Find Us On Social Media :

Sunan Drajat, Benarkah Ditolong Ikan Cakalang Sebelum Berdakwah Di Sekitar Paciran?

By Moh. Habib Asyhad, Senin, 1 Juli 2024 | 11:09 WIB

Sunan Drajat

Jika versi yang telah terbaca menyebut sebelah barat Gresik sebagai lokasi tugas dakwahnya, versi lain adalah sebelah barat Surabaya -- dan yang menolongnya ketika terjadi badai tidak disebut sebagai ikan cakalang melainkan ikan talang. Nah, sesampainya di Jelak, Banjarwati, kita bisa mendengar sambungannya.

Raden Qosim disambut tetua desa yang bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar. Konon mereka ini sebelumnya sudah masuk Islam, karena ada pendakwah lain dari Surabaya yang juga pernah terdampar di sana.

Dalam catatan Simon, tahun terdamparnya Raden Qosim adalah 1485 dan ia perkirakan tahun lahirnya adalah 1450. Namun tiada bukti maupun argumen filologis dan arkeologis atas perkiraan ini.

Adalah karena surau dan pesantren yang didinkannya, maka Desa Jelak menjadi ramai dan berkembang menjadi kampung besar. Disebutkan nama Jelak ini diubah menjadi Banjaranyar, Raden Qosim menikah dengan putri Mbah Mayang Madu yang bernama Kemuning, lantas pindah setelah tiga tahun bermukim di situ.

Hanya satu kilometer jaraknya, tetapi itulah desa berbukit kecil yang bernama Drajat (Simon mengejanya Drajad). Di atas bukit itulah ia membangun Dalem Dhuwur, tempatnya tinggal dan mengajar, dan akhirnya ternisbahkanlah namanya dari sana: Sunan Drajat.

Konon bukan hanya Kemuning istrinya, melainkan juga Retnayu Condrosekar putri Adipati Kediri Raden Suryodilogo dan Dewi Sufiah putri Sunan Gunungjati.

Pernikahan dengan Sufiah diriwayatkan juga dalam versi lain: bahwa mereka bertemu sebelum Raden Qosim tinggal di Drajat dan berguru kepada Sunan Gunungjati. Dengan kata “versi” tidak dimaksudkan bahwa ada satu "yang benar", karena setiap "versi" membawa pembenarannya sendiri, sementara tiada data filologi maupun arkeologi yang bisa dipegang, meski sekadar untuk memperkirakan.

Menolong tanpa pilih kasih

Buku cerita bergambar yang ditulis Syam, ditulis Syam, Sunan Drajat (1987) dan Raden Syarifuddin (1987), seperti dikutip oleh Simon, ternyata memberikan dongeng yang sama sekali berbeda.

Disebutkan betapa Syarifudin (dengan satu "d") masih kecil ketika ayahandanya meninggal dunia. Maka bergurulah ia kepada kakaknya, yang sudah dikenal sebagai Sunan Bonang (Simon mengeja Mbonang) di Tuban.

Adapun cara Sunan Bonang mengajari agak mirip seperti terhadap Sunan Kalijaga: Syarifudin disuruh masuk hutan terlebih dahulu. Beberapa lama, ketika menjenguk, Sunan Bonang meninggalkan kitab suci al-Qur'an yang terbuat dan lontar. Konon Syarifudin tak tahu menahu apa yang bisa dikerjakan dengan kitab suci tersebut, dan hanya bisa berjalan tanpa tujuan yang pasti.

Suatu hari, ketika termenung di tepi sungai di Desa Drajat, dalam keadaan setengah tidur masuklah Sunan Giri ke dalam mimpinya. Iparnya itu tu konon mengajarkan isi al-Qur'an sehingga dalam waktu singkat Syarifudin sudah bisa memahami maknanya.