andil besar dalam diakuinya noken oleh UNESCO. Dia melakukan penelitian tentang noken dari 2008 hingga 2010. Hasil dari penelitian itulah yang dia gunakan untuk mendaftarkan noken ke UNESCO.

"Dari hasil penelitian di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat, kami menemukan ‘noken’ sebagai kata universal yang dipakai masyarakat untuk menyebut kerajinan tangan ini. Kami kemudian mendaftarkan nama ‘noken’ dari ratusan nama yang diusulkan ke UNESCO. Mereka memilih kata noken sebagai sebutan yang umum untuk warisan dunia tak benda dari Papua ini,” ungkap Titus.

Mengutip situs Warisanbudaya.kemdikbud.go.id, noken merupakan hasil daya cipta, rasa dan karsa yang dimiliki oleh masyarakat Papua. Secara umum, bentuk dan fungsinya seperti tas pada umumnya.

Meski begitu, masyarakat Papua tidak menganggapnya begitu. Bagi mereka, noken punya perbedaan yang sangat signifikan dengan tas yang diproduksi pabrik, baik secara bahan, jenis, model maupun bentuknya. Lalu bagaimana masyarakat Papua melihat dan mendefinisikan noken?

Pertama, bagi mereka, noken adalah wadah yang dirajut dan dianyam dari pohon atau daun yang kadang diwarnai dan diberi berbagai hiasan termasuk pewarna demi memenuhi kepuasan batin perajin dan terutama penggemarnya.

Selain itu, noken adalah kerajinan tangan yang berasal dari hampir semua suku bangsa di Papua, yang dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan untuk mengisi, menyimpan, dan membawa barang kebutuhan sehari-hari.

Sosiolog Universitas Cenderawasih Jayapura, Avelinus Lefaan, sebagaimana dimuat Kompas.ID, mengatakan, dari sudut pandang sosiologi, noken bermakna sebagai media untuk memanusiakan manusia. Selain dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu, noken juga mengandung nilai kemanusiaan, seperti saling menghargai antara warga setempat dengan warga non-suku Papua.

Dia juga menambahkan bahwa simpul yang membentuk noken melambangkan jaringan struktur sosial yang dinamis. Artinya, masyarakat Papua bisa menjalin hubungan dengan siapa saja. Meskipun bentuk dan nama noken beragam, tetapi tetap menjadi representasi kultural orang Papua.

Titus sendiri, dalam bukunya Cermin Noken Papua: Perspektif Kearifan Mata Budaya Papuani (2013), mendeskripsikan noken sebagai pengikat batin anak dengan orangtua. Sering kali noken yang dibuat mama untuk anaknya menjadi obat rindu saat anak dan orangtua terpisah jarak dan waktu.

Dia menilai noken menjadi sumber kemandirian dan kreativitas masyarakat Papua yang terus berjuang di tengah era modernisasi dan minimnya dukungan dari pemerintah. Dia berharap pemerintah daerah setempat memberdayakan para perajin dan menyiapkan tempat yang layak agar mereka terus berkarya demi kelestarian noken di masa mendatang.

Noken secara umum adalah tempat membawa atau menyimpan semua barang berupa tas rajutan dan anyaman tangan. Juga tempat untuk menyimpan barang pribadi, karena dengan melihat isinya, maka orang sudah mengetahui siapa pemilik noken tersebut.

Di Papua, noken memiliki beragam sebutan, sesuai dengan nama daerah di mana noken itu dikreasikan. "Di Hugula noken disebut dengan su; Suku Dani menyebutnya dengan jum; Yali menyebutnya sum; di Biak disebut dengan inoken atau inokenson; orang-orang Mee menyebutnya agia; Asmat menyebutnya ese; lrarutu disebut dump, dan lain sebagainya," tulis situs yang dikelola oleh Kemendikbud itu.

Kabarnya, ada 250-an suku di Papua yang mengenal dan menggunakan noken dalam kehidupan sehari-hari. Karena itulah, noken menjadi sebuah kebudayaan yang terus dipakai secara turun temurun, sehingga tidak diketahui secara jelas bagaimana noken berkembang di Papua. Berbagai informasi menyebutkan bahwa sejak dahulu noken juga digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari.

