Find Us On Social Media :

Sunan Drajat, Benarkah Ditolong Ikan Cakalang Sebelum Berdakwah Di Sekitar Paciran?

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 1 Juli 2024 | 11:09 WIB

Sunan Drajat

Ini membuatnya mampu mengajar kepada penduduk sekitar di desa Drajat - lantas disebutlah ia sebagai Sunan Drajat.

Dari pengisahan Syam ini tersebutlah suatu kisah mistik. Seperti dikutip Simon, suatu hari pantai utara Tuban dilanda angin topan, konon karena selain penduduk tak sudi memeluk Islam ternyata bahkan menghina pula.

Begitu banyak orang terseret oleh gelombang laut, termasuk para santri Sunan Drajat sendiri. Maka Sunan Drajat naik perahu, berdoa, dan redalah badai itu, sehingga ia bisa menolong para santrinya maupun orang-orang lain, yang selama ini telah menghinanya.

Para santri dan pembantu Sunan Drajat konon protes atas pertolongan yang tidak pilih kasih itu, tetapi Sunan Drajat tidak berhenti menolong siapa pun yang harus ditolong.

Tentu saja cerita ini sendiri sangat berbau dakwah, dan karena itu tidak perlu dipersoalkan benar tidaknya, karena dengan suatu cara juga memanfaatkan sebagai data bahwa dongeng yang mana pun memiliki kepentingannya sendiri.

Wacana lokal dan politik identitas

Meski tanpa dasar yang ilmiah, terdapat sejumlah informasi mengenai kegiatan Sunan Drajat, misalnya bahwa ia berdakwah dengan memanfaatkan kesenian. Dalam lembang mijil yang konon diciptakannya, seperti dikutip Simon, tercatat lirik seperti berikut:

---

Dedalane guno lawan sekti, kudu andhap asm Wani ngalah duwur wekasane. Tumungkula yen dipun dukani. Bapang den simpangi, ono catur mungkur.

Kalau ingin berguna dan sakti, haruslah lemah lembut, mengalah agar mencapai kemuliaan, menundukkan wajah dan mendengarkan kalau dimarahi, hindarkan perselisihan sampai persoalan berlalu.

---

Sebelum berlanjut, mohon diperhatikan bahwa bahasa Jawa yang digunakan dalam teks tersebut tergolong bahasa Jawa Baru dan sama sekali bukan Jawa Kuno atau Kawi. Naskah-naskah yang membentuk semesta "Sastra Jawa Tradisional", menurut Nancy K. Florida dalam Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (2003) sebagian besar ditulis dalam rentang 250 tahun terakhir, artinya antara abad ke-18 dan ke-20.