Di antara fungsi noken adalah untuk membawa hasil kebun, hasil laut, kayu, hewan kecil, barang belanjaan, uang, sirih, makanan, buku, bahkan untuk membawa bayi yang masih kecil. Noken juga dapat dipakai sebagai tutup kepala atau badan.

Masih dari sumber yang sama, noken bagi orang Papua adalah "rumah berjalan" yang di dalamnya berisi segala kebutuhan. Noken juga dianggap sebagai simbol kesuburan perempuan, kehidupan yang baik, dan perdamaian. Di berbagai suku di Papua noken menunjukkan status sosial penggunanya. Orang terkemuka dalam masyarakat, misalnya kepala suku, kadang-kadang memakai noken dengan pola dan hiasan khusus.

Noken, yang biasanya dibuat dari serat pohon, kulit kayu, daun pandan, dan rumput rawa, umumnya dibuat oleh wanita atau mama-mama Papua yang rata-rata sudah berusia lanjut, yang disebut dengan "Mama Noken". Tapi ada juga noken yang dibuat oleh para pria, terutama di Suku Mee dan dinamakan Meuwodide alias bapak-bapak Papua di daerah Suku Mee.

Biasanya, bahan-bahan yang disebut di atas, akan diproses secara konvensional sehingga menjadi benang yang kemudian digunakan untuk merajut. Setiap suku punya caranya masing-masing untuk mengolah bahan baku tersebut. Ada yang membuatnya dengan cara memotong beberapa jenis pohon khusus yang dipanaskan di atas api hingga layu, lalu direndam dalam air selama beberapa hari.

Ada juga perajin yang menguliti batang pohon lalu kulitnya saja yang direndam. Kulit pohon lepas dari batangnya, lendir kulit pohon keluar, hingga tinggal seratnya. Ada juga yang menguliti batang kayu kecil, lalu batang kayu tersebut dipukuli hingga tinggal seratnya.

Serat kayu yang didapat kemudian dikeringkan menjadi bahan serat yang kemudian dipintal hingga menjadi benang kuat dengan telapak tangan di atas paha perajin. Serat tersebut kadang diwarnai dengan warna alami (contoh, Suku Dani/Hugula). Benang itu kemudian dirajut dengan tangan untuk membuat tas jala dengan berbagai pola dan ukuran. Di daerah Paniai ditemukan noken khusus yang diberi hiasan dari serat tangkai anggrek berwarna kuning, hitam dan coklat.

Seperti halnya nasib benda-benda warisan tradisi lainnya, noken saat ini juga menghadapi ironi. Bagaimana tidak, noken sudah jarang digunakan dalam keseharian. Di Desa-desa Papua, noken memang menjadi sebuah barang penting yang digunakan untuk berbagai aktivitas, namun di kota noken sudah mulai ditinggalkan.

Ada beberapa faktor, salah satunya adalah berkembangnya industri dan teknologi yang punya andil besar terhadap hilangnya budaya lokal, noken salah satunya. Industri memungkinkan hadirnya tas-tas pabrikan yang lebih praktis untuk dipakai sehari-hari. Selain itu, sulitnya mendapatkan serat kayu yang merupakan bahan baku utama pembuatan noken juga menjadi salah satu faktor yang mengancam keberadaan noken.

Selain itu, regenerasi yang mumpuni juga menjadi persoalan. Seperti disebut di awal, noken kebanyakan hanya dibuat oleh mama-mama Papua yang sudah tua sementara anak-anak muda tidak memungkinkan untuk melanjutkannya--entah karena urusan pendidikan atau yang lainnya.

Untung saja, pada 2012 lalu noken resmi diakui UNESCO sebagai salah satu warisan budaya tak benda dari Indonesia yang, mau tidak mau, membuatnya dilihat oleh mata dunia. Harapannya, dengan begitu, kelestarian noken sebagai salah satu warisan budaya Indonesia, khususnya Papua, tetap terjaga hingga masa yang akan datang.

Itulah cerita dari Festival Tas Nusantara 2024 kemarin, semoga acara tersebut bisa mewujudkan mimpi besarnya: menjaga tas-tas Nusantara dari kepunahan. Amin